Apa yang akan terjadi jika seorang mahasiswi pintar, kaya, egois, urakan, dan kritis, secara tiba-tiba harus satu tim dengan seorang mahasiswa religius, anak masjid yang cerdas, akademis, keras kepala, dan ideologis, tapi cenderung kaku dalam pergaulan, terutama dengan perempuan?
Sutradara Iran, Ali Rooyintan mengemas pertanyaan ini dalam filmnya, “Del Shekasteh” (Heartbroken). Waktu Heartbroken dirilis 2009, Rooyintan baru berumur 39 tahun. Terbilang muda.
Film berdurasi tersebut bercerita tentang dinamika kampus kota metropolitan Tehran/Teheran yang direpresentasikan oleh dua mahasiswa yang selalu berselisih di kelas, karena masing-masing mempertahankan keyakinannya yang bertolak belakang, tapi ujungnya mereka saling mencintai.
Film yang mengambil sebagian besar lokasi syuting di kompleks kampus pardis Karaj Universitas Tehran dimulai dengan ulah seorang mahasiswi bernama Nafas Khojasteh yang diperankan Bita Badran. Nafas yang lahir dari keluarga jet set Tehran menyombongkan mobil mewahnya di hadapan anak-anak gengnya di kampus.
Ketika mereka sedang kongkow di parkiran kampus yang rindang dengan pepohonan besar, dari kejauhan datang seorang mahasiswa religius bernama Ali Doran mengendarai motornya yang diparkir tidak jauh dari tempat kongkow Nafas dan teman-temannya.
Gaya berpakaian Ali dengan baju koko putih, lengkap dengan jenggot dan jambang klimis, jadi bahan ejekan Nafas dan gengnya sebagai anak kolot. Mereka ternyata satu kelas dan masing-masing berupaya mempertahankan ideologi yang diyakininya sebagai yang paling benar. Cerita film bermula dari sini.
Sekuen film banyak menayangkan perdebatan di kelas antara Nafas dan Ali yang mewakili dua tipikal mahasiswa yang sedang tumbuh dengan corak pemikiran yang diyakininya. Meskipun banyak menyajikan kondisi kelas dengan tema-tema khas sosiologi politik, seperti: utopia, masyarakat ideal, negara agama, liberalisme dan slogan politik agama, tapi film ini bisa menyajikannya dengan apik, jauh dari rasa memebosankankan meski durasinya panjang, 103 menit. Kemampuan akting Bita Badran dan Shahab Hosseini berhasil menyedot perhatian penonton memasuki perdebatan mereka di ruang kelas.
Ali dan Nafas yang bermusuhan di kelas, karena perbedaaan keyakinan ideologisnya masing-masing ternyata harus bekerja sama dalam sebuah proyek riset lapangan. Sang dosen yang diperankan oleh Mahmoud Pakniat memilih muda mudi ini sebagai pasangan dalam riset bersama mereka. Film ini merepresentasikan gaya film Iran yang kaya dialog. Nafas yang sangat percaya diri berupaya meyakinkan dosennya supaya membatalkan keputusan memilih dia dan Ali dalam satu tim penelitian. Dia mengejar dosennya hingga ke luar kelas dan halaman kampus, tapi Pakniat mengabaikannya.
Ali juga melakukan hal yang sama dengan gayanya sebagai anak masjid yang berusaha meyakinkan sang dosen, yang tidak lain dari teman almarhum ayahnya. Tapi Pakniat tetap teguh dengan keputusannya. Kemudian Ali menyampaikan masalah yang dihadapi kepada ibunya yang mengajar di fakultas sastra. Sang ibu justru mendukung keputusan yang diambil dosen Ali. Sebagai anak masjid, akhirnya Ali melakukan istikharah, dan ternyata hasilnya sangat baik.
Ritme film mulai memuncak ketika dua muda-mudi yang berseberangan secara ideologis harus duduk bersama untuk membahas proyek risetnya. Ali yang tidak pernah bergaul dengan perempuan, kecuali ibunya sendiri, terlihat kikuk dan salah tingkah ketika berhadapan dengan Nafas. Sekolah SD hingga SMA di Iran memisahkan antara perempuan dan laki-laki, yang agak mirip dengan pesantren, atau dengan pola sekolah Katolik di Indonesia.
Selain Bita Badran yang bermain memukau, Shahab Hoseini yang memerankan Ali Doran, bermain sangat baik dalam film ini. Tidak heran tawaran bermain setelahnya terus mengalir deras. Bakat aktingnya semakin cemerlang yang diakui tidak hanya di Iran, bahkan di ajang film internasional. Lima tahun kemudian, Shahab Hoseini menyabet penghargaan Silver Bear pada Festival Film Internasional Berlin untuk film A Separation di tahun 2011. Ganjaran lebih tinggi diterima Shahab Hoseini (46) ketika main di “The Salesmen”, yaitu aktor terbaik dalam ajang Festival Film Cannes (2016).
