Nur Ahmad
Penulis Kolom

Alumus Master’s Vrije Universiteit Amsterdam dan Dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Walisongo, Semarang.

Merle Calvin Ricklef, Islam Jawa, dan Manuskrip Pegon

25353802 10155594859127839 5743492795985709619 N

Merle Calvin Ricklef (1943-2019) telah memberikan sumbangan yang penting dalam kajian Islam di Jawa. Karya-karyanya adalah tinjauan yang cukup mendalam mengenai betapa dinamis hubungan antara ide-ide yang dibawa oleh Islam dengan ide-ide yang telah menetap dalam masyarakat Jawa. Hubungan yang – harus diakui – tidak selalu saling harmonis. Namun, ketidakharmonisan itu hampir selalu muncul dalam kategori yang “pinggiran” dalam keyakinan Islam.

Dalam Mystic Synthesis (2006), Ricklef menyebutkan bahwa diskusi yang muncul misalnya pada sumber ajaran tasawuf. Di Jawa, ajaran hakikat tasawuf diyakini hendaknya tidak hanya diperoleh melalui kitab-kitab Arab namun juga dari kitab-kitab Arjunawiwaha, Bima Suci, dan Ramayana.

Bagi mereka yang telah mempelajari sejarah tasawuf, hal ini bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Sebuah ucapan yang dinisbahkan kepada Nabi menyatakan bahwa “Kebenaran” adalah barang yang hilang dari seorang muslim. Oleh sebab, dari manapun seorang muslim menemukannya, maka ia pantas dan hendaknya mengambilnya.

Perspektif semacam ini luput dari karya-karya Ricklef. Baginya, perubahan keislaman di Jawa hendaknya menghapuskan pembacaan kitab-kitab yang dia asosiasikan dengan tradisi keagamaan Hindu-Buddha. Arjunawiwaha, Bharatayudha, dan Ramayana masih populer dalam bacaan muslim Jawa. Dan hal ini membingungkannya.

Ricklef nampaknya juga tidak memperhatikan dengan sangat serius terhadap naskah-naskah dari tradisi pesantren. Ketika menggambarkan keislaman di Jawa abad ke-16 – yang merupakan kajian utamanya – misalnya, dia tidak merujuk naskah pegon yang ada (Mystic Synthesis, 2006). Dia membatasi diri pada dua naskah abad ke-16 yang telah dikaji Drewes.

Baca juga:  Bagaimana Gus Dur Mengenalkan Gus Mus kepada Kaum Seniman?

Barangkali alasannya adalah ketidakmampuan Ricklef untuk membaca aksara Pegon. Dua naskah pesantren kita memuat catatan atas kajian di Pesantren dalam aksara santri ini. Dua naskah yang sekarang tersimpan di Perpustakaan Universitas Amsterdam sama tuanya dengan dua naskah Drewes.

Mereka, dua naskah pesantren itu, menggambarkan betapa perhatian terhadap fikih begitu ditekankan. Selain itu, mereka juga menggambarkan bahwa tradisi kajian terhadap kitab-kitab terpercaya dalam bahasa Arab telah dilakukan sejak abad ke-16. Bukti fisik rupa manuskrip dari informasi yang ada dalam naskah Drewes. Hal ini penting untuk menggambarkan peran pesantren dalam keislaman di Jawa dan kajian apa saja yang sangat dipentingkan oleh kalangan pesantren untuk diajarkan kepada masyarakat muslim Jawa.

Dua naskah yang saya maksud adalah manuskrip milik Jan Theunisz, seorang Mennonite yang juga pengajar bahasa Arab di Universitas Leiden pada 1612-1613. Manuskrip ini dia beli pada 1610 dan sekarang disimpan di Perpustakaan Universitas Amsterdam. Manuskrip ini mengandung teks kitab fikih yang terkenal di masyarakat Indonesia, at-Taqrīb fil-Fiqh karya Imam Abu Syuja’ al-Isfahani. Manuskrip ini disertai dengan makna gandul dari kitab tersebut dalam aksara Pegon berbahasa Jawa (Drewes, 1969, h. 2).

