Sedang Membaca
Pegon Jerman: Luput dari Penelitian
Nur Ahmad
Penulis Kolom

Alumus Master’s Vrije Universiteit Amsterdam dan Dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Walisongo, Semarang.

Pegon Jerman: Luput dari Penelitian

Dari 1814-1914, sekira 7.600 pasukan bayaran dari Swiss berperang bagi Tentara Hindia Belanda (KNIL) di pertempuran Asia Tenggara. Secara keseluruhan KNIL merekrut 40% pasukan dari luar negeri.

Pasukan Swiss adalah salah satu penyedia pasukan terbesar bagi KNIL di antara negara-negara di Eropa lainnya. Sejarah mereka sangat sedikit dikaji. Bernhard C. Schär salah satu peneliti yang melakukan usaha ini. Ia menjadikan mereka sebagai subjek utama penelitiannya. Judul proyek ini  “Swiss ‘Tools of Empire’: A transnational history of mercenaries in the Dutch East Indies, 1814—1914”.

Dalam proses penelitiannya—berlangsung dari 2017 hingga 2021—Bernhard menggali banyak sekali data. Porsi utama diambil dari arsip-arsip kenegaraan Swiss dan arsip-arsip kolonial Belanda. Lebih penting adalah catatan-catatan harian, memoir, dan surat-surat mereka. Catatan personal ini sering kali menunjukkan hal-hal yang unik.

Mengapa mereka mau menjadi tentara bayaran? Apa gambaran pengalaman pertemuan mereka dengan warga jajahan? Bagaimana pendapat mereka tentang agama dan kebudayaan warga jajahan?

Salah satu hasil yang sangat menarik bagi saya adalah pengaruh kebudayaan nusantara terhadap mereka. Dalam perjalanan seratus tahun keberadaan mereka di bumi Nusantara, di antara mereka ada yang mempelajari aksara Pegon atau Jawi. Bahkan, berusaha menuliskan bahasa Jerman, bahasa ibu banyak orang Swiss, dengan aksara ini.

Baca juga:  Kisah Menemani Ustaz Abdul Somad Selama di Jombang

Hal ini saya ketahui setelah Bernhard menghubungi saya. Dia mengatakan butuh pembaca manuskrip Jawi. Saya menyanggupi untuk membaca dokumen yang dia berikan. Namun apa yang terjadi? Ini bukan manuskrip biasa. Manuskrip yang dia berikan kepada saya adalah sebuah catatan harian seorang veteran tentara KNIL dari Swiss.

Dalam halaman catatan harian ini, terdapat dua jenis aksara. Yang pertama adalah aksara Latin dalam bahasa Jerman. Yang kedua adalah aksara Arab-Jawi. Namun, jelas bukan bahasa Jawa, bukan Arab, bukan Melayu.

Saya kesulitan menentukan bahasa apa itu. Hingga akhirnya saya menyerah. Saya katakan pada Bernhard saya gagal mengenali bagian dokumen yang dia ingin saya baca. Dia mengatakan tak mengapa. Dia mengatakan “Maybe the guy used arabic script to write German…”. “Mungkin veteran perang ini menggunakan aksara Jawi ini untuk menulis bahasa Jerman”.

Wow! Belum ada yang bilang sebelumnya bahwa aksara Arab-Jawi digunakan untuk menulis dalam bahasa Jerman (lihat foto di atas tulisan ini).

Bernhard juga mengirimkan saya dokumen lainnya. Tampaknya ini adalah halaman lain dari buku catatan harian yang sama. Halaman ini mengandung satu teks saja, dengan aksara Arab-Jawi untuk menulis dalam bahasa Melayu. Namun, penulis catatan ini menggunakan bahasa Melayu dengan sangat buruk.

Baca juga:  Lima Lubang Indonesia di Bidang Hukum

Yang mengagumkan adalah surat ini ditulis setelah tentara tersebut pulang ke Swiss. Dalam akhir surat ini, dia menuliskan kolofon “Tersurat pada hari Kamis dua puluh hari bulan Pebruari … di dalam negeri Suwitserland 1838”, lihat baris 14 dan 15 gambar ini:

Foto dari Bernhard C Schär

Kandungan dari surat ini adalah sebuah kenangan ketika berada di negeri Hindia Belanda. Tentang uang gaji per bulan yang hanya sepuluh rupee. Tentang perlunya segera menghubungi Residen Goldman (Residen Ternate pada 1852-1855) setiap kali mendapat kesulitan atau ke Residen Hartman, disebut sebagai residen di Jawa.

Catatan unik diberikan atas sikap orang Muslim yang disebutnya sebagai “Mohammedan” yang bersikap keras dengan selalu menghalangi saling kirim surat di antara para tentara KNIL.

Dua dokumen tersebut mengajarkan bahwa pertemuan kebudayaan membawa bersamanya pertukaran kebudayaan tulis.

Aksara Jawi dipelajari oleh seorang Swiss dan digunakan tidak hanya untuk menulis dalam bahasa Melayu, namun juga untuk menulis dalam bahasa Swiss. Tentu saja dengan jumlah sedikit dari tentara Swiss dibanding keseluruhan masyarakat Swiss itu sendiri, kebudayaan ini tidak berlangsung lama. Hal ini berbeda dengan perkembangan aksara Pegon dan Jawi di Nusantara.

Dengan begitu banyaknya pengguna aksara tersebut maka keduanya menjadi aksara yang hidup di kebudayaan Jawa dan Melayu. Bahkan kedua aksara tersebut menjadi pendorong atas melek literasi di masyarakat tradisional Jawa dan Melayu, utamanya dalam konteks Jawa, di mana sebelumnya literasi hanya menjadi hegemoni lingkaran keraton. (atk)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top