Sedang Membaca
Tentang Perasaan dan Hal yang Tabu
Nurul Agustina
Penulis Kolom

Penulis, konsultan independen. Lulusan Sastra Inggris Universitas Indonesia dan MA bidang Medical Anthropology dari Universitas Amsterdam

Tentang Perasaan dan Hal yang Tabu

Whatsapp Image 2020 07 12 At 13.56.25

“The Book of Forbidden Feeling”. Ini buku tentang perasaan-perasaan yang tabu untuk diungkapkan. Kira-kira begitu, kalau saya boleh meringkasnya –meski tentu saja tidak akan terlalu adil bagi penulisnya.

Sudah lama sebenarnya menunggu ada yang mengulas, mengomentari, atau sekadar menyebut dalam status pendek di Facebook mengenai buku ini. Saya tahu, ada beberapa teman yang membaca buku-buku dari penulis ini. Paling tidak tampak dari “mutual” di media sosial. Tapi tunggu punya tunggu, nggak ada juga tulisan tentang karya-karya penulis cum seniman kelahiran 1985 ini.

Ya sudah, saya buatlah sekadar oret-oretan penanda bahwa buat saya buku ini menarik (banget). Seperti halnya buku-buku Anthony de Mello, Menjadi Manusia Rohani (karya Ulil Abshar Abdalla), serta buku Jika Tuhan Mahakuasa Mengapa Manusia Menderita (yang datang ketika catatan ini dibuat, juga tulisan Ulil Abshar Abdalla), buku-buku ini saya taruh di tempat yang paling mudah diraih kapan saja, kalau saya merasa perlu mengambil jarak dari apa pun dan siapa pun.

Awalnya Lala Bohang adalah nama yang tidak terlalu umum di telinga saya. Pun bukunya yang pertama saya lihat dan raih di Gramedia PenVil hampir dua tahun lalu, The Book of Forbidden Feelings (BoFF, Gramedia, terbit 2016). Buku berikutnya, The Book of Imaginary Beliefs (BoIB, Gramedia 2019), saya titip beli di Toga Mas, Bandung, karena tidak sempat jalan ke toko buku dan mumpung ada yang berbaik hati mau membelikannya.

Tapi tak lama, yang asing menjadi familiar. Yang semula saya pikir penulis luar, ternyata asli Indonesia. Bukan salah saya mikir begitu, soalnya buku-buku Lala memang ditulis dalam bahasa Inggris yang “native” sekali rasa bahasanya. Hampir tidak terasa jejak bahasa indonesianya.

Sangat “effortless” sekaligus “readers-friendly”. Untuk buku yang membahas rasa, pilihan kata dan ekspresi penulisnya mempertajam maksud sehingga pembaca bisa dong (paham/ bahasa Jawa). Taruhlah misal ketika penulis yang arsitek alumni Universitas Parahyangan ini mendefinisikan konsep “mixed feelings“.

Mixed feeling … something you can’t really explain but you know how it feels. … Similar to uneventful taste of that ugly green healthy juice.
… to the friendship that works only for a year-end shopping spree and a short girl-talk at beauty parlour.
… to the numb-sad feeling after a plain breakup with somebody you’re not really into.
… to spend the night in to watch your favourite TV series but the electricity is out.
… to the feeling of eating McDonalds’s double cheeseburger and you forget to remove the pickles (BoFF, hal. 16-17).

Baca juga:  Otoritas Keagamaan dan Genealogi Islam Indonesia

Itu dari segi bahasa.

Dari segi “pesan” (ini yang biasanya pembaca umumnya cari ketika membaca buku, artikel atau apa pun kan: moral of the story-nya apa?), agak merupakan “hil yg mustahal” (kalau istilah alm Asmuni) untuk menyimpulkannya dalam satu dua kalimat.

Buku bergambar tanpa bab ini merekam lintasan pemikiran, perasaan negatif, pesimisme, kemarahan terpendam penulisnya, yang normalnya orang takut (minimal enggan) menuliskannya di status Facebook atau Instagram, sebab akan menampakkan betapa “rombengan” sebenarnya kita, eh … saya. Para penyuka “quotes” akan suka nih. Banyak yang bisa dikutip.

Tapi Lala yang sudah rajin berpameran karya seni sejak 2009, menulis renungannya itu tidak dengan mendayu-dayu minta dipuk-puk. Biasa saja. Pun ia tidak mengajak pembacanya meromantisir perasaan negatif, kelemahan, atau kebodohan yang ada dalam diri. Ia hanya “bergumam”, mendorong pembacanya menerima dengan wajar bahwa “bayangan gelap” memang ada di diri setiap orang. Di bawah cahaya, bayangan gelap akan semakin tampak besar dan nyata. Tapi di dalam ruangan tanpa cahaya pun bayangan gelap tetap ada. Hanya saja tersembunyi dari mata orang lain.

Terlalu sering berada di bawah cahaya, akan membuat seseorang harus banyak pupuran, berbedak, untuk orang lain melihatnya dengan enak di mata mereka. Buku-buku ini mengajak pembacanya masuk ke dalam jiwanya, ketika tidak ada cahaya yang menerangi atau mata yang menyaksikan.

“Too much perfection and positivity
kills everything. Slowly and absolutely.
The human race believes positivity is
the key of success. The human race believes
perfection is the key to happiness.

