Nur Hidayatullah
Penulis Kolom

Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo Semarang, Alumnus Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah Amuntai Kalsel.

Bahtera Nabi Nuh Pun Bertawaf

Whatsapp Image 2020 07 11 At 13.32.06

Sering kita menyaksikan fenomena banjir. Bahkan ada yang paling mematikan, seperti peristiwa Banjir Yellow River (Huang He) di Cina pada tahun 1931, yang melanda daratan seluas 21.000 km persegi, dan menelan 1 juta hingga 4 juta korban jiwa.

Dalam catatan sejarah, ada bencana yang lebih dahsyat dari itu, yaitu peristiwa banjir Nabi Nuh, yang terjadi sekitar 5000 tahun yang lalu. Peristiwa ini disebutkan dalam kitab-kitab samawi (Taurat, Injil, dan Alquran) dan peradaban dunia, seperti Sumeria, Babylonia, India, Wales, Skandinavia, Lithuania, China, dan Yunani.

Alquran menceritakan kisah Nabi Nuh sebanyak 43 kali dalam 28 surah. Ia seorang Ulul Azmi, yang sabar dan tabah menghadapi kaumnya, hingga 900 tahun. Namun hanya sedikit yang beriman. Selebihnya tetap berbuat onar dan menyembah berhala. Mereka menantang Nabi Nuh agar ditimpakan azab. Nabi Nuh pun berdoa: rabbi la tadzar ‘alal ardhi minal kafirin dayyaran. (Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi). Doa dikabulkan dengan hujan lebat, keluarnya air dari perut bumi, dan meluapnya sungai Tigris dan Eufrat, hingga mampu menenggelamkan gunung, menyapu daratan dan musnah semua manusia kecuali mereka yang naik ke Bahtera Nuh. Perintah pembuatan kapal ini mengisyaratkan bahwa keselamatan itu dibuat oleh tangan manusia itu sendiri.

Tentang Kapal dan Banjir Nabi Nuh

Nabi Nuh (3993 – 3043 SM) adalah orang pertama yang membuat kapal, atas petunjuk Jibril dari Allah SWT. Ia membuat kapal di pegunungan Irak, sekitar tahun 3465 SM. Dalam kitab Sullam al-Munajat disebutkan, ada 124.000 papan yang dibutuhkan dalam pembuatan kapal ini. Pada setiap papan tertulis nama Muhammad; ditambah empat papan bertuliskan empat nama khalifah, yaitu: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Di kemudian hari, pada tahun 1953, potongan papan itu ditemukan. Setelah diadakan penelitian, pada papan itu memang terdapat tulisan yang bila diterjemahkan artinya adalah Muhammad.

Saat pembuatannya, menurut Ibnu Majid (astronom dan pelaut Arab abad 15), bahtera ini diarahkan ke arah lima manzilah bulan. Panjang kapal 400 hasta, lebar dan tingginya 100 hasta, serta mempunyai dua buah dayung. Menurut Ibnu Katsir, panjangnya 1200 hasta, lebar 600 hasta, dan bagian depannya agak lancip supaya mudah berlayar. Kapal itu bertingkat tiga. Tingkat pertama diisi binatang ternak dan buas masing-masing sepasang, lantai tiga diisi burung-burung, adapun manusia di lantai dua, yang jumlahnya 80 orang, yaitu Nabi Nuh dan Istri, ketiga anaknya beserta istri, dan 72 orang pengikutnya.

Baca juga:  Mencari Historiografi Islam Indonesia yang Mandiri

Ada banyak versi berapa lama badai ini berlangsung, ada yang menyebutnya terjadi selama 40 hari 40 malam. Menurut Ibnu Majid, yang paling shahih adalah 70 hari. Sementara Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah menyatakan lamanya 150 hari, yaitu sejak mulai banjir sampai surut kembali.

Kapal terdampar di sebuah gunung yang tinggi (al-judy), terletak di antara Iraq dan Syam, yaitu di Diyar Bakr bin Wael, salah satu kota terbesar di Tenggara Turki, yang berada di tepi Sungai Tigris, dekat jazirah Bin Umar. Lokasi ini ditulis Ibnu Majid pada tahun 1490 M dalam kitabnya al-Fawaid fi ‘Ilm al-Bahr wa al-Qawa’id. Namun baru diketahui publik setelah adanya penemuan pada abad 20, tepatnya 11 Agustus 1979, di pegunungan yang sekarang disebut Ararat, Turki, pada ketinggian 2.515 dpl. Dalam ekspedisi terbaru, ditemukan ukuran kapal itu, luas 7.546 kaki, panjang 500 kaki, lebar 83 kaki, dan tinggi 50 kaki.

Terdamparnya di Turki, menunjukkan bahwa kapal ini hanyut bergeser sejauh 520 km dari Irak tempat asal pembuatannya. Bahkan, dalam kitab al-Fawaid disebutkan, ketika terjadi Thufan (badai besar), kapal ini membawa penumpangnya mengelilingi Baitullah sebanyak tujuh putaran.

Terkait cakupan area banjir ini, ada dua pendapat, pendapat pertama bahwa banjir menggenangi seluruh muka bumi (global). Hal ini didasarkan pada doa Nabi Nuh tersebut di atas; selain itu disebutkan adanya fosil gajah di kutub utara, yang diduga ikut larut ketika terjadinya peristiwa banjir Nabi Nuh.

