Ibnu Atha’illah as-Sakandari bernama lengkap Muhammad bin Ahmad bin Abdul Karim bin Atha’illah. Seringkali diawal namanya disandangkan gelar kehormatan:Tajuddin, Abu al-Fadl, dan Abu al-‘Abbas.
Dia berasal dari leluhur al-Juzami, bermazhab al-Maliki, dan pengikut Syaziliyah. Para penulis biografi “Mahkotanya Agama” ini tidak sepakat kapan tepatnya beliau dilahirkan. At-Taftazani memperkirakan sekitar tahun 658 H. Ini berbeda dengan tahun wafatnya yang para penulis biografinya sepakat terjadi pada tahun 709 H.
Kitab dengan judul lengkap al-Hikam al-‘Ata‘iyyah asy-Syaziliyah at-Tauhidiyyah al-‘Irfaniyyah al-Wahabiyyah ini adalah masterpiece-nya. Victor Danner menguatkan hal ini dengan mengungkapkan: “Di antara seluruh karyanya, al-Hikam jelas merupakan karya yang paling disanjung umat muslim setelahnya.”
At-Taftazani dalam kajian kritisnya mengenai al-Hikam menilai senada meski dari sudut pandang yang berbeda: “Al-Hikam adalah sumber penting bagi prosa Arab-sufistik”.
The Encyclopaedia of Islam pun berpendapat sama bahwa al-Hikam adalah karyanya yang utama. “By far the most celebrated of his works is a collection of maxims of a distinct beauty of expression, al-Hikam al-‘Ata‘iyyah,” tertulis di sana.
Al-Hikam adalah karya Ibnu Athta’illah yang paling awal karena ditulis pada saat al-Mursi masih hidup. Selain itu, kitab ini juga dikutip olehnya sendiri dalam karya lainnya, di antaranya: At-Tanwir fi Isqat at-Tadbir, Lataif al-Minan fi Manaqib asy-Syaikh Abi al-‘Abbas al-Mursi wa Syaikhuh asy-Syazili Abi al-Hasan, Taj al-‘Arus al-Hawi li Tahzib an-Nufus, dan ‘Unwan at-Taufiq fi Adab at-Tariq.
Haji Khalifah menulis bahwa saat Ibnu Atha’illah selesai menulis kitab ini dan menyodorkannya kepada gurunya, al-Mursi, ia berkomentar: “Wahai anakku, kamu telah menuliskan kandungan pokok Ihya’ dalam kitab ini”.
Bila yang dikatakannya benar maka kesimpulannya al-Hikam adalah karyanya ketika masih berusia di sekitar dua puluh delapan tahun atau sebelum al-Mursi wafat pada tahun 686 H.
Dengan keadaan yang demikian, yaitu makna yang sangat dalam yang disuguhkan dengan bahasa indah, tidak mengherankan jika al-Hikam tidak lekang digerus zaman. Kajian-kajian kitab ini terus menyembul dari masa ke masa.
Dalam catatan at-Taftazani tentang kitab-kitab syarah al-Hikam dapat disimpulkan bahwa tidak berlalu 100 tahun kecuali muncul syarah atas al-Hikam. Artinya, di setiap abad selalu muncul syarah al-Hikam.
Pada abad ke-8, abad di mana Ibnu Atha’illah wafat, muncul syarah pertama atas al-Hikam dari Syamsuddin Muhammad ibnu Abdurrahman ibnu as-Sa’ig (776/1375). Dan sejak itu mensyarahi al-Hikam menjadi “tradisi” yang terus berlanjut hingga sekarang.
Umumnya kitab syarah al-Hikam ditulis dalam bahasa asal kitab itu: bahasa Arab. Beberapa diantaranya: karya Ibnu ‘Abbad ar-Rundi (w. 1139 M), Ibnu ‘Ajibah (w. 1809 M), Nur ad-Din, Muhammad Hayah as-Sindi al-Madani (w. 1163 H),Zaruq,Sa‘id Hawwa,dan Ramadan al-Buti (w. 2013 M) sebagai ulama kontemporer yang tidak ketinggalan ikut mengulas al-Hikam ini secara panjang hingga mencapai lima jilid besar.
Lebih dari itu, syarah dan terjemahan kitab al-Hikam juga ditulis dalam selain bahasa Arab. Dalam bahasa Inggris, karya Victor Danner berupa terjemahan yang disertai ulasan kata-kata penting dinilai sebagai karya terbaik hingga saat ini.
Sedangkan dalam bahasa Indonesia ditemukan banyak karya syarah dan terjemahan al-Hikam. Hal ini tidak lepas dari kepopulerannya di Indonesia dan termasuk kepustakaan popular di pesantren. Di antara karya terjemahan yang dapat penulis temukan, yaitu terjemahan Djamaluddin Ahmad al-Buny, terjemahan Adib M. Bisri, syarah oleh D.A. Pakih Sati, dan terjemahan yang disertai ulasan oleh Fadhlalla Haeri.
Martin van Bruinessen juga mencatat beberapa terjemahan dan syarah al-Hikam yang dapat ditemukan di Indonesia. Dia mencatat ada tiga kitab: Hikam Melayu yang anonim, syarah yang disusun K.H. Muhibuddin Wali dari Aceh (tidak diterangkan judul bukunya), dan Syarah al-Hikam oleh Kiai Shaleh Darat Semarang dalam bahasa Jawa.
Kini muncul satu lagi syarah al-Hikam dalam bahasa Indonesia, meskipun penulisnya tidak berkenan disebut demikian. Yaitu karya Ulil Abshar Abdalla, “Menjadi Manusia Rohani: Meditasi-Meditasi Ibnu ‘Athaillah” dalam Kitab al-Hikam yang terbit atas kerjasama El-Bukhari dan Alif.id pada tahun ini.