Sedang Membaca
Menelisik Wahabi (12): Kaum Salafi (Neo Wahabi) Berkembang Pesat
Nur Khalik Ridwan
Penulis Kolom

Penulis keislaman, penikmat dunis sufi, dan aktivis NU

Menelisik Wahabi (12): Kaum Salafi (Neo Wahabi) Berkembang Pesat

1 A Bbc Syar

Di dunia Islam, wakil dari pandangan-pandangan Wahhabi adalah kaum Salafi. Mereka pun tidak senang disebut “Wahabi” (dengan ha satu), seperti terangkum dalam kitab Minhajul Firqah an-Najiyah wath Thaifah al-Manshurah, yang disusun Jamil Zainu. Akan tetapi kalaupun terpaksa disebut begitu, mereka ingin disebut dengan sebutan “Wahhabi” (dengan dua H), yang dinisbahkan kepada asma “Ya Wahhab”, salah satu al-Asma al-Husna.

Kalau, saya sendiri, menamakan “Wahhabi” dengan h dobel, saya ber-tabarruk kepada asma itu, agar di antara mereka ada yang “dijadzbah” Allah memperoleh jalan rahmatan lil ‘alamin, melalaui pintu para imam dan guru-guru besar kita; dan dalam kedengaran telinga, kita diingatkan akan kekejaman kaum ini ketika membunuh sesama kaum muslim di dalam proses pendirian gerakan ini, dalam jumlah yang banyak, karena di telinga, perbedaan antara “Wahabi” dan “Wahhabi”, sulit sekali dibedakan.

Guru besar mereka tidak lagi tunggal, seiring dengan munculnya generasi-generasi baru. Di masa lalu, Muhammad bin Abdul Wahhab, memegang kunci ini, tetapi setelah beberapa generasi, guru-guru besar salafi muncul, seperti Bin Baz, Abdurrahman Abdul Kholiq, dan beberapa yang lain, yang menumbangkan hegemoni keluarga keturunan Muhammad bin Abdul Wahhab yang disebut Alu Syaikh. Mereka pun berselisih, satu sama lain, karena patron guru mereka yang berbeda; dan tingkat persentuhan mereka yang berbeda-beda dengan Ikhwanul Muslimin; dan posisi yang berbeda dengan pemerintah Arab Saudi.

Di Indonesia juga terjadi perselisihan sesama mereka, tetapi perselisihan itu harus dilihat sebagai satu hal. Hal lain, yang perlu dilihat adalah, tingkat permusuhan mereka dengan bid’ah hasanah yang kontinu, memerangi praktik-praktik kaum muslimin yang dianggap bidah dholalah oleh mereka; dan kontinuitas permusuhannya terhadap keyakinan akidah kaum Asya’riyah yang dianggap batil. Hanya cara dan aksentuasi sesama mereka atas hal itu yang berbeda-beda, satu sama lain. 

Di dalam konteks jumlah, secara nasional, bisa dihitung kecil dibandingkan umat Islam secara keseluruhan. Akan tetapi jumlah besar dan kecil, untuk melihat kekuatan, masa sekarang, bukan suatu yang linier berhubungan dengan kuantitas massa. Kekuatan kelompok, pada masa sekarang, ekuivalen dengan penguasaan ekonomi, teknologi (termasuk digital), birokrasi, pendirian rumah sakit, dan pendirian sekolah-sekolah muslim berlabel kualitas dan terpadu, dan hal-hal sejenis.

Baca juga:  Kisah Abu Hasan Al-Asy’ari Keluar dari Muktazilah

Melihat dalam gerakan mereka di sebuah tempat, di kota X, menunjukkan dengan jelas bahwa mereka memiliki strategi-strategi yang tidak remeh, meskipun kelihatan di muka, bila berargumentasi soal debat keagamaan hanya menyodorkan kutipan ayat dan hadis. Hal ini, yang tidak boleh luput diperhatikan. Mereka memiliki metode reproduksi tersendiri untuk bisa berkembang biak, di tengah masyarakat yang tidak mendukung gerakannya.

Strategi menguasai satu wilayah, lalu mempertahankan wilayah itu dengan gigih, adalah nyata. Sebuah desa yang dulunya biasa-biasa saja, hidup rukun, dengan tradisi keagaman yang sudah biasa dijalankan, harus sanggup melihat dengan kerkejut-kejut, ketika sepuluh tahun terakhir, satu blok desanya sudah menjadi Salafi. Dengan bergerombol mereka membeli tanah-tanah pinggir kali, dengan harga yang cukup mahal untuk ukuran biasa tanah seperti itu, sehingga menarik bagi penjual yang membutuhkan uang cash.

Setelah itu, mereka mendirikan masjid, rumah-rumah dan tempat pendidikan sendiri, dengan lingkungan bergerombol sendiri dan dengan membuat RT sendiri. Mereka yang dating dari jauh-jauh, bergerombol dalam satu komunitas bersama di tempat baru.

Membangun pendidikan, dari mulai PAUD, TK, SD, SMP dan SMA,  dengan memakai simbol Islam dan menawarkan kehidupan Islam, tidak dengan Salafi, atau Wahhabi, juga dilakukan.

Di 3 kelurahan, yang hanya ada 1 SD, masyarakat harus terkejut-kejut, ketika mereka melihat kaum salafi, membangun PAUD, TK, dan beberapa jenjang pendidikan, dengan harga yang terjangkau dan sedikit tawaran keringanan biaya bagi yang tidak mampu.

Orang-orang yang anaknya ingin sekolah, melihat faktanya, tidak ada sekolah lain yang dekat dari kampung-kampung mereka, akhirnya tetap mengirimkan anaknya ke sekolah-sekolah kaum Salafi. Lambat laun, dengan kesopanan pergaulan, keterkejutan-keterkejutan berubah menjadi ketergantungan menitipkan anak untuk sekolah.

