Indonesia memiliki banyak film yang membicarakan keberagaman, kritik sosial-religi, atau dialog antaragama. Sepengamatan saya, kategori-kategori itu sering kali dihubungkan melalui benang merah yang sama: realitas yang pahit. Itulah kenapa banyak orang tersinggung –selain persoalan interpretasi, tentu saja– dan banyak film berakhir dengan cap ‘kontroversial’.
Saya mencintai film yang jujur. Film yang berani memotret realitas sepahit apa pun keadaannya. Salah satu di antara jajaran film Indonesia tentang keberagaman yang berani melakukannya adalah Tanda Tanya atau ? (2011). Film garapan Hanung Bramantyo ini adalah karya sinematik yang kuat, saya kira, meski dengan beberapa kekurangan di sana-sini.
Tanda Tanya berlatar di Semarang awal tahun 2010. Ia mengambil premis kehidupan sosial-agama warga Pasar Baru yang multikultural: komunitas Tionghoa dan klentengnya, komunitas Jawa-muslim dan masjidnya, komunitas Jawa-kristiani dan gerejanya, juga relasi ketiganya. Film ini menghadirkan ‘mikrokosmos Indonesia’ dalam satu latar dan rangkaian plot yang saling terhubung.
Dibuka dengan adegan kesibukan ritual ibadah orang Islam, Katolik, dan Kong Hu Cu, film ini selanjutnya menunjukkan simbol-simbol agama dan budaya dengan sangat ‘radikal’ sepanjang filmnya. Di samping itu, Tanda Tanya juga menampilkan barisan karakter unik, lengkap dengan persoalan hidup khas kelas menengah bawah yang beragam.
Setidaknya, film ini dihidupi oleh tiga poros cerita yang saling terkait. Pertama, ada keluarga Menuk dan Soleh. Mereka adalah pasangan muslim yang terafiliasi dengan ormas Nahdlatul Ulama (NU). Kedua, ada keluarga Tan Kat Sun dan Ping Hen. Koh Tan, panggilan akrabnya, dan Ping Hen adalah bapak-anak beretnis Tionghoa yang mengelola restoran makanan Cina. Ketiga, ada Rika dan Surya. Mereka bukan keluarga. Rika adalah janda beranak satu yang baru pindah memeluk Katolik, sedangkan Surya adalah aktor lokal yang suka mampir ke toko buku yang dikelola Rika.
Menuk bekerja sebagai pelayan di restoran Koh Tan. Koh Tan memang mempekerjakan beberapa karyawan muslim. Ia digambarkan sebagai lelaki tua yang bijak dan toleran. Beberapa kali ia menyuruh pekerja muslimnya untuk segera salat saat waktunya tiba. Di restoran ini, kita bisa melihat adegan Menuk bersujud memakai mukena bersanding dengan istri Koh Tan yang sedang menyalakan dupa untuk sembahyang.
Restoran Koh Tan agak berbeda dengan restoran chinese food pada umumnya. Meski sama-sama menjual olahan babi, ia juga menjual daging non-babi yang dimasak dengan peralatan berbeda dan dipisah. Upaya menghormati kelompok lain juga ia lakukan dengan menutup tirai restoran selama bulan Ramadan. “Inget Hen, ini bulan puasa. Pasang tirai. Satu hal lagi. Jangan jualan babi bulan ini. Kita harus hormati orang Islam. Ngerti kowe?” pesannya pada Ping Hen dalam salah satu adegan.
Koh Tan adalah representasi nyata dalam wajah toleransi di Indonesia. Saya sering menjumpai hal-hal seperti itu. Selain itu, Koh Tan juga memecah stigma bahwa orang Tionghoa selalu berorientasi pada uang di atas segalanya.
Tapi perlu diingat, film ini tak melulu dibangun oleh romantisasi toleransi. Permasalahan intoleransi juga tak kalah riil di hadapan kita. Menariknya, Tanda Tanya menyelipkan wajah intoleransi itu langsung berhadapan dengan wajah karakter Koh Tan, yaitu melalui Ping Hen, anak laki-laki semata wayangnya.
