Ini merupakan halaman 70 dari manuskrip berkode Or. 5594 yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Penulis merasa sangat beruntung dapat menjumpai dan memfotonya ketika studi S2 di Universitas Vrije Amsterdam. Manuskrip ini mengandung 148 halaman yang ditulis pada kertas daluang. Ada beragam naskah yang dikandungnya.
Pertama, sebuah kitab fikih yang tinta tulisannya sudah rusak sehingga sulit dibaca lagi. Kedua, sebuah kitab akidah berjudul Risalah Ratnadi. Kitab ini merupakan kumpulan teks yang disusun berdasarkan perintah dari Raja Banten, Surasowan. Ketiga, sebuah kitab ajaran tasawuf yang disusun dalam tembang macapat, Suluk Sujinah. Keempat, sebuah serat yang merupakan terjemahan cerdas dari kitab tasawuf madzhab Ibnu Arabi, berjudul Serat Tuhfah.
Semua naskah di atas ditulis dalam aksara pegon. Selanjutnya, kitab Niti Sruti yang ditulis dalam aksara Jawa Cirebonan. Terakhir, sebuah genealogi bangsa Yuda yang ditulis dalam aksara Jawa. (Jan Just Witkam 2007, 6:161)
Penulis akan membahas teks keempat, Serat Tuhfah. Naskah ini ditulis mulai dari halaman 70 hingga halaman 100. Ia sangat menarik karena merupakan bukti otentik dari kecerdasan santri Jawa dalam menggubah kitab dari bahasa Arab berbentuk prosa menjadi kitab berbahasa Jawa dalam bentuk macapatan. Serat Tuhfah berasal dari sebuah kitab tasawuf berjudul Tuḥfatul Mursalah ila an-Nabi.
Syaikh Muḥammad bin Faḍlullah al-Hindi al-Burhanfuri (w. 1029 H/ 1619 M) mengarang kitab tersebut dan meniatkan ganjarannya supaya disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw. Oleh sebab itu kitab tersebut dia namai “Sebuah Persembahan Yang Disampaikan Kepada Nabi”. Syaikh al-Burhanfuri adalah murdi dari Syaikh Wajihuddin bin Qaḍi Naṣrullah ‘Alawi (910-998 H) dan seorang sufi besar Syaikh Muḥammad bin Khaṭiruddin Ḥusaini (w. sekitar 970 H), yang lebih dikenal dengan Syaikh al-Gauṡ, pengarang kitab sufistik terkemuka al-Jawahirul Khamsah. (Otto Loth 1877, 1:191–92) Syaikh Muḥammad bin Khaṭiruddin Ḥusaini merupakan keturunan dari sufi besar Khawajah Fariduddin ‘Aṭṭar. (Otto Loth 1877, 1:185–86)
Pertanyaan menarik bisa diberikan disini: Bagaimana kitab Tuḥfah bisa sampai di Nusantara? Jawaban untuk hal ini belum bisa diberikan. Yang dapat diuraikan adalah dampak apa yang diberikan kitab tersebut di Nusantara. Kitab Tuḥfah ditulis oleh Syaikh Muḥammad bin Faḍlullah al-Hindi al-Burhanfuri pada 1590. Sekitar separuh abad setelah itu, Kitab Tuḥfah telah memicu perdebatan di antara umat Islam di Nusantara. Syaikh ‘Abd al-Ra’uf ibn ‘Ali al-Jawi al-Fanśuri meminta pendapat dari gurunya, Syaikh Ibrahim bin Ḥasan al-Kurani, mengenai kitab Tuḥfah yang dijawab dengan karyanya Itḥaf al-Zaki bi-sharḥ al-tuhfah al-mursalah ila al-nabi.(Oman Fathurahman 2012, 63)
Cukup bukti bahwa kitab Syaikh Muḥammad bin Faḍlullah al-Hindi al-Burhanfuri inilah yang menjadi sumber rujukan dari ajaran tawhidul wujud ala Syaikh Ibnu Arabi di Nusantara. Selain kesaksian dari Syaikh ‘Abd al-Ra’uf di atas sehingga lahir kitab Ithaf al-Zaki, beberapa syarah dari kitab Tuhfah banyak dikaji di pesantren kala itu. Hal ini dibuktikan dengan masih lestarinya manuskrip-manuskrip syarah tersebut.
