Untuk menandai bulan baru, orang Arab terbiasa hanya berpatokan pada terlihatnya hilal secara kasat mata. Dan jumlah bulan bagi mereka ada dua belas bulan, dari Muharram ke Dzulhijjah. Namun mereka belum mempunyai angka tahun.
Syekh Muhammad Yasin Al-Fadani menceritakan, suatu ketika Umar bin Khattab menemui kasus bulan Sya’ban, Sya’ban kapankah ini? Apakah Sya’ban yang berlangsung pada tahun ini, kemarin atau yang akan datang. Maka berkumpullah para sahabat untuk membahas hal ini, dan diputuskan bahwa harus ada awal tahun dalam kalender qamariah. Saat itu disepakati bahwa awal tahunnya dimulai dari hijrahnya Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada hari Kamis, 15 Juli 622 M menurut hisab istilahi, dan hari Jum’at, 16 Juli 622 M menurut hisab hilal.
Kemudian ditetapkan bulan pertama diawali dari Muharram, Shafar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Ula, Jumadil Tsani, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawwal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Dan hari yang pertama dimulai dari hari Ahad, lalu Senin, Selasa Rabu, Kamis, Jum’at, dan Sabtu.
Kata Abu Raihan al-Biruni, sebagaimana yang dikutip Syekh Yasin, bahwa orang Arab dulunya tidak punya nama tertentu untuk hari-hari mereka. Sehingga untuk menyatakan hari mereka memberi satu nama untuk tiga malam, seperti: hilal, qamar, bahar, zahar, bidh, dir’, zhulm, hanadis, da-adi, dan muhaq. Lalu ada juga yang memberinya satu nama untuk setiap lima malam, yaitu : hilal, qamar, badar, sama, zholam, dan kadar.
Setelah mapan keberadaan kalender hirjiah qamariah, belakangan, umat Islam saat itu memandang perlu adanya kalender syamsiah, maka mereka menjadikannya sebagaimana kalender kamariah, namun perhitungannya diawali saat Rasulullah SAW membangun masjid quba, yaitu pada hari Selasa, 9 Rabiul Awwal bertepatan dengan tanggal 21 September 622 M. Dan jumlah bulannya juga 12, yang awalnya adalah rasi mizan atau libra, dan akhirnya adalah rasi sunbulah atau virgo.
Para sejarawan menyatakan bahwa tahun kamariah hijriah berjumlah 354 hari saat tahunnya basitah. Jika kabisat, maka jumlah harinya 355 hari.
Hisab awal bulan yang ditampilkan Syekh Muhammad Yasin al-Fadani pada kitab Syarah Tsamarat al-Wasilah berstatus hisab urfi, bukan hisab hakiki, sehingga tidak bisa dijadikan acuan dalam ibadah untuk memulai dan mengakhiri puasa. Ia hanya berlaku dalam kalender sipil.
Dan jika hasil perhitungan menggunakan hisab hakiki sekalipun, ia tidak bisa dijadikan acuan mutlak dalam syara’, sebab yang berlaku untuk menandakan masuknya bulan baru adalah ru’yatul hilal yang dilakukan setelah terjadinya ghurub. Maka lama satu bulan hilali itu antara dari hilal ke hilal. Dan tidak disebutkan bulan baru kecuali terlihat hilal pada malam pertamanya, meskipun ijtima’ terjadi setelah ghurub. Ini menurut perspektif syara.
Namun bulan baru berdasarkan individu hasib, bisa saja dimulai dengan adanya bulan hakiki, apakah itu kemungkinan hilal terlihat atau pun tidak. Orang yang ahli hisab adalah yang mengetahui manzilah bulan dan pergerakannya. Dan ini memungkinkan bagi si hasib untuk menyatakan pakah hilal mungkin dilhat atau tidak. Maka bagi seorang ahli hisab, bulan baru dinyatakan masuk manakala sudah terjadi ijtima’sebelum ghurub, maka lama satu bulan adalah dari ijtima’ ke ijtima’. Dalam pandangan mereka bulan baru sudah dinyatakan masuk.
Ibnu Qasim dalam hasyiyahnya atas Tuhfatul Muhtaj menyatakan bahwa Syihabuddin Ahmad ar-Ramli ditanya seputar kebolehan menggunakan hasil hisab dalam berpuasa, apakah boleh digunakan manakala hilal memang terbukti pasti dan dapat terlihat atau mutlaq tanpa syarat? Maka Imam Ramli menjawab bahwa hasil perhitungan si hasib tersebut mencakup tiga keadaan, yaitu: 1) dinyatakan hilal di atas ufuk meski tidak terlihat, 2) dinyatakan hilal di atas ufuk dan pasti terlihat, dan 3) dinyatakan di atas ufuk dan kemungkinan terlihat.
Namun al-‘Allamah Abdul Hamid Syarwani menegaskan bahwa tidak dibenarkan mengamalkan hisab bila keadaannya seperti yang pertama dan yang ketiga. Dengan kata lain, yang dibenarkan untuk pengamalan hisab hanya bilamana hilal di atas ufuk dan pasti terlihat.
Syekh Yasin melanjutkan, bahwa jangan terkecoh dengan ucapan bolehnya mengamalkan hisab secara mutlak, sebab yang dibolehkan hanya pada keadaan kedua saja. Sebab maksud hadis: shumu li ru’yatihi wa afthiru li ru’yatihi (berpuasalah karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya) itu ditaqdirkan mudhafnya, yaitu li imkan ru’yatihi (karena kemungkinan hilal bisa terlihat).
Dari sini jelas bahwa kedudukan hisab awal bulan kamariah hanya sebagai alternatif kedua saja, yaitu bilamana rukyah tidak berhasil karena langit mendung dan hilal tidak terlihat, namun hilal telah diprediksi telah berada di atas ufuk dan dinyatakan pasti bisa dilihat, barulah digunakan hisab.
Referensi:
Syekh Muhammad Yasin Al-Fadani, al-Azhar al-Khamilah Syarah Tsamarat al-Wasilah