Buku-buku perjalanan bangsa Eropa ke Nusantara di masa silam sangat menarik. Ia mengungkapkan fragmen-fragmen sejarah kita di masa silam yang samar. Tentu kita tidak menerima dan mempercayai semua informasi di dalamnya begitu saja. Terutama apabila berkaitan dengan agama dan kuasa. Para penjelajah ini seringkali melihat kita dari kacamata agama dan kebudayaan mereka. Merasa paling benar atas pandangan mereka sendiri.
Salah satu catatan menarik dari buku semacam ini adalah yang ditulis Ferdinand Mendez Pinto, The Voyages and Adventures of Ferdinand Mendez Pinto, the Portuguese (T. Fisher Unwin, 1891), h. 374-376. Dia menyaksikan perempuan mendapat kedudukan penting di Kerajaan Demak abad ke-16. Menurut kesaksiannya, hanya perempuan yang bisa menjadi wakil raja untuk hubungan antar-kerajaan.
Membaca catatannya, kita serasa dibawa masuk ke dalam perjalanannya yang menakjubkan. “Waktu itu tahun 1537, tanggal 11, bulan Maret. Aku meninggalkan Kerajaan Portugal bersama dengan lima kapal,” ingat Mendez Pinto. Dia memberitahu kita penjelajahannya yang melelahkan dan panjang. Dia tuturkan hal-hal mengerikan, mengancam nyawa, namun juga menumbuhkan kesadaran yang telah dia alami.
“Secara keseluruhan perjalananku memakan waktu dua puluh satu tahun… tiga belas kali aku menjadi budak, enam belas kali aku diperjualbelikan …”, tuturnya.
Catatannya menegangkan dan menarik. Tampak jelas dilebih-lebihkan. Cukup membuat orang berkata, “Apakah ini benar terjadi?”. Misalnya dia menyebutkan keberadaaan “Orang-orang berkaki bundar dan seluruhnya punggung mereka ditutupi bulu”.
Bukan berarti semua yang dia ucapkan adalah omong kosong. Seperti dalam kritikan De Rossel, “Beberapa detail memang jelas ‘diperindah’, namun … hasil dekorasinya disematkan pada fakta-fakta yang nyata”.
Dari sini kita bisa percaya kesaksiannya tentang perempuan. Seorang yang datang memang perempuan. Bukan laki-laki. Perempuan itu memang memiliki posisi penting di Kerajaan Demak abad ke-16. Kita juga bisa cukup percaya dengan alasan-alasan mengapa perempuan diberikan kedudukan yang begitu tinggi seperti yang dia sebutkan.
“Pada akhir hari ke tujuh belas pelayaran aku sampai di Banten di mana orang-orang Portugal biasa berlabuh. Karena kelangkaan lada di seluruh negeri, sedangkan kami datang ke sana untuk tujuan ini, kami terpaksa untuk melalui musim dingin di sana. Kami berencana akan pergi ke Tiongkok di tahun depannya. Kami hampir dua bulan lamanya di bandar ini di mana perdagangan kami sangat sepi”.
Ia mengisahkan alasannya berada di pulau Jawa. Untuk berdagang. Namun kedatangan seorang perempuan menarik perhatiannya.
“Saat itu, datang seorang perempuan janda bernama Nhay Phombaya, berusia sekira enam puluh tahun, sebagai utusan Raja Demak, yaitu penguasa seluruh pulau Jawa, Bali, Madura, dan seluruh pulau di gugusan kepulauan itu. Dia datang sebagai utusan untuk Raja Sunda, yang beserta seluruh kerajaan itu juga merupakan pengikut Raja Demak”.
Seorang perempuan menjadi kepercayaan raja untuk mengirimkan pesan perang. Sesuatu yang memang menarik. Kita sering menganggap bahwa perang adalah urusan lelaki. Dalam agama Islam, agama yang dipeluk Raja Demak, kita belajar perempuan dan anak-anak wajib tidak boleh menjadi sasaran perang. Mereka juga harus dijauhkan dari dampaknya. Tapi di sini, di Kerajaan Demak pada 1546, seorang perempuan menjadi utusan untuk menyampaikan ajakan perang.
“Pesan untuk Raja Banten adalah, ‘Raja Demak dalam masa enam minggu ini akan menuju kota Jepara di mana dia akan mempersiapkan pasukan untuk menyerang Kerajaan Pasuruan’”.
Kita bertanya-tanya apa alasannya perempuan menjadi penyampai pesan kematian dan penghancuran yang biasa terjadi dalam perang. Sesuatu yang menurut pandangan umum sampai hari ini bukanlah perbincangan yang cocok bagi perempuan.
