Sedang Membaca
Bengawan Solo: Simbol Peradaban dan Perdamaian Wong Solo
Avatar
Penulis Kolom

Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta. Aktif di Komunitas Serambi Kata Surakarta.

Bengawan Solo: Simbol Peradaban dan Perdamaian Wong Solo

Foto Pada Acara Kunjungan Ke Vihara, Dhammacalss

Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar kata Bengawan Solo? Tentu saja bayangan kita tertuju pada sungai yang ada di kota Surakarta, Jawa Tengah. Atau paling tidak, kita terngiang-ngiang lagu legendaris bergenre keroncong yang dibawakan oleh Gesang berjudul “Bengawan Solo”. Ya, bengawan Solo memiliki pikat dan pesona sejak dulu. Bengawan Solo menyimpan serpihan-serpihan peradaban.

Sungai yang mengaliri beberapa kabupaten ini membentang begitu luas nan panjang. Sungai terpanjang di Pulau jawa ini membentang seluas ± 16,100 km2. Dari mata air pegunungan sewu tersebut, mengaliri ke beberapa wilayah di sekitarnya, seperti Pacitan dan Wonogiri di sisi Selatan, sedangkan ke sisi utara meliputi Rembang, Bojonegoro, dan Blora. Kondisi geografis itulah yang menjadikan Bengawan Solo mempunyai riwayat panjang mengenai pembentukan kota yang sangat unik.

Profil Bengawan Solo terbentuk atas babak-babak sejarah panjang. Kepingan-kepingan peristiwa terbingkai dalam pembentukan sejarah perihal kebudayaan, bahasa, agama dan politik. Pada akhirnya, laku masyarakat Surakarta pun terkonstruksi menjadi biografi “Wong Solo” (julukan masyarakat Surakarta). Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Prunawan Basundoro dalam bukunya bertajuk Pengantar Sejarah Kota (2020) yang membahas mengenai kota sebagai pembentuk peradaban-peradaban dunia “kota merupakan salah satu bentuk ruang yang menampung berbagai macam aktivitas manusia… maka mau tidak mau kotapun mengalami dinamika, sehingga pernyataan ‘kota adalah biografi manusia’ tidak akan jauh meleset”*.

Peristiwa berkota didasari oleh beragam macam kepentingan dan keinginan. Rutinitas dan aktifitas berkota melahirkan bentuk peradaban dan kebudayaan yang unik di setiap sudut kotanya. Dalam hal ini, adanya Bengawan Solo menjadi perlambang mengenai bingkaian nilai-nilai luhur manusia yang terjalin menjadi simpul peradaban kota. Kemudian, pertukaran kebudayaan-keagamaan yang berlangsung sejak lama ini mewujud dalam bentuk entitas manusia berperadaban.

Baca juga:  Presidensi G-20, Indonesia Perlu Orkestrasi Seluruh Potensi Bangsa

Menurut catatan sejarah, nilai dan fungsi Bengawan Solo tidak hanya sebagai penyedia irigasi semata. Melainkan digunakan menjadi jalur perdagangan dan transportasi. Masyarakat Solo dan sekitarnya memanfaatkan sungai Bengawan Solo sebagai denyut nadi kehidupan mereka. Pihak Keraton (Surakarta) pun memanfaatkan sungai ini untuk keperluan niaga dan menjalankan urusan-urusan politik kerajaan.

Sehingga pada akhirnya terjalin kontak antar manusia satu dengan manusia lainya. Yang kemudian melahirkan akulturasi ataupun asimilasi budaya dengan melewati proses yang panjang ini. Persinggungan antar etnis, suku, dan agama kemudian lahirlah Solo dengan wajah yang sangat beragam dan plural sejak dulu.

Bentuk keragaman itu bisa kita lihat lewat penyebaran penduduk yang ada di kota Solo. Beragam ras, etnis, suku, dan agama mendiami kota berjuluk kota budaya ini. Kini, dalam melihat wajah kota Solo yang modern, perubahan itu nampak dan tak terelakan. Kita bisa tengok pada pengubah-alihan gaya, tata letak dan arsitektur bangunan kota. Solo nampaknya, tidak mau tinggal diam dan tertinggal dalam proses pembangunan.

