Nur Ahmad
Penulis Kolom

Alumus Master’s Vrije Universiteit Amsterdam dan Dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Walisongo, Semarang.

Syekh Yusuf al-Makassari dan Karyanya (6): Adabudz Dzikri

Img 20200522 Wa0003

Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari, yang termasyhur dengan karyanya al-Hikam, menulis sebuah kitab panduan zikir. Kitab berjudul Miftahul Falah menjadi wujud keyakinan sang penulis. Zikir akan Tuhan adalah pembuka pintu kebahagiaan, di dunia dan di akhirat. Namun apa itu zikir? Apakah “semata” mengucapkan kalimat-kalimat thoyyibah? Ibnu Atha’illah mengurai makna zikir sebagai berikut:

الذكر هو التخلص من الغفلة والنسيان بدوام حضور القلب مع الحق.

Zikir adalah usaha terus-menerus menjauhkan diri dari kealpaan dan ketidakpedulian; seraya terus-menerus berusaha meraih kesadaran hati yang langgeng bersama Kebenaran.

Zikir ini bisa mengenai Allah, satu sifat di antara sifat-sifat-Nya, satu ketetapan di antara banyak ketetapan-Nya, satu tindakan di antara banyak tindakan-Nya, perumusan dalil dari semua hal di atas, dan doa.

Zikir juga bisa mengenai para nabi, rasul, dan wali Allah, atau siapa saja yang terikat dengan-Nya, atau siapa yang selalu mendekat kepada-Nya dengan satu cara, satu sebab, atau satu tindakan. Zikir bisa berupa bacaan, tuturan lisan, puisi, nyanyian, ceramah, cerita. Oleh sebab itu, ahli kalam, ahli ilmu fikih, guru, mufti, pemikir, orang yang taat mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, semua mereka adalah zakir (orang yang selalu berzikir). Dengan demikian, zikir bisa dilakukan dengan lisan, anggota tubuh, dan hati.

Kitab Syekh Yusuf kali ini bertemakan zikir. Utamanya adalah zikir lisan yang merupakan zikir melalui huruf-huruf yang dirangkai. Zikir ini juga dinamai zikir lahiriah. Dalam kitabnya yang lalu, Syekh Yusuf tiga jenis zikir, yaitu Laa ilaha illallah, Allah-Allah, dan Huwa-huwa. Laa ilaha illallah memiliki makna bahwa secara hakiki tidak ada yang dituju, yang disembah, yang memiliki wujud, yang tidak membutuhkan, yang memberikan kemudharatan, maupun manfaat kecuali Allah swt. Zikir Allah memberikan makna bahwa hanya “Dia” yang memiliki wujud secara hakikat, dan seorang salik berusaha menghadirkan kesadaran ini dalam zikirnya. Zikir Huwa mengandung makna bahwa Dia adalah yang selalu hadir, bersama, dan meliputi seorang hamba. Bahwa Dia adalah Awal dan Akhir, Lahir dan Batin.

Baca juga:  Menyelami Dunia Kiai Mudjab Mahalli

Karya cukup pendek dan terletak pada folio 75 v. hingga 78 v. menjelaskan tentang adab dalam melakukan zikir tersebut. Semuanya ada dua puluh adab. Lima dilakukan sebelum zikir. Dua belas saat zikir. Sisanya, tiga, setelah zikir.

Lima hal perlu dilakukan seseorang sebelum menjadi salik zakir:

Pertama, bertaubat atas seluruh dosa.

Kedua, berwudlu apabila hadas atau mandi apabila junub.

Ketiga, diam dari segala ucapan selain zikir.

Keempat, meminta pertolongan Allah melalui perantara seorang guru mursyid ketika dia dalam tahap permulaan salik zakir.

Kelima, seorang salik harus meyakini bahwa pertolongan seorang guru mursyid dalam perjalanan murid merupakan wujud langsung dari pertolongan Rasulullah saw.

Dua belas hal harus diperhatikan seorang zakir ketika berzikir. Pertama, duduk seperti duduk dalam shalat di tempat yang suci. Kedua, meletakkan kedua telapak tangan di kedua paha seperti seorang yang salat.

Ketiga, membersihkan, merapikan, dan menjaga keindahan tempat zikir, badan, dan pakaian. Keempat, memakai pakaian yang halal lagi indah.

Kelima, memilih tempat sepi dan lebih utama lagi sekaligus gelap. Keenam, menutup kedua mata. Penutupan kedua mata ini akan menutup penglihatan lahiriah, dan membuka penglihatan batin.

Ketujuh, membayangkan guru mursyid sedang berada di sampingnya sebagai bentuk adab dari murid ke guru.

Baca juga:  Di Bandara Soetta, Berjumpa Kiai yang Punya 200 Karya

Kedelapan, kejujuran dalam berzikir, yaitu ketersambungan antara apa yang diucapkan dengan lisan, dengan apa yang terbersit di hati. Kesembilan, ikhlas karena Allah melakukan zikir.

Kesepuluh, berzikir dengan sangat kuat dan membayangkan nama Allah tertulis dengan pena cahaya yang sangat cemerlang tanpa keruh sama sekali. Nama Allah ini seorang masukkan ke dalam hati sanubari berkali-kali setiap satu kalimat zikir diucapkan, sehingga asma itu masuk ke dalamnya. Juga menggelengkan kepala ke kanan di awal pengucapan lalu menuju ke kiri ketika memasukkan asma ini ke hati sanubari.

Kesebelas memasukkan makna zikir yang telah dijelaskan sebelumnya ke dalam hati. Kedua belas, membayangkan menumbangkan batang pohon kecintaan kepada selain Allah dalam hatinya. Dia menumbangkannya dengan giginya dan lalu melemparkannya ke samudra ketiadaan (bahrul adam).

Tiga adab lainnya harus diperhatikan setelah selesai dari zikir. Pertama, diam tidak bergerak disertai dengan menghadirkan rasa khusyu’ tunduk kepada Allah, menyaksikan (syuhud) akan Allah, dan merasakan hadir bersama Allah. Seraya mendekat terus-menerus kepada Allah seperti dalam zikirnya.

Kedua, terus-menerus dalam kondisi seperti di atas, menghadirkan Allah, khusyuk, tunduk, dan selalu bersama Allah, dalam seluruh kegiatan. Hal ini adalah cara yang paling cepat untuk “madhangi” (menerangi), menyucikan, membuka tabir hijab, dan memutus mata rantai godaan hawa nafsu dan setan di dalam hati.

Baca juga:  Daulat Kebudayaan, Pertemuan antara Budaya dan Agama

Ketiga, menahan diri dari minum setelah zikir. Zikir yang lama seringkali menimbulkan rasa panas dan terbakar, serta kerinduan yang membara kepada Allah yang diingat dalam zikir. Justru inilah tujuan utama zikir. Minum air setelah zikir justru menghilangkan semua ini.

Syekh Yusuf berkata, “Demikianlah petunjuk yang diajarkan oleh para sufi agung, maka hendaklah seorang zakir menetapi adab-adab ini, karena hasil dari zikir umumnya akan nyata dan diperoleh setelah zikir (yang memenuhi adab-adab ini)”.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top