“Ketika perempuan ini sampai di bandar ini, Raja Banten sendiri yang menjemputnya ke kapal di mana perempuan ini berada. Dari kapal itu Raja mengajaknya ke istananya dengan kemegahan iring-iringan. Raja memberikan tempat tinggal bagi perempuan itu satu kompleks dengan istrinya agar perempuan itu terhibur dan nyaman. Raja sendiri berada di pemondokan lain yang jauh darinya untuk lebih menghormati perempuan itu”.
Raja Banten yang muslim menunjukkan penghormatannya. Perempuan ini adalah utusan dari Raja Demak. Kerajaan yang dahulu membantunya menjadi penguasa di Banten. Sebagai balas budi, dia harus siap membantu kapan saja dibutuhkan.
“Harus dicatat bahwa sudah menjadi kebiasaan para raja di imperium ini bahwa untuk mendiskusikan hal-hal yang sangat penting di negeri ini harus melalui mediasi perempuan…”.
Lebih dari sekadar kejadian yang kebetulan atau sesekali, perempuan sejak lama memang memiliki kedudukan penting di Kerajaan Demak. Mungkin juga sejak masa Kerajaan Majapahit sebelumnya. Tapi apa yang dijadikan landasan pemilihan berdasarkan jenis kelamin ini?
“Dan alasan utama yang mereka berikan untuk pemilihan perempuan adalah bahwa Tuhan telah memberikan kehalusan budi, kemampuan memegang erat kesopanan dan kepercayaan diri dalam diri perempuan lebih kuat dari pada dalam diri laki-laki yang memiliki, seperti mereka bilang, kepercayaan diri yang berlebihan, yang sebagai konsekuensinya, laki-laki kurang diterima oleh orang-orang kepada siapa mereka dikirim”, jelas Mendez Pinto.
Ternyata itulah alasannya. Perempuan mampu menjaga sopan santun dan percaya diri secara cukup. Sedangkan, laki-laki sering terlalu percaya diri, cenderung sombong. Tentu suatu sikap yang berbahaya bagi seorang yang diutus ke kerajaan lain. Kesaksian ini menegaskan sifat perkasa dan memegang kehormatan yang tinggi, tampaknya cenderung congkak, di laki-laki Jawa masa itu.
Mendez Pinto memberikan beberapa informasi tambahan syarat-syarat perempuan yang bisa menjadi kawan diskusi pada perkara-perkara yang sangat penting. Pertama perempuan itu tidak lagi muda dan belum menikah. “Karena sangat mungkin dengan kecantikannya dia menarik hasrat setiap laki-laki,” tuturnya memberikan alasan. Lebih lanjut Mendez Pinto menerangkan, “… perempuan muda dan belum menikah bisa menjadi sumber pertengkaran dan ketidaktenangan pada perkara di mana ketenangan dan fokus sangat dibutuhkan”.
Selanjutnya, “Perempuan itu haruslah telah menikah, atau paling tidak seorang janda dari pernikahan yang sah”. Tentu agar tidak menarik perhatian laki-laki lain seperti kasus di atas.
Syarat ketiga cukup mengherankan. Dikatakan, “Bila dia telah memiliki anak, maka dia harus memiliki bukti legal bahwa dia telah menyusui mereka dengan payudaranya sendiri. Itu karena ada tuduhan pada mereka yang telah melahirkan anak-anak namun tidak menyusui mereka, bahwa mereka ini memiliki hasrat seksual yang tinggi, masih memiliki daya tarik seksual tinggi bagi lawan jenis, dan merupakan perempuan nakal serta tidak dapat dipercaya, bukannya seorang ibu yang sejati”.
Terakhir adalah “Apabila terlalu muda namun dia sudah kehilangan suaminya, sehingga menjadi seorang janda, maka dia harus melakukan ritual ajaran agama yang menjadi indikasi kuat akan nilai moralnya. Hanya dengan itu dia menjukkan bahwa dia dulu tidak menikah hanya untuk mencari kenikmatan semata…”.
Setelah dengan tenang dan jelas menyampaikan pesan Raja Demak kepada Raja Banten, Nhay Phombaya undur diri. Dia berhasil melaksanan perintah rajanya. Tanpa suatu insiden yang berarti.
Titah Raja Demak segara dipenuhi. Empat puluh kapal dipersiapkan. Lengkap dengan perlengkapan militernya. 7.000 prajurit ikut bersamanya. Namun sejarah menjadi saksi bahwa penyerangan Kerajaan Pasuruhan adalah satu kisah kegagalan Kerajaan Demak.
Di Kerajaan Islam Demak, perempuan menjadi penasihat hal-hal penting. Namun dia harus memenuhi syarat yang tidak bisa dibilang gampang. Tidak lagi muda. Sudah atau pernah bersuami. Menyusui anak sendiri. Dan terutama memiliki nilai moral yang tinggi. Jika itu semua dimiliki, maka perempuan pantas menjadi utusan dan kawan dialog raja dengan segala priviledge-nya.