Sebagaimana tradisi pesantren, syarah-syarah itu dilengkapi dengan terjemahan antarbaris (makna gandul) yang menandai kedudukan gramatikal tiap kata dalam bahasa Arab dan terjemahannya dalam bahasa daerah di mana pesantren itu berada. Di antaranya, manuskrip A 696 dan A 97 yang tersimpan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Yang terakhir memuat sebuah syarah kitab Tuhfah yang berjudul Mawahib al-Mustarsalah ‘ala al- Tuḥfah al-Mursalah.
Sebuah terjemahan dalam bahasa Inggris telah diusahakan oleh A.H. John pada 1965 dengan judul The Gift Addressed to the Spirit of the Prophet. Namun manuskrip yang digunakannya berbeda dengan manuskrip yang dibahas ini. Manuskrip yang menjadi sandaran John berasal dari Museum Britania Raya dengan kode Add. MS 12305. Manuskrip tersebut, sebagaimana review Ricklef, adalah milik dari Keraton Yogyakarta (Ricklefs 1973). Sedangkan manuskrip kita tampak jelas adalah catatan santri–dilihat dari isi keseluruhan teks yang ada–dan kemungkinan besar berasal dari Jawa Barat.
Mengapa seorang santri perlu menerjemahkan sebuah kitab berbahasa Arab berbentuk prosa menjadi kitab tembang macapat berbahasa Jawa? Penulis memberikan alasan pada bait-bait pembukanya sebagai berikut:
“Mugo ntuk berkating narpati anembangaken isun ing tuhfah kinarya tembang basane derapun gampang iku ing sekehe kang mirsa tulis muwah kang amiharsa ing caritanipun manjinga ingdalem manah ing sekehe kang sadya anembang gending”
Yang terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut:
“Semoga mendapat berkah dari Tuhan Sang Raja Diraja. Saya menyusun tembang dari kitab Tuhfah supaya memudahkan bagi yang membaca dan begitu pula bagi yang mendengarkan kitab ini. Serta supaya meresap di dalam hati bagi siapa saja yang menembangkannya.”
Dari sini jelas bahwa tujuan dari penulis untuk mempopulerkan kitab Tuhfah bagi masyarakat Jawa. Ini merupakan tulisan pengantar bagi kajian mengenai manuskrip-manuskrip pesantren yang didalamnya terkandung ajaran Syaikh Ibnu Arabi. Ia membantah beberapa analisis terdahulu bahwa tasawuf falsafi di Jawa hanya berkembang di keraton-keraton saja. Ia berkembang luas di pesantren-pesantren di Jawa di masa lampau.
Adalah situasi di abad ke-19 pasca-Perang Jawalah yang menyebabkan pentingnya membatasi ulasan akan ajaran ini, bahkan di pesantren. Dari sudut inilah kita hendaknya membaca fatwa KH. Sholeh Darat, bahwa ajaran tasawuf falsafi yang terangkum dalam kitab Tuḥfatul Mursalah dan Al-Insanul Kamil harus dihindari orang awam. (Soleh As-Samarani, Majmuàt: 27). Hal ini bukan dikarenakan isinya, tapi lebih terhadap dampaknya terhadap mereka. Lebih lanjut, Kiai Sholeh berfatwa bahwa mencuri dan berzina jauh lebih baik daripada mengkaji kitab-kitab yang diperuntukkan bagi para elit (khawwaṣ) (Soleh As-Samarani, Majmuàt: 27).