Karena dibeli pada 1610 sehingga pasti berasal dari masa sebelumnya, maka ia adalah manuskrip Pegon Jawa paling tua yang bisa dikenali, lebih tua dari manuskrip kitab Muqaddimah al-Hadramiyyah bertarikh 1623 yang tersimpan di Perpustakaan Inggris Raya dan yang sebelumnya dianggap manuskrip Pegon tertua (baca Inikah Manuskrip Pegon Tertua di Dunia?).

Baca juga:  Kiai Mutamakkin dan Corak Islam di Nusantara Sebelum Abad ke-20

Satu manuskrip lainnya juga tersimpan Perpustakaan Amsterdam (Drewes, 1969, h. 2). Ia adalah kitab fikih al-’Idah fil Fiqh. Tidak dijelaskan kitab ini karya siapa. Namun ada beberapa kitab yang mirip dengan judul al-’Idah dalam bidang fikih. Yang pertama adalah kitab Nūrul ’Idah fil Fiqh ‘Ala Mazhabi Imam Abi Hanifah karya Hasan bin ‘Ammar as-Surunbulali (w.1659).

Namun ini sangat kecil kemungkinannya. Pertama kitab terakhir menganut mazhab Hanafiyah yang tidak berkembang di Indonesia. Kedua, penulisnya Imam as-Surunbulali wafat sekitar lima puluh tahun setelah manuskrip ini sampai di Belanda.

Kitab yang lebih mungkin adalah al-’Idah Fi Manasikil ajji wal ‘Umrah karya Imam Yahya bin Syarafuddin an-Nawawi (w. 1277) dikenal di Nusantara sebagai Imam Nawawi. Beliau adalah pembesar mazhab Syafi’i yang merupakan mazhab yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia.

Selain itu, banyak karya beliau yang masih dikaji di pesantren hingga kini. Bagaimana pun, kajian terhadap manuskrip ini, yang sayangnya belum dilakukan, akan mengungkap kitab apa sebenarnya yang dikandung itu manuskrip penting ini. Bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa ia adalah kitab karya ulama Nusantara sendiri.

Kembali kepada sumbangsih Ricklef, penelitian terhadap dua naskah ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih kaya tentang proses sintesisme “sempurna” antara keislaman dan kejawaan yang melibatkan aktor-aktor pesantren. Sesuatu yang tidak disebutkan oleh Ricklef dalam karyanya Mystics Synthesis (2006). Sebuah sintesis yang menurut Ricklef sejak abad ke-16 mampu menjadikan seorang menyatakan bahwa dia adalah Jawa dan Muslim tanpa perlu merasa ada kontradiksi di dalamnya. Hanya pada abad akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, dengan menguatnya pengaruh dari kolonial Belanda, muncul tendensi seakan identitas Islam dan Jawa, bahkan juga dengan etnis lain di Indonesia, saling bertentangan.

Baca juga:  Jelang Munas Alim Ulama (1): Lima Riwayat Sunan Kalijaga di Pulau Lombok

Para peneliti dari kelompok santri mendapat tugas lebih di sini. Mereka adalah kelompok yang diharapkan mampu dan mau, di tengah minimnya perhatian terhadap kajian manuskrip pegon, meneliti kembali naskah-naskah pesantren kuno dan memberikan kajian yang kaya akan perspektif. Pada akhirnya kajian ini bisa menjelaskan bahwa fungsi naskah-naskah pesantren tersebut bukan hanya untuk dikaji untuk menjadi seorang muslim yang baik. Namun juga kajian inilah yang membentuk tradisi keislaman yang hidup dengan beragam dinamika di masyarakat. Kajian yang hendak meneguhkan bahwa identitas keislaman sama sekali tidak bertentangan dengan identitas kedaerahan seseorang. Sesuatu yang menjadi tujuan dari beragam gerakan banyak kelompok Islam trans-nasional yang berkembang di Indonesia. Mampukah? (RM)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top