Salah satu kitab tasawuf yang sangat terkenal dikalangan muslim Indonesia adalah al-Hikam al-‘Ata‘iyyah. Kitab ini ditulis oleh Ibnu ‘Ata’illah, penerus dan penulis ajaran Syaziliyah.
Menurut banyak pengkajinya, kitab dengan judul lengkap al-Hikam al-‘Ata‘iyyah asy-Syaziliyah at-Tauhidiyyah al-‘Irfaniyyah al-Wahabiyyah ini adalah masterpiece-nya (Ahmad Zaruq, 1985). The Encyclopaedia Of Islam pun berpendapat sama bahwa al-Hikam adalah karyanya yang utama:
“Karyanya yang sangat dikagumi adalah sebuah koleksi aforisme yang disusun dengan ekspresi bahasa yang sangat menawan, al-Hikam al-‘Ata‘iyyah.” (Baca: Ngaji Hikam: Eling dan Wasdapa)
Dengan keadaan yang demikian, makna yang sangat dalam yang disuguhkan dengan bahasa indah, tidak mengherankan jika al-Hikam tidak lekang digerus zaman. Kajian-kajian kitab ini terus menyembul dari masa ke masa. Dalam catatan at-Taftazani tentang kitab-kitab syarah al-Hikam dapat disimpulkan bahwa tidak berlalu 100 tahun kecuali muncul syarah atas al-Hikam. Termasuk di antaranya yang ditulis oleh ulama Nusantara.
Martin van Bruinessen mencatat beberapa terjemahan dan syarah al-Hikam yang dapat ditemukan di Indonesia. Dia mencatat ada tiga kitab: Hikam Melayu yang anonim, syarah yang disusun K.H. Muhibuddin Wali dari Aceh, dan Syarah al-Hikam oleh Kiai Soleh Darat As-Samarani dalam bahasa Jawa (dalam Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia).
Kiai Soleh mengulas al-Hikam dengan menggunakan tulisan Arab Pegon dalam bahasa Jawa lokal (al-mriki) agar mudah dipahami orang awam yang mau mengaji (Kiai Soleh, al-Hikam).
Beliau mengawali menulis kitab ini pada tahun 1289 H/1872 M dan menyelesaikannya pada 1291 H/1873-4 M (Dzahir dan Ichwan, Sejarah Dan Perjuangan Kyai Soleh Darat Semarang). Pada masa itu, diperkirakan Kiai Soleh sudah menetap dan mengajar di Pesantren Darat yang dipimpinnya.
Meski begitu, menurut catatan Proudfoot kitab ini baru dicetak sebanyak 1200 eksemplar pada 23 Januari 1984 dan pada 1 Februari 1894 baru mulai dipasarkan oleh percetakan Haji Muhammad Siraj Singapura dengan harga $0.50 (Proudfoot, 1993, h. 356). Ini bukan berarti kitab tersebut tidak dicetak sebelumnya karena Proudfoot mendasarkan catatannya dari daftar laporan buku-buku yang diregister di Pemerintahan Hindia-Belanda. Sangat mungkin cetakan-cetakan sebelumnya tidak dilaporkan oleh percetakan yang mencetaknya untuk menghindari sensor yang ketat dari pihak Hindia-Belanda sebagaimana beberapa kitab-kitab lain Kiai Soleh yang tidak masuk daftar Proudfoot.
Saiful Umam menuturkan bahwa kitab ini kembali dicetak pada 1906 di percetakan Karimi, Bombay, India (Umam, 2011). Namun sayangnya tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai jumlah eksemplar dan harganya. Yang jelas al-Hikam Kiai Soleh adalah beberapa diantara kitab beliau yang masih terus dikaji dan dicetak hingga hari ini.
Percetakan Toha Putra Semarang terus mencetak kitab ini untuk dipasarkan di pesantren-pesantren di Jawa Tengah, seperti di Pesantren Bareng Kudus, Pesantren Losari Brebes, dan Pesantren Nurul Hidayah di Pedurungan Semarang. Namun sayangnya pihak penerbit tidak menjawab berapa jumlah eksemplar yang telah dicetaknya sejauh ini.
Kiai Soleh tidak menjelaskan seluruh bait kitab al-Hikam yang seluruhnya ada 264 bait. Beliau “hanya” menjelaskan 134 bait diantaranya (In’amuzzahidin, Pemikiran Sufistik). Beliau berkata:
“Utawi iki kitab ringkesan saking matn al-Hikam karangane al-Allamah al-Arif Billah asy-Syaikh Ahmad Ibnu Ata’illah. Ingsun ringkes namung sakpertelune asal” (Kiai Soleh, al-Hikam, h. 2). Artinya: “Ini adalah kiab ringkasan dari Matn al-Hikam karya al-Allamah al-Arif Billah asy-Syaikh Ahmad Ibnu Ata’illah. Saya ringkas menjadi hanya sepertiga dari asalnya”.
Kiai Soleh tidak menjelaskan seluruh hikmah al-Hikam. Beliau “hanya” menerangkan sepertiganya saja (Kiai Soleh, Al-Hikam, h. 2). Tujuan beliau adalah agar mudah diingat dan dipahami sehingga dapat diamalkan orang-orang awam. (Baca: Tasawuf Ibnu Arabi dalam Keris Jawa)
Dalam mengulas, Kiai Soleh mempunyai metode khusus. Beliau selalu menyebutkan bait hikmah dan diteruskan dengan terjemahannya. Beliau mengawali kitab ini dengan memberikan penjelasan pengantar, baru kemudian menyebutkan bait hikmah yang mengandung penjelasan ini.
Pada penjelasan bait hikmah pertama, misalnya, beliau terlebih dahulu memberikan gambaran bahwa orang-orang yang masuk surga itu karena kemurahan dari Allah. Beliau mengisahkan Asiyah, isteri Fir’aun. Meski suaminya kafir, ia tetap masuk ke dalam surga karena kemurahan Tuhan dan suaminya tak dapat mempengaruhinya. Kemudian beliau jelaskan isteri Nabi Lut. Ia mati dalam keadaan kafir. Kedudukan suaminya yang menjadi utusan Tuhan tidak dapat menghindarkannya dari Neraka. Barulah Kiai Soleh menyebutkan bait hikmah dengan berkata “Syaikh menuturkan …” (Kiai Soleh, al-Hikam, h. 3–4).
Setelah itu, Kiai Soleh akan selalu menjelasakan hikmah yang terkait atau beliau kaitkan dengan hikmah sebelumnya. Hikmah-hikmah itu beliau susun dalam satu kesatuan konteks yang saling kait-berkait satu sama lain. Ini beliau lakukan agar menjadi satu kesatuan narasi yang saling terjalin berkelindan, sehingga menjadikannya mudah untuk dipahami.
Seakan-akan beliau menyusun sebuah “cerita” utuh dari potongan petikan-petikan hikmah al-Hikam. Oleh karenanya, beliau tidak mengikuti urutan bait hikmah sesuai dengan kitab aslinya (Kiai Soleh, al-Hikam, h. 