Mereka, juga membangun jaringan ekonomi kreatif di antara sesama komunitas, satu sama lain saling menopang: ada yang berjualan es, ada yang berjualan roti, ada yang menjadi pembeli tanah, ada yang menekuni herbal, dan ada yang mengorganisir pendidikan, ada yang mengorganisir klinik, dan lain-lain. Tampak sekali, kaum Salafi  ini memiliki pimpinan yang bisa memimpin, bukan hanya memiliki ketua organsiasi, meskipun berita di sana sini ada perpecahan juga teresiar.

Baca juga:  Benarkah Ibnu Sina Bermazhab Syiah?

Mereka, juga mengejutkan, di sebuah daerah yang masjidnya sudah lusuh, ditawari untuk dibangun, dan tingkat konsesi kesepakatannya berbeda-beda, sehingga ada kedekatan mereka dengan sebagian kampung. Sebuah masjid yang basis kultural lama, dengan pemimpin-pemimpin lama yang kuat, menolak tawarannya. Resistensi yang dibangun memang cukup berhasil. Akan tetapi karena di kampung ini tidak ada sekolah dan klinik, sebagian anak mereka harus rela disekolahkan di tempat kaum Salafi.

Menurut sebagian mereka yang melakukan ini, karena sekolah yang dekat memang hanya di situ, maka anaknya disekolahkan di situ. Proses kultural disobedience telah dibangun terhadap elit lama melalaui kerja-kerja jangka panjang merekrut anak didik untuk sekolah.

Mereka, juga membangun melalaui keberdayaan sebuah keluarga, dengan rumah kccil, dengan anak-anak yang banyak, dengan istri yang juga tidak hanya satu. Mereka berkembang biak begitu cepat. Kalau jumlah mereka ada 200 kepala rumah tangga, dengan minimal istrinya dua saja, dengan anak-anak minimal empat, keluarga ini akan berkembang begitu cepat. Apalagi kalau istrinya empat, dengan anak minimal delapan setiap keluarga, jumlahnya akan lebih cepat lagi. Mereka tidak akan berseminar soal ledakan penduduk, apalagi mendatangkan layanan KB, atau berhubungan sehat melalaui kondom.

Fenomena itu membuat masyarakat di sekitarnya terkejut-kejut lagi, karena dulu hanya satu kampung, sekarang sudah membeli tanah-tanah di sekitar kampung. Jadilah mereka melebar ke daerah-daerah di sekitarnya, dengan gedung-gedung sekolah yang baru, memiliki makam sendiri yang juga baru.

Apa yang dulu disebut dengan pendirian kampung Islam Internasional di kota X, yang dibayangkan ada masyarakat muslim dari berbagai dearah dengan berbagai mazhab atau keyakinan, ternyata adalah kampung  yang diorganisir, menjadi basisnya kaum Salafi. Keterkejutan orang-orang di sekitarnya bertambah-tambah, karena dulu sempat dikampanyekan oleh beberapa elit politik, bahkan dibuka oleh tokoh tertentu yang dikenal sebagai bukan santri.

Baca juga:  5 Jenis Wabah di Zaman Awal Islam, Salah Satunya Terjadi Saat Ramadan

Di kota X ini, mereka tidak lagi ofensif di luar batas territorial untuk menyerang secara kultural tradisi masyarakat di luar, kecuali dalam beberapa kasus, seperti misalnya soal kemungkinan membuka tempat wisata di wlayah itu, baru mereka akan terlibat; akan tetapi keterlibatannya sebatas, juga membaca strategi pada batas-batas yang mungkin bisa dipengaruhi. Selebihnya mereka lebih yakin bahwa jalan pendidikan, mendirikan rumah sakit dan klinik, membangun jaringan UKM, dan mendirikan masjid, adalah jalan panjang yang memiliki masa depan untuk menjadi semakin besar. 

Sementara masyarakat di sekitarnya tetap terkejut-kejut, sambil membicarakan terus menerus: mereka punya dana dari mana, bisa membangun sekolah seperti ini? Diskusi selalu ada di tingkat masyarakat, untuk merespon kaum Salafi, tetapi untuk membuat dinamisasi, menggerakkan masyarakat-masyarakat di sekitar ini, selalu tidak pernah memiliki jalan keluar. Jaringan kultural, akhirnya dipilih di setiap kampung harus tetap ada majlis-majlis rutin, akan tetapi sampai kapan hal ini bisa dipertahankan, adalah suatu yang menjadi keprihatinan, paling  tidak untuk menarik generasi baru. Manakala anak-anak mereka sendiri sudah bersekolah di sekolah-sekolah kaum Salafi. 

Bahkan sekolah kaum modernis, yang dulunya terbesar di daerah itu, saat ini sudah terlihat sangat kecil di hadapan mereka, dan di sisi bangunan-bangunan besar kaum Salafi ini. Ketika guru-guru sekolah kaum modernis ini di kelas, ke luar di sisi mereka, sambil terkejut-kejut pula melihat kaum Salafi yang semakin besar di daerah itu. Ketika kaum Salafi memoderasi strategi gerakannya, dan menawarkan jalan keluar dalam pendidikan, rumah sakit, dan sejenisnya; dan sementara tidak ada perbaikan, peningkatan strategi, dan keandalan pimpinan, dari gerakan muslim lain yang selama ini resah dengan perkembangan Salafi, maka yang terlihat hanya akan menjadi “gerakan terkejut-kejut”; masyarakat juga tidak akan memiliki alternatif model. Wallahu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
4
Senang
2
Terhibur
2
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top