Film Heartbroken juga didukung pemain kawakan seperti Khosro Shakibaei (74) yang berperan sebagai ayah Nafas. Kritik sosial yang diselipkan film ini ditampakkan dalam karakter Nafas yang menyodorkan fakta sosial masyarakat yang melabeli dirinya sebagai komunitas religius. Sebaliknya Ali Doran juga menyodorkan fakta ketulusan orang-orang yang berjuang dari kalangan religius dalam mengusung idealitas di tengah masyarakat. Mereka berdua menyisir satu persatu lokasi dan orang-orang yang dijadikan data riset lapangannya.
Film yang diproduseri Majed Esmaieli Parsa ini sangat baik mengatur ritmenya, terutama ketika Nafas Khojasteh yang selalu mencibir Ali Doran, karena dianggap memiliki “privilege” dari negara, mulai berubah ketika mengetahui ayah Ali adalah seorang dosen yang gugur dalam perang Irak-Iran.
Sewaktu meninggal, Ali berusia empat tahun dan dia tidak pernah memanfaatkan keistimewaan yang diberikan negara kepada putra pahlawan perang seperti dirinya, sebagaimana dituduhkan Nafas dan orang-orang yang sepemikiran dengannya selama ini.
Intensitas pertemuan antara Nafas dan Ali mendekatkan pandangan mereka yang selama ini bersitegang dan bertolak belakang. Pertemuan Nafas dengan Raha, sebagai ibu Ali, meruntuhkan arogansi anak pengusaha besar ini tentang keyakinannya yang keliru menilai orang-orang seperti Ali.
Salah satu kelebihan film ini menyajikan berbagai syair pujangga terkemuka Iran, salah satunya petikan bait Laili va Majnun dari Nezami.
Batu jatuh di belukar laksana bunga batu lain jatuh di hati
Tampaknya, film yang tayang di bioskop tahun 2009 ini lahir dari kritik sosial terhadap keretakan sosial yang terjadi di tengah masyarakat Iran, terutama di kalangan generasi mudanya. Film yang muncul tepat waktu ketika Iran mengalami gejolak pascapemilu presiden 2008.
Puncak film ini terjadi ketika Ali Doran akhirnya membuat geger kawan-kawannya sesama anak masjid di kampusnya, karena akan meminang Nafas. Film ini ingin memperlihatkan dinamika sosial masyarakat, sekaligus kritik atas pendekatan sebagian kalangan agamawan yang kaku terhadap berbagai lapisan masyarakat. Kritik cukup tajam juga diselipkan dalam dialog antara Raha dan Ali. Dosen sastra ini menasehati anaknya ketika Ali menolak menerima kedatangan Nafas di rumahnya.
Bagi Raha, Nafas sudah menunjukkan niat baiknya untuk datang meminta maaf. Di balik karakternya yang urakan dan arogan, Nafas menyimpan kelembutan perempuan dan ketulusan yang dalam. Tampaknya, pesan ini ingin dibenamkan sutradara film Heartbroken, supaya tidak gegabah menilai orang lain dari tampilan luarnya, dan setiap orang bisa berubah menjadi baik.
Lamaran Ali ditolak ayah Nafas yang melihat calon menantunya tidak layak karena status sosial mereka berbeda. Meski ditolak beberapa kali, bahkan ditampar segala, Ali tidak patah arang dan terus menyampaikan lamarannya hingga sebuah keajaiban terjadi bertepatan dengan peringatan tradisi keagamaan Asyura di Iran.
Khojasteh, ayah Nafas yang sering mencibir kalangan agamawan, tiba-tiba tersentak dengan suara iring-iringan duka peringatan Asyura di bulan Muharam yang lewat di depan rumahnya. Ia memutuskan untuk keluar rumah melihat dari dekat ritual ini, dan akhirnya mengikutinya. Bagian ini mungkin menjadi salah satu sekuen yang paling sulit dipahami dari luar Iran, terutama mereka yang tidak begitu akrab dengan tradisi keagamaan ribuan tahun di negara ini.
Di ujung cerita, gaya film Iran kembali menampakkan karakternya yang khas, “Iran banget”. Permainan simbol dan pertanyaan yang tersisa untuk penonton. Jika film India selalu diakhiri dengan kebahagiaan dan kemenangan untuk sang hero, film Iran akan ditutup dengan pertanyaan yang membuat penonton penasaran. Begitu juga dengan film Heartbroken ini, “Apakah Ali dan Nafas akhirnya menikah atau tidak?”
Kepingan penghujung film memperlihatkan pawai, pakaian hitam dan lilin sebagai simbol duka. Di balik itu, ada kebersamaan yang sedang direkatkan dalam pertemuan antara Ali, Nafas, dosen mereka, Raha, dan juga ayah dan ibu Nafas dalam acara tradisi keagamaan tersebut.
Film ini seperti ingin menyampaikan pesan besar, biarlah perbedaan pemikiran terus ada dan tumbuh berkembang, tapi kebersamaan harus terus dibangun dan direkatkan. Dan agama dengan berbagai penafsirannya masing-masing, masih berperan sebagai perekat sosial; bukan sebaliknya, yang merusak dan memecah belah.