Sedang Membaca
Perang Ramadan: Kala Bangsa Arab Menghantam Israel
Mohammad Pandu
Penulis Kolom

Aktif di Komunitas Santri Gus Dur. Belum lama lulus kuliah di salah satu kampus negeri di Jogja. Bekerja sebagai peneliti dan penulis lepas.

Perang Ramadan: Kala Bangsa Arab Menghantam Israel

Salah satu pertanyaan yang kerap muncul ketika mendengar konflik Timur Tengah soal Israel-Palestina adalah: Kenapa negara-negara Arab (Islam) tidak bersatu untuk mengalahkan Israel (Yahudi)?

Pertanyaan ini sangat wajar muncul, baik atas dasar dukungan terhadap kedaulatan negara maupun semangat sentimen beragama. Saya sendiri memendam pertanyaan itu lama sekali, sebelum akhirnya menemukan jawabannya dalam buku Di Kaki Langit Gurun Sinai (2018), garapan jurnalis kawakan Mesir dari koran Al-Ahram: Hassanein Heikal. Lantas apa jawabnya?

Negara-negara Arab beberapa kali sudah pernah mencoba bersatu untuk menumbangkan Israel. Salah satu upaya tersebut adalah melalui Perang Ramadan. Hasilnya? Dalam Perang Ramadan, negara-negara Arab keluar sebagai pemenang secara politik. Tapi secara militer, Israel belum bisa dikalahkan.

Di Kaki Langit Gurun Sinai sebenarnya merupakan memoar politik Mesir pada masa kepemimpinan Presiden Gamal Abdel Nasser hingga Presiden Anwar Sadat, selama terjadinya Perang Ramadhan/Perang Yom Kippur/Perang Oktober. Perang ini berlangsung mulai 6 Oktober 1973 – 26 Oktober 1973, di mana di dalamnya bertepatan dengan hari suci Yom Kippur umat Yahudi dan bulan suci Ramadhan umat Islam.

Perang Ramadan adalah perang antara koalisi negara-negara Arab yang terdiri dari Mesir dan Suriah, dibantu oleh Libya, Yordania, dan Irak melawan Israel. Di balik kedua pihak yang berperang, Amerika Serikat dan Uni Soviet memainkan perang penting sebagai pemasok senjata, tapi sekaligus juga utusan PBB sebagai mediator perdamaian.

Terdengar paradoks memang. Tapi begitulah kondisi politik internasional yang terjadi.

Baca juga:  Makam Syekh Safiuddin, Jejak Sufisme Dinasti Safavid

Tujuan Mesir melancarkan perang ini adalah untuk merebut kembali Semenanjung Sinai yang jatuh ke tangan Israel saat Perang Enam Hari pada tahun 1967.

Suriah sendiri sudi saja diajak kerjasama dengan Mesir karena mempunyai misi yang tak jauh beda. Suriah di bawah kepemimpinan Presiden Hafez Assad ingin merebut kembali Dataran Tinggi Golan yang jatuh ke tangan Israel saat invasi serupa di tahun 1967.

Saat hari pertama penyerangan, Mesir di bawah komando Presiden Anwar Sadat melancarkan “Operasi Badr”. Operasi yang dilakukan secara diam-diam dengan kekuatan besar itu berhasil merebut kembali penyeberangan Terusan Suez dan Garis Bar-Lev, benteng yang didirikan Israel di pesisir timur Terusan Suez.

Saat hari pertama, kekuatan bangsa Arab berhasil memukul pertahanan Israel secara siginfikan. Prajurit Israel kebingungan dan mengalami kondisi yang kacau balau. Sebab, saat Mesir melancarkan penyerangan dari sisi barat, Suriah juga melancarkan serangan mendadaknya dari sisi utara, di wilayah Golan.

Meski serangan mendadak Mesir-Suriah yang kemudian memicu perang ini berhasil pada hari pertama, tapi Israel hanya butuh beberapa hari untuk memberi pukulan balik. Bahkan, tentara Israel berhasil menembus jantung pertahanan Mesir yang cukup dekat dengan ibukota Kairo.

