Sedang Membaca
Semangat Toleransi dalam Sinema Lintas Ruang (4): Zootopia, Simbol Jinaknya Mayoritarianisme di Negeri Pluralistik
Mohammad Pandu
Penulis Kolom

Aktif di Komunitas Santri Gus Dur. Belum lama lulus kuliah di salah satu kampus negeri di Jogja. Bekerja sebagai peneliti dan penulis lepas.

Semangat Toleransi dalam Sinema Lintas Ruang (4): Zootopia, Simbol Jinaknya Mayoritarianisme di Negeri Pluralistik

Zootopia

“Dahulu kala, dunia dibagi dua. Predator ganas atau mangsa lemah. Seiring waktu, kami bervolusi dan meninggalkan hidup primitif. Sekarang, predator dan mangsa hidup berdampingan. Dan setiap mamalia muda memiliki peluang yang beraneka ragam.”

Penggalan monolog di atas adalah pembuka sekaligus premis animasi tiga dimensi garapan Disney: Zootopia. Jujur saja, film ini sulit untuk diluputkan dari daftar sinema-sinema pengusung semangat toleransi yang pernah saya tonton. Meski tak sefrontal kawan-kawannya, atsmosfer keberagaman dan penghargaan terasa kental sekali di sini.

Film produksi tahun 2016 ini memang tak secara eksplisit menampilkan adegan toleransi seperti pada umumnya. Tapi justru di situlah kelebihannya. Penonton diajak menangkap pesan dan merasakan semangat saling mengasihi dalam fabel penuh metafora. Harus diakui, Zootopia adalah dua wajah yang menghibur: indah sebagai konsumsi orang dewasa, menggemaskan sebagai tontonan anak-anak.

Alkisah, setelah semua hewan selesai berevolusi, mereka mendiami sebuah kota megapolitan bernama Zootopia. Di Zootopia mereka hidup rukun berdampingan, baik predator atau mangsa. Komposisi penduduk dalam kota fiktif tersebut sangat beragam: mulai dari harimau, jerapah, koala, kambing, hamster, tikus tanah, beruang kutub, hingga kukang. Menariknya, kingdom animalia ini hidup ala peradaban manusia: memakai baju, berjalan tegak, dan berpikir. Jadi bukan pemandangan asing lagi ketika seekor domba berbisnis dengan macan kumbang untuk membuka kedai kopi di tengah kota.

zootopia
Salah satu scene dalam film zootopia

Tokoh utama film ini berfokus pada seekor kelinci petugas kepolisian bernama Judy Hopps. Ia diberi misi untuk mengungkap kasus hilangnya beberapa hewan predator secara misterius. Di perjalanan, Judy bertemu dengan seekor rubah bernama Nick Wilde. Nick bukanlah polisi. Ia hanya warga biasa. Malah sebenarnya lebih mirip kriminil kelas teri yang suka menggelapkan pajak dari bisnisnya. Meski begitu, Nick diberi pengampunan oleh Judy dengan syarat mau membantunya menjalankan misi. Dua karakter kunci inilah yang banyak menciptakan kisah seru, lucu, dan penuh makna di sepanjang jalan cerita.

Baca juga:  Film Tilik dan Titik Buta Stereotipe

Sepanjang petualangan mereka berdua, film ini menampilkan banyak fenomena menarik. Misal, adanya klub naturalis yang berisi hewan-hewan telanjang, para kukang yang bertugas di kantor birokrasi, sub-kota berisi kehidupan sibuk para tikus dan hamster, dan lain-lain. Semuanya dirangkai apik lewat alur yang rapi.

Tensi film arahan sutradara Byron Howard dan Rich Moore ini mulai mengencang ketika konflik muncul. Singkat cerita, Zootopia dilanda geger. Warga kota panik karena beberapa predator tiba-tiba berubah menjadi primitif kembali. Polisi kalang kabut karena para predator yang berubah bisa menyerang siapa saja.

Dari situlah muncul kembali ketakutan pada predator. Mereka dikucilkan, dicurigai, dan tak mendapat tempat setara dengan hewan-hewan lain. Macan tutul ramah yang biasa bekerja di bagian penerima tamu kantor polisi tiba-tiba dipindahtugaskan ke bagian pencatatan di ruang belakang. Di dalam kereta, seekor ibu kelinci menarik anaknya karena ada singa duduk di sampingnya sambil bermain gawai. Semua yang awalnya hangat, tiba-tiba menjadi dingin dan penuh curiga.

