Sedang Membaca
Khutbah Idul Adha: Menyikapi Perbedaan Hari Raya Tahun 1443 H
Nur Hidayatullah
Penulis Kolom

Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo Semarang, Alumnus Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah Amuntai Kalsel.

Khutbah Idul Adha: Menyikapi Perbedaan Hari Raya Tahun 1443 H

 اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَمَرَناَ أَنْ نُصْلِحَ مَعِيْشَتَنَا لِنَيْلِ الرِّضَا وَالسَّعَادَةِ، وَنَقُوْمَ بِالْوَاجِبَاتِ فِيْ عِبَادَتِهِ وَتَقْوَاهُ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ. اَللَّهُمَّ  صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى أَشْرَفِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، أَمّا بَعْدُ:  فَيَا عِبَادَ الله اُوْصِيْنِي نَفْسِي وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْم، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْا ۖوَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ اَعْدَاۤءً فَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهٖٓ اِخْوَانًاۚ وَكُنْتُمْ عَلٰى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنْقَذَكُمْ مِّنْهَا ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ

Hadirin Sidang Jum’at yang Dimuliakan Allah

Marilah kita senantiasa meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT, dengan semaksimal mungkin mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangannya.

Alhamdulillah, saat ini kita berada di Bulan Dzulhijjah, berada di 10 hari pertama di Bulan Dzulhijjah, yang keutamaannya sangat banyak. Rasulullah SAW bersabda:

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ».

“Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai Allah SWT melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzulhijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah SWT?” Rasulullah SAW menjawab, “Tidak pula jihad di jalan Allah SWT, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satu pun.

Di antara amalan selain yang utama seperti Hari Raya Idul Adha di bulan Zulhijah, adalah puasa tarwiyah dan arafah pada tanggal 8 dan 9 Dzulhijah. Rasulullah SAW bersabda: “Puasa di hari Tarwiyah akan mengampuni dosa setahun yang lalu. Sedangkan puasa Arafah akan mengampuni dosa dua tahun.” (HR Tirmidzi dan Bukhari).

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari Syarah Shohih Bukhari mengatakan sebab menjadi istimewanya 10 hari pertama Bulan Dzulhijjah karena terhimpunnya induk-induk ibadah di dalamnya, yaitu puasa, shalat, sedekah dan haji. Dimana untuk waktu-waktu yang lain tidak bisa terjadi.

Baca juga:  Shah Cheragh dan Masjid yang Berkilau

Untuk itu hadirin yang dimuliakan Allah, kita dianjurkan untuk memperbanyak amal shaleh, melaksanakan haji dan umroh, puasa sunnah terutama pada 9 Dzulhijjah, serta sholat id dan berkurban, memperbanyak doa dan zikir di hari Arofah, dan bagi yang berkurban sunnah baginya untuk tidak memotong rambut, kuku, dan bulu yang ada di badan.

Hadirin Yang Berbahagia

Di Indonesia saat ini, umat Islam berbeda pendapat seputar penentuan kapan 1 Dzulhijjah 1443, ada yang mengatakan jatuh pada 31 Juni 2022 ada juga yang mengatakan 1 Juli 2022, hal ini mengakibatkan perbedaan waktu puasa arafah dan hari raya idul adha. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama RI menetapkan Idul Adha 1443 H jatuh pada hari Ahad 10 Juli 2022. Ketetapan ini merupakan hasil sidang isbat yang dihadiri oleh para ulama fiqh dan falak, ahli astronomi, yang berdasar pada kajian syariah dan ilmiah. Dalam rukyatul hilal akhir Dzulqa’dah 1443 H/30 Juni 2022, para perukyat tidak berhasil melihat hilal, sehingga perlu diistikmalkan menggenapkan bulan Dzulqo’dah 30 hari. Dan menurut kajian ilmiah, posisi hilal ketika itu masih belum memenuhi kriteria imkanur rukyah 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat atau batas minimal visibilitas hilal, maka diputuskan 10 Dzulhijjah 1443 H bertepatan dengan 10 Juli 2022.

Namun demikian, di antara kita juga ada yang beridul adha pada hari Sabtu, 9 Juli 2022. Karena berargumen bahwa hilal telah tampak meski tak bisa dilihat. Hilal sudah berada di atas 2 derajat atau hilal sudah ada di atas ufuk menurut wujudul hilal. Maka ditetapkan idul adha jatuh pada 9 Juli 2022. Imam Romli dan Imam Ibnu Hajar memperbolehkan bagi seseorang yang ahli hisab untuk mengamalkan hisabnya, dan boleh juga bagi orang yang mempercayai hisab tersebut. Karenanya, pemerintah kita Indonesia juga memberikan toleransi perbedaan dalam penetapan Idul Adha.

