Sedang Membaca
Syekh Arsyad dan Lailatul Qadar
Nur Hidayatullah
Penulis Kolom

Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo Semarang, Alumnus Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah Amuntai Kalsel.

Syekh Arsyad dan Lailatul Qadar

079ce4bb 6b24 4093 97df 323903d55ef0

TEPAT 318 tahun yang lalu, sepasang suami istri dari Negeri Banjar yang bernama Abdullah dan Aminah, mendapati malam Lailatul Qadar, malam 21 Ramadan 1121 H.

Keduanya melihat kayu dan batu sujud kepada Allah, air sungai membeku. Keduanya memohon kepada Allah SWT agar anak yang dikandung sang istri menjadi seorang yang alim lagi zahid.

Manakala sempurna masa hamilnya, lahirlah anak laki-laki pada malam Kamis jam 3 pagi tanggal 13 Shafar 1122 H. Anak itu diberi nama Muhammad Arsyad.

Anak ini sangat cerdas, di usia 8 tahun sudah terlihat bakatnya, beda dengan anak-anak seusianya, ia pandai melukis.

Saat itu kebetulan Raja Banjar Sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidillah sedang berkeliling negeri. Ia terhenti kagum ketika melihat lukisan indah yang dibuat seorang anak kecil.

Sultan pun meminta izin pada orang tuanya agar ia tinggal di istana, dididik dan diajari oleh pihak kerajaan. Raja menjanjikan dirinya ketika dewasa nanti untuk berangkat memperdalam ilmu agama Islam di Makkah Mukarramah.

Suatu malam, Muhammad Arsyad kecil tidur di istana bersama para menteri. Aneh tapi nyata, seorang menteri terbangun, dan melihat jasad Muhammad Arsyad terangkat dari tepat tidurnya sekitar satu hasta. Menteri pun langsung memegang anak ini.

Baca juga:  Saya Muhammadiyah yang Tercemar NU

Arsyad terbangun lalu menangis. Ketika ditanya oleh menteri apa sebab menangis? Anak ini menjawab bahwa ia bermimpi seorang lelaki yang membawanya naik ke langit. Ketika menteri memegangnya, ia pun terjaga.

Anak ini dikirim raja ke Makkah ketika berusia 30 tahun. Ia menimba ilmu di Makkah selama 30 tahun, menguasai semua disiplin ilmu, hingga diberikan izin oleh gurunya Syekh Athaillah untuk mengajar dan berfatwa di Masjidil Haram.

Dari Makkah, ia berangkat ke Madinah, menimba ilmu kurang lebih 5 tahun, berguru dengan Syekh Muhammad Samman al-Madani (Muassis Tarekat Sammaniyah). Syekh Samman ini murid dari Syekh Sulaiman al-Kurdi (ulama besar fiqh abad 12 H).

Syekh Arsyad meminta izin kepada Syekh Samman untuk ikut hadir di majlis Syekh al-Kurdi. Beliau pun diizinkan Syekh Samman. Suatu ketika, Syekh al-Kurdi menemukan persoalan yang dianggap pelik, kemudian ia memberikan kesempatan kepada semua muridnya agar menjawabnya. Tapi tak ada yang menjawab. Hingga kemudian, datang sepucuk ke hadapan Syekh al-Kurdi, yang tak lain adalah jawaban atas persoalan tersebut.

Maka Syekh al-Kurdi bertanya siapa yang menulis surat itu, maka dijawab para santri tidak tahu, tapi didapat dari belakang, setelah ditanya terus ke belakang shaf, ternyata yang menjawab adalah Syekh Muhammad Arsyad, seorang santri baru di majlis itu.

Baca juga:  Bagi Ifa Isfansyah, Film adalah Visi Sutradara, bukan Produser

Al-Kurdi bertanya kepada santri yang menjawab ini, “Min aina anta? Dari mana kamu?”

Lalu dijawab olehnya, “Ana min Banjar. Saya dari Banjar.”

Kemudian ditetapkan oleh al-Kurdi, Anta Banjari. Beliau lah yang kita kenal Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.

Al-Kurdi kemudian meminta kepada para santri agar mencium tangan Syekh Arsyad, dan menyatakan bahwa Syekh Arsyad adalah muridnya yang paling alim. Setelah kejadian ini, Syekh Arsyad diminta al-Kurdi untuk duduk di depan dalam majlisnya.

Kembali ke Lailatul Qadar. Ketika bertemu Lailatul Qadar, Syekh Arsyad meminta agar diberikan dzuriat yang alim lagi sholeh hingga tujuh turunan. Dalam karya monumentalnya, Sabilal Muhtadin, beliau mengutip pendapat Imam Syafi’i bahwa di sepuluh malam terakhir hendaklah i’tikaf memperbanyak ibadah, sedekah, dan membaca Alquran.

Dan di siang harinya mengisi berbagai ibadah dengan penuh keikhlasan dan sungguh-sungguh, karena malam Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan. Hadis Nabi, siapa yang menghidupkan malam lailatul qadar dengan ibadah karena iman dan mengharap keridhoan Allah, maka Allah ampuni dosa-dosanya yang terdahulu (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud, dari Abu Hurairah).

Aisyah istri Rasulullah SAW bertanya, wahai Rasul, bila aku menemui Lailatul Qadar, doa apa yang mestinya aku panjatkan? Rasul menjawab: Allahumma innaka ‘afuwwun karim, tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni. (HR. Tirmizi, Ahmad, dan Ibnu Majah).

Baca juga:  Haul Keenam Mbah Liem: Kritik untuk Ulama

Di antara tanda-tanda lailatul qadar yang disebutkan dalam Sabilal Muhtadin, antara lain: malam itu tidak terlalu panas, tidak terlalu dingin, dan pada keesokan harinya matahari terbit warnanya putih bersih, tidak banyak mengelurkan cahaya karena banyaknya para malaikat yang turun dan naik ke langit, karena itu cahaya matahari terlindung dengan sayap malaikat dan dengan tubuhnya yang halus, dan tidak diketahui malam lailatul qadar melainkan orang yang tahu tentang ciri malam Lailatul Qadar. Wallahu a’lam.

(Dikutip dari Sabilal Muhtadin karya Syekh Muhammad, dan Syajaratul Arsyadiyah karya Syekh Abdurrahman Shiddiq).

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
2
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top