Barangkali, Zootopia diciptakan sebagai replika New York yang begitu plural dan megapolit. Namun dengan imajinasi yang subjektif, saya melihat Indonesia di sana. Muaranya sama: keberagaman yang mutlak dalam kehidupan bermasyarakat. Tak bisa dipungkiri, Indonesia juga dihidupi oleh komposisi suku, bahasa, agama, dan segala macam isi di dalamnya yang begitu beragam.

Baca juga:  Bahasa dan Sastra Pesantren (1): Variasi Bahasa dalam Sejarah Pesantren

Selain itu, Zootopia dihuni oleh mayoritas mangsa dan minoritas predator. Permasalahan mayoritas dan minoritas ini juga sering singgah sebagai akar konflik kita. Sebetulnya, tak ada yang salah dengan mayoritas-minoritas. Masalah muncul ketika mayoritas menggunakan kesewenang-wenangan dan menampik prinsip keadilan dalam laku hidupnya bersama kelompok minoritas; atau kita biasa menyebutnya dengan mayoritarianisme.

Mayoritarianisme cenderung bersifat reaktif, menutup dialog, dan sudi melakukan kekerasan kalau dirasa perlu. Saya kira, adegan yang terjadi di Zootopia pasca-konflik adalah gambaran mayoritarianisme di Indonesia hari ini. Adanya stigmatisasi yang masif pada satu kelompok, diskriminasi, dan pecahnya kerukunan karena enggan berdialog adalah satu masalah yang masih sulit hilang di negeri kita.

Mayoritarianisme adalah musuh utama dalam masyarakat plural. Indonesia punya masalah dengan mayoritarianisme agama dan kesukuan; New York punya masalah dengan mayoritarianisme etnis dan rasisme; dan Zootopia juga (sempat) punya masalah dengan mayoritarianisme hewan mangsa. Di saat inilah toleransi dibutuhkan. Di Zootopia, kita akan diajarkan membuka dialog sebelum menghakimi; kita akan diajarkan saling memahami sebelum membenci.

“Zootopia adalah tempat yang unik. Kota yang gila, indah, berbeda, di mana kami menghargai perbedaan,” kata Judy. Kehidupan di Zootopia adalah impian bagi Eropa dengan beragam warga imigran, impian bagi Amerika dengan beragam identitas pendiri bangsa, impian bagi Afrika dengan beragam suku yang saling membutuhkan, dan impian bagi seluruh negeri pluralistik di mana pun itu.

Baca juga:  Wayang dari Kacamata Gus Dur: Pembentuk Budaya Politik

Sebagai film-animasi-fabel, metafora yang ditawarkan dalam Zootopia sebetulnya sangat sarkastik. Seakan film ini ingin berkata, “Ayolah, lihat hewan-hewan ini! Mereka bisa lebih manusiawi dari kalian. Kalian harus bisa lebih, atau minimal sama seperti ini,” atau sekadar ingin bilang “Coba periksa lagi cara kerja birokrasi kalian. Kenapa bisa lemot begitu? Jangan-jangan dijalankan oleh segerombolan kukang?”

Ketidakberadaban manusia dan laku koruptif para birokrat hanyalah segelintir contoh sindiran tepat sasaran yang disajikan Disney dalam film ini. Masih banyak pesan-pesan lainnya yang lebih mendalam atau jenaka. Sebagai penutup, saya akan mengutip pidato Judy di akhir cerita yang begitu menyentuh dan sangat relevan untuk kehidupan kita hari ini:

“Saat aku kecil, kukira Zootopia adalah tempat sempurna. Di mana semua orang bersama dan semua bisa menjadi siapa pun. Ternyata kehidupan nyata lebih rumit dari slogan stiker mobil. Kehidupan nyata itu kacau. Kita semua punya batasan. Kita semua membuat kesalahan. Yang berarti, kita semua memiliki kesalahan. Dan semakin kita mencoba saling mengerti, semakin kita menjadi luar biasa. Tapi kita harus mencoba. Jadi, tak peduli jenis hewan apa dirimu. Dari gajah terbesar sampai seekor rubah. Kumohon, cobalah! Buatlah dunia menjadi lebih baik. Lihat ke dalam dirimu dan sadari bahwa perubahan dimulai darimu. Dimulai dariku. Dimulai dari kita semua.”

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top