Baca juga:  Khutbah Jumat: Menumbuhkan Rasa Optimisme di Tahun Pandemi

Ala kulli hal. Yang puasa Arafah 8 Juli silahkan, tapi jangan menyalahkan yang puasa 9 Juli dan beridul Adha 10 Juli. Begitu juga sebaliknya, jangan menyalah orang yang puasa arafah di tanggal 8 Juli. Apalagi menyebar ujaran kebencian dan caci maki. Jaga akhlak kita kepada sesama muslim. Jaga kebersamaan kita.

Jangan lagi ada caci maki kepada mereka yang berbeda Idul Adha dengan kita. Siapa kita hingga berani caci maki orang lain. Orang yang beriman jauh dari pada sikap mencela dan caci maki. Orang beriman membawa kedamaian. Kata Rasulullah SAW: al-Muslim man salimal muslimun min lisanihi wa yadihi. Orang yang muslim adalah bilmana orang muslim yang lain selamat dari lisan dan perbuatannya.

Fir’aun itu zhalimnya bukan main. Mengaku tuhan, angkuh, membunuh bayi hidup-hidup, memusuhi Nabi Musa. Tahu apa pesan Allah kepada Nabi Musa dan Harun?

اِذْهَبَآ اِلٰى فِرْعَوْنَ اِنَّهٗ طَغٰىۚ فَقُوْلَا لَهٗ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهٗ يَتَذَكَّرُ اَوْ يَخْشٰى

 

(Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut). (QS Taha: 43-44).

Kepada Fir’aun saja diminta untuk lemah lembut. Lalu mengapa sekarang malah berani caci maki? Bahkan tidak segan mencari maki pemimpin, apakah pemimpin sekarang lebih zhalim dari Fir’aun? Apakah kita lebih mulia dan lebih suci dari Nabi Musa sehingga seenaknya mencaci maki pemimpin?

Dalam Islam diajarkan mendoakan pemimpin. Dalam khutbah Jum’at sunnah hukumnya mendoakan pemimpin, Allahumma ashlih wulatil Muslimin. Ini yang diajarkan para ulama.

Puasa Arafah hukumnya sunnah, shalat idul adha pun juga sunnah, tapi caci maki hukumnya haram. Jangan sampai kita semangat dalam perkara sunnah, tapi mengabaikan perkara yang wajib, yaitu menjaga kebersamaan dan silaturahmi.

Bisa saja kita hebat dalam beramal, namun tidak ada jaminan diterimanya amal tersebut. Di akhirat ada orang yang bangkrut amalnya, karena ucapannya atau ada hak saudaranya yang tak ia tunaikan. Lebih baik beramal sedikit, namun tunai segala yang wajib, serta tidak mengganggu orang lain, tidak berkata kotor dan caci maki kepada sesama muslim.

Baca juga:  Masjid Tongas, Masjid Andalan Pelintas di Probolinggo

Kata Rasulullah SAW: Seorang mukmin itu mendapatkan pahala puasa (sunnah) dan qiyamul lail, dengan berakhlak yang baik.

Hadirin Yang Dimuliakan Allah

Dalam beramar ma’ruf nahi munkar, bukan sekedar menyampaikan kebenaran, melainkan juga mengandung simpati agar yang diajak turut mendengarkan dan bersedia mengamalkannya, atau paling tidak, menghormati. Kalua pun ini tidak, kiranya dia tidak mencemoohkannya, karena itu Rasulullah SAW berpesan:

يَسِّروا وَلَا تُعَسِّروا وَبَشِّروا وَلَا تُنَفِّروا

Permudahlah jangan mempersulit, gembirakanlah dan jangan kamu membuatnya lari (HR. Bukhari).

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ

Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. (Ali Imran: 159)

Hadirin Yang Dimuliakan Allah

Perbedaan senantiasa ada, dan tak pernah kunjung selesai. Kepala sama berambut pikiran beda-beda. Perbedaan itu adalah sunnatullah. Yang dituntut adalah bagaimana sikap kita terhadap perbedaan itu. Sikap saling menghargai pendapat sangat perlu kita tanamkan dalam persoalan keagamaan sekarang ini, karena para Imam Mazhab juga demikian.

Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berbeda dalam banyak hal, sekitar 14.000 masalah furuiyyah; begitu juga antara Imam Syafi’i dan muridnya Imam Ahmad yang berbeda pendapat sekitar 6.000 masalah furuiyyah. Namun tidak seorang pun dari mereka yang saling memusuhi, yang ada hanyalah saling menghormati, saling menghargai, saling tawadhu, dan saling mendoakan.

Kata Imam Junaid al-Baghdadi: “Seseorang tidak dikatakan alim bilamana tidak menghargai pendapat yang berbeda dengannya”. Kita umat Islam itu bersaudara, jangan saling berpecah belah.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ,
وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْم
وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top