Ping Hen hanyalah satu di antara representasi intoleransi yang dihadirkan Titien Wattimena, sang penulis naskah. Berbagai aksinya seperti adu mulut dengan sekelompok muslim di jalan, membuka tirai restoran selama Ramadan, dan memaksa karyawan muslimnya masuk saat hari kedua lebaran hanyalah sebagian dari gesekan antaragama yang ditampilkan dalam film ini. Lebih ekstrim lagi, adegan penusukan seorang pastur, persekusi komunitas muslim pada restoran yang membuka tirai saat bulan Ramadan, juga pengeboman gereja adalah antitesis atas tesis toleransi a la Koh Tan.
Penyajian konflik sosial-agama dalam Tanda Tanya telah menjadi sintesis yang cukup riil merekam dinamika masyarakat Indonesia hari ini. Kita tentu menyadari bahwa setelah jatuhnya Orde Baru, masyarakat kita semakin hari semakin puritan. Adegan-adegan yang ditampilkan di film ini sudah tak asing lagi kita dengar dari media, bahkan kita lihat sendiri: rasisme, intoleransi, persekusi, hingga terorisme. Meski begitu, bukan berarti upaya toleransi nihil sebagaimana gambaran relasi Menuk dan Koh Tan yang hangat.
Permasalahan lain juga disajikan dengan apik lewat kehidupan Rika dan Surya. Kedua tokoh ini mengajak kita menyelami kehidupan beragama yang lebih transenden, filosofis, dan spiritual. Rika harus mendapat tekanan sosial yang besar setelah membuat dua keputusan besar dalam hidupnya: bercerai dan berpindah agama. Sedangkan Surya, sebagai seorang muslim ia harus bergelut dengan batinnya ketika mendapat peran Yesus untuk drama paskah di gereja. Ia juga harus berperan sebagai Sinterklas demi menolong orang lain.
Di sisi lain, maskulinitas beracun (toxic masculinity) dan kompleks superioritas (superiority complex) yang sering diidap suami-suami inferior juga melekat pada sosok Soleh, suami Menuk. Sebagai pengangguran yang kesulitan mencari kerja, sementara istrinya sudah mapan dengan pekerjaannya, Soleh bisa dengan mudah berubah menjadi antagonis yang temperamental. Selain itu, fenomena sosial lain juga dilekatkan pada karakter Bu Novi, pemilik kos agamis-moralis yang suka menebar ‘dakwah’ nan menyakitkan hati ke para tetangganya. Karakter seperti Soleh dan Bu Novi tak pernah jauh dari kehidupan kita. Setidaknya pernah kita jumpai, baik langsung maupun tak langsung.
Secara teknis, Tanda Tanya dibangun lewat sinematografi sederhana, tata artistik mengesankan, dan cerita yang dekat dengan masyarakat. Visualisasi yang cenderung gelap, didukung dengan latar tempat bercorak klasik, film ini terasa cukup mewakili gambaran daerah pinggiran perkotaan dengan segala permasalahan warganya yang kompleks. Meski harus diakui, akting beberapa aktor non-Jawanya masih terasa sangat kaku ketika harus berdialog bahasa Jawa. Pun dengan penyelesaian konflik yang kadang masih naif, rasanya permasalahan dunia bisa diselesaikan dengan cara-cara instan.
Tanda Tanya menyabet sepuluh nominasi di Piala Citra dan berhasil membawa pulang satu piala di kategori Pengarah Sinematografi Terbaik. Tapi saya kira film ini layak mendapatkan lebih dari itu. Terlepas dari berbagai kekurangannya, film ini sebenarnya sangat potensial untuk dipamerkan di banyan festival film internasional. Tujuannya, tentu saja, untuk menunjukkan dinamika kehidupan sosial-agama di Indonesia pada dunia.