Lewat perubahan tata kota, berubah pula pola dan gaya hidup masyarakat yang menempatinya. Segala tindak tanduk masyarakat pun mengalami pola dan dinamika yang berubah. Persoalan sosio-religiusitas misalnya, perkara ini menjadi pelik dan rumit yang seolah-olah menghantui kota ini. Segala macam klaim terus lekat dan dilekatkan. Masalah itu tidak lain tidak bukan adalah persoalan radikalisme mengatasnamakan agama.

Baca juga:  Menyikapi Gerakan Islam Transnasional: Kembali kepada Islam Moderat

Untuk itu saya tertarik mengunjungi sebuah komunitas yang bergerak diranah sosial-keagamaan yang ada di kota Solo untuk saya telusuri lebih jauh. Ya, komunitas itu bernama Bengawan Muda. Ketertarikan untuk mengulik lebih jauh komunitas ini disebabkan antara lain penggunaan kata ‘bengawan’ sebagai nama komunitas. Telah dijelaskan dimuka, bahwa kata bengawan sangat melekat bagi masyarakat Solo.

Bengawan Muda lahir dari keresahan umat beragama, itulah kalimat pertama yang dipaparkan oleh ketua komunitas ini. Komunitas Bengawan Muda diketuai oleh Malik Rasyid Ridho, pemuda kelahiran Banjarsari Surakarta ini memaparkan keresahan dan kegusaran hatinya mengenai persoalan keagamaan belakangan ini. “Radikalisme agama adalah problem besar yang sedang dihadapi bangsa ini. Khususnya Solo, saya melihat ada wajah yang berubah dari kota kelahiran saya”, pungkas Rasyid.

Stetmen itu cukup beralasan memang, melihat geliat dan antusiasme keberagamaan yang besar dan masif akan menimbulkan dua sisi mata koin. Perbedaan atas sudut pandang ini yang kemudian mendapat tanggapan dari banyak kalangan. Rasyid menanggapi isu-isu kemoderatan beragama sebagai isu sentral yang sedang dihadapi masyarakat Solo.

“Makna dan filosofi Bengawan Muda tentu saja tercetus atas dasar sungai Bengawan Solo. Ia menjadi simbol kebesaran masyarakat Solo dari dulu hingga sekarang. Dan kita tahu, akar sejarah Solo pun tidak bisa dilepaskan dari sungai itu. Sungai, saya ibaratkan sebuah wadah bagi segala macam persolan” kata Rasyid lebih lanjut.

Baca juga:  IAIN Kudus dan Agenda Merawat Tradisi

Pemaknaan filosofi memang diperlukan untuk memompa semangat para anggotanya. Lebih jauh, anggota komunitas pun tidak hanya terbatas pada satu agama saja (Islam). Anggota yang mengikuti komunitas ini terdiri dari beragam agama. Didasari kesadaran mengenai keselarasan hidup antar manusia, Bengawan Muda kini memulai gerakanya menyebarkan kepedulianya terhadap masyarakat-masyarakat yang termarjinalkan atasnama kemanusiaan.

Diskusi-diskusi dan pertemuan yang diselenggarakan pun berpindah-pindah seperti di pastoran GKJ (Gereja Kristen Jawa) Karangasem, dan Vihara. “Seperti acara minggu lalu, kami baru saja mengadakan diskusi mengenai pengembangan dan pelatihan rehabilitasi masyarakat. Artinya, kita menyusuri masalah-masalah kecil. Diharapkan pertemuan semacam itu bisa memupuk kerukunan antar umat” ujar Rasyid. Lebih lanjut Rasyid mengemukakan mengenai kegiatan komunitasnya yang akan menyelenggarakan latihan bahasa isyarat yang bekerja sama dengan PUSBISINDO (Pusat Bahasa Isyarat Indonesia) Jawa Tengah.

Sungai Bengawan Solo memberikan penghidupan pada masyarakatnya. Simbol peradaban manusia Jawa tercermin lewat sungai itu. Dilain hal, mengakar kuatnya kebudayaan dan keagamaan tersiar di sungai itu pula.

Kini, akar dan masalah terus bergulir silih berganti. Kehadiran komunitas ataupun perkumpulan masyarakat yang menginginkan perdamaian dan kedamaian hidup harus digalakan. Solo memiliki perlambang sungai sebagai dasar perjuangan. Sungai mengalir untuk mewadahi segala carut marut atas lika-liku kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai kedamaian dan keselarasan itu pula yang sedang digalakan lewat dakwah kemanusiaan Bengawan Muda.

*Artikel ini adalah hasil kerja sama Alif.ID dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top