Baca juga:  Rencana Pemindahan Ibu Kota pada Masa Hindia-Belanda

Pendapat kedua, banjir lokal, diperkirakan hanya daerah Mesopotamia saja, yakni Turki, Iran, Irak, dan Rusia. Karena umat manusia masih terbatas, tidak merata sepert sekarang. Bencana atau azab pada saat itu sama seperti yang menimpa kaum ‘Ad dan Tsamud, hanya sebagian wilayah. Sementara itu, jumlah Nabi ada sebanyak 124.000, yang bila dihitung sejak zaman Nabi Adam, yakni tahun 5872 SM sampai ke Nabi Muhammad tahun 571 M, maka terdapat rata-rata sekitar 18 Nabi dalam setiap tahunnya. Dan tentu pada Nabi yang sezaman dengan Nabi Nuh tidak terkena azab.

Lahirnya Peradaban Baru

Setelah terdampar di gunung, peradaban baru kehidupan manusia kembali dimulai. Nabi Nuh disebut juga Adam kedua. Ketiga anak Nabi Nuh yaitu Yafes, Sam, dan Ham, mulai menjelahi lautan, teluk, hingga ujung samudera. Banyak orang mulai mempelajari tehnik pembuatan kapal. Dari pengembaraan panjang di darat dan di laut inilah akhirnya tersebar umat manusia. Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda: “Sam adalah moyang orang Arab, Ham adalah moyang orang Habasyah (Ethiopia, Afrika), dan Yafets adalah moyang orang Rum (Romawi, Eropa)”. Penyebaran ini juga memunculkan peta dunia. Adapun kompas magnetik, yang menunjukkan kutub utara dan selatan ditemukan oleh Nabi Daud, karena beliaulah yang mampu melunakkan besi.

Banjir Nabi Nuh Pasti Kembali Terulang

Konon, fenomena dahsyat semacam ini terjadi bilamana tujuh benda langit/planet berada dalam satu garis bujur astronomi. Pembahasan ini masuk kategori ilmu al-qiranat, ungkap Ahmad bin Musthafa, yaitu al-qiran atau ijtima’ (konjungsi). Ia mengekemukakan asumsi para ahli nujum, bahwa 7 planet itu mulanya berada di satu garis lurus pada rasi Mizan saat alam semesta terbentuk, kemudian terpisah; dan ketika planet-planet itu kembali terkumpul dalam satu garis lurus, maka akan terjadi peristiwa besar dengan izin Allah, bisa terjadinya badai besar (thufan) seperti peristiwa banjir Nabi Nuh, atau berupa pergantian agama (millah), seperti diutusnya para nabi; atau berupa dikuasainya suatu Negara oleh Iskandar, Jenghis Khan, Timur Lenk dan lainnya. Peristiwa-peristiwa besar ini mempunyai siklus setiap 20 tahun, 240 tahun, 960 tahun, 3048 tahun, dan setiap 7000 tahun. Tentu diperlukan penelitian lebih lanjut.

Baca juga:  Kisah-Kisah Wali (10): Kiai As’ad Syamsul Arifin, Penerimaan Asas Tunggal Pancasila, dan Presiden Soeharto

Fenomena yang lebih dahsyat dari Thufan itu akan kembali terulang, ketika telah nampak kiamat kubra. Yaitu saat ketika keluarnya kabut asap, dajjal dan dabbah (binatang besar), matahari terbit di barat, petir, gempa bumi, dan keluarnya api dari Tanah Yaman yang menggiring manusia menuju mahsyar. Setelah keluarnya api, disusul dengan ditiupnya terompet oleh Israfil. Semua yang bernyawa mengalami kematian, bintang-bintang berjatuhan, gunung-gunung hancur, lautan meluap, langit terbelah, bumi diratakan. Suasana menjadi sunyi, sepi, dan gersang tak bertuan selama 40 tahun.

Lalu turun hujan selama 40 hari setelah bumi mengalami kerusakan selama 40 tahun. Air hujan yang kental menggenangi bumi yang rusak. Kemudian bermunculan jasad-jasad manusia yang sudah mati sejak zaman Nabi Adam. Dan yang pertama kali bangkit adalah jasadnya Nabi Muhammad SAW.

Jibril mendapat tugas dari Allah untuk membangkitkan Nabi Muhammad. Ia kebingungan mencari makamnya, karena bumi telah rata dengan tanah. Tiba-tiba muncullah seberkas cahaya membumbung tinggi ke angkasa. Ia yakin bahwa disitulah makam Nabi Muhammad.

Nabi keluar dari kuburnya dan bertanya, “Wahai Jibril, dimanakah umatku? Apakah mereka kamu tinggalkan di lereng Jahannam?” Karena Jibril tidak tahu, maka Jibril tidak menjawab. Kemudian Nabi sujud sambil menangis, “Umatku…, umatku…, umatku…”

Demikianlah, di akhir hidupnya, Rasulullah menyebut umatnya, dan ketika bangkit di hari kiamat, ia juga memikirkan umatnya. Mari bersama kita naiki Safinatun Najah (kapal keselamatan) yang bermodalkan Iman, Islam, dan Ihsan. Kapal berlabuh membawa orang-orang shaleh, dan tenggelam lah orang-orang jahat lagi zholim. Kiamat semakin dekat, perbanyak sholat dan sholawat, semoga selamat dunia akhirat.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top