“While both are the ultimate keys to
neverland where everything is fake and
literally unreachable. “Dream, baby, keep on
dreaming,” they say, so they can keep selling
and you keep buying whatever they sell.” (BoFF, hal. 138)

Baca juga:  Masymumat al-Warrad Fi Tartib al-Awrad: Jejak Peninggalan Khazanah Spiritual Islam di Tanah Buton

Harapan dan kehadiran orang lain, yang seringnya kita terima begitu saja sebagai kewajaran, seringnya bikin lelah dan absurd pada saat yang sama.

“You go home after doing all things you’re not interested in for a whole day. Meeting people who are not dreamers. Taking notes on things you would never pay attention to. Discussing matters that would never affect your mind and your life. Listening to everybody’s unimportant thought that what’s important and what’s not. Breathing in air which is located in the most cold-blooded place on earth called forced routine. The energy is so magnetic it comes from your basic needs: validation, things, friendship.” (BoFF, hal. 109).

Yang menarik, menurut Lala Bohang, paling pelik itu hubungan di antara perempuan (hampir pasti refleksinya sebagai perempuan):

Woman to woman friendship is the hardest of them all
Caring and at the same time bullying
Supportive but at the same time envious
Smile expression but at the same time judgmental
Sweet emoticon but at the same time constant comparison
Understanding but at the same time demanding
Accepting but at the same time never feel good enough
Listening but at the same time talking someone’s back

So, stay Awake.

Lala sama sekali tidak mengutip kalimat yang dinisbahkan pada filsuf eksistensialis Jean-Paul Sartre (pun saya tidak ingin membahasnya) tapi konon banyak disalahpahami maksudnya: Hell is other people. Neraka itu adalah orang lain. Tetapi di buku BoFF dan BoIB ini Lala memang membahas betapa ambigunya hubungan antarego itu.

Di satu sisi validasi terhadap keberadaan kita diperoleh dari orang lain, namun pada saat yang sama kehadiran orang lain juga membuat kita tidak menyukai diri sendiri. Nah, ini mungkin, sekali lagi mungkin, salah satu pesan moral dari buku ini: menerima dan mencintai diri sendiri, betapa pun gelapnya bayangan kita, itu sangat penting justru ketika kita menjalin hubungan dengan orang lain. Dengan satu orang (personal, dengan pasangan), atau dengan banyak orang sebagai makhluk komunal.

Whatsapp Image 2020 07 12 At 13.51.50

Pada hubungan personal, lara lapa  (sedih sekali) bisa muncul pada detik seseorang melihat pasangannya lebih mencintai dirinya sendiri ketimbang dirinya. Pedih itu ketika kita sadar pasangan kita lebih mencintai momen kesendiriannya, pekerjaannya, idealismenya, anaknya, sahabatnya, perjalanannya sendirian ke luar negeri, iPhonenya, wifi-nya yang cepat dan memungkinkannya terhubung dengan banyak sekali hal selain kita. Sementara dengan kita, ia hanya menyukai bagian “intimacy” bersama kita. Bukan menyukai diri kita yang sesungguhnya.

Baca juga:  Campur Baur Logika dalam Puisi

Buku-buku Lala Bohang ini bukan jenis buku “how to be happy“. Sama sekali bukan. Tidak ada petunjuk praktis untuk itu. Alih-alih, “This book is meant to be a good friend, the one you can keep by your side, the one you can be honest with.”

Lala hanya mengajak kita untuk “melek”, sambil dia sendiri bergumam ketika meraba batinnya.

Stay awake in the dark. Open your eyes until you see something
Stay awake in the light. Close your eyes until you feel something
Stay awake in the temporary. Open your mouth until you breath in something
Stay awake in the between. Shut your mouth until you understand something
Stay awake in the beginning. Open your heart until you trust something
Stay awake in the end. Close your heart until you heal something (BoIB, hal. 6-14)

Ilustrasi yang Bukan Sekadar Ilustrasi.

Anggap ini bagian di mana saya mulai mendesak teman-teman untuk membaca Lala Bohang. Satu hal yang sangat penting tentang buku-bukunya ini adalah formatnya yg unik. Bukan dari segi ukuran, tapi dari sisi ilustrasi.

Sebenarnya tidak adil disebut ilustrasi karena sesungguhnya gambar-gambar yang dibuat sendiri oleh penulisnya ini dipikirkan dan dikurasi dengan amat cermat. Gambar menguatkan teks, dan sebaliknya. Tokoh utama ilustrasi adalah gadis dengan ekspresi sayu, berambut model bob dengan kaus dan stoking garis-garis motif baju khas tahanan di komik-komik. Kenapa garis-garis ala tahanan? Kata Lala itu menggambarkan jiwa yang terpenjara dalam tubuh.

Whatsapp Image 2020 07 12 At 13.51.51

I’m just a body
She’s the thinker.
She’s so inconsistent and always
has this thirst for attention
and celebration for herself.

Jadi, di luar ada orang lain, sementara di dalam ada “jiwa” yang terus-terusan ngeriwuki, gengges, merongrong.

Jadi seberapa menyebalkan hidupmu hari ini, sis and bro? Coba baca buku ini. Mungkin dia berhasil “nemenin” kamu. (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Scroll To Top