Di sisi utara, Suriah juga sangat kepayahan dan harus merelakan teritorinya dicaplok Israel sampai jarak 35 kilometer dari ibukota Damaskus. Pada saat inilah, negara-negara Arab lainnya ikut turun tangan membantu Mesir dan Suriah dalam hal militer maupun politik.

Baca juga:  Memandang Perempuan sebagai Manusia Seutuhnya

Menurut Heikal, ketimpangan kekuatan militer antara bangsa Arab dengan Israel ini sedikit-banyak dipengaruhi oleh faktor senjata. Ada perbedaan kualitas senjata, tempo pengiriman, atau jumlah senjata yang dikirim masing-masing pemasok. Terkait hal ini, Presiden Nasser pernah berbicara lantang di kepada Breznev dan tokoh-tokoh Kremlin:

“Amerika tak pernah terlambat membantu Israel. Tetapi tidak demikian dengan Uni Soviet. Karena tidak pernah bisa melihat Mesir yang berdiri di pos terdepan menghadapi imperialis.”

Terlepas dari soal menang kalah, Perang Ramadhan telah menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Arab dan tamparan keras bagi arogansi Israel. “Bangsa Arab telah memperlihatkan potensinya, namun gagal memanfaatkan semestinya. Israel sendiri telak menyaksikan kelemahannya yang fundamentil,” kata Heikal.

Secara garis besar, buku ini memberi wawasan yang luas seputar Perang Ramadhan, kondisi dunia internasional, strategi dan kekuatan militer negara-negara Arab, serta sudut pandang para elit Mesir saat menghadapi Israel. Bagian terakhir inilah yang menjadi ciri khas dari buku ini dan sulit didapat dalam berita koran-koran internasional.

Si penulis, Hassanein Heikal adalah satu-satunya wartawan yang sangat dekat dengan kekuasaan Mesir kala itu. Bisa dibilang, ia adalah sahabat dekat Gamal Abdel Nasser sekaligus kawan kepercayaan Anwar Sadat, presiden pengganti Nasser setelah wafat. Heikal adalah saksi yang siap menceritakan detik-detik menegangkan, keputusan krusial, kejadian lucu, hingga cerita sedih selama peperangan.

Sebagai “orang dalam”, Heikal juga berkawan dengan para pemimpin negara tetangga Mesir, para petinggi Uni Soviet, dan juga para elit Gedung Putih. Ia selalu mengikuti setiap dinamika hubungan Mesir dengan Uni Soviet yang tak selalu berjalan mulus. Atau saat Mesir sempat rujuk dengan Amerika Serikat dan diliputi suasana yang kikuk.

Baca juga:  Masa Lalu dan Buku: Menanti Novel Rhoma Irama

Banyak bagian-bagian berat dalam buku ini, tapi berkat cara pengutaraan Heikal yang lancar menjadikan pembaca tidak penat. Selain itu, buku ini semakin lengkap dengan hadirnya Mahbub Djunaidi, seorang politikus dan jurnalis senior Indonesia yang menerjemahkannya dalam bahasa kita.

Mahbub, seperti sudah dikenal dalam gaya menulis dan menerjemahkan buku, sangat bebas, tidak mengikuti pakem penerjemahan serta sarat dengan gaya humor.

The Road to Ramadhan adalah judul awal buku ini. Terbit pertama kali tahun 1976. Kemudian diterbitkan ulang dalam bahasa Indonesia oleh Telisik Pustaka yang bekerjasama dengan Penerbit Nyala pada Januari 2018 lalu. Sebelumnya, buku ini juga pernah diterbitkan oleh Penerbit Al-Ma’arif Bandung pada tahun 1978.

Sebagai buku sejarah, saya kira buku ini masih sangat relevan untuk dibaca sampai kapanpun. Pasti saja, peta sudah berubah, Uni Soviet saja sudah bubar kan? Sedang sebagai sebuah memoar politik, membacanya berasa seperti seorang koboi yang sedang ber-rodeo. Sangat terasa bagaimana pikiran kita diombang-ambingkan ketika mengikuti dinamika politik internasional yang serba tak tentu, tapi sangat menentukan itu.

Jadi wahai pembaca, silakan cari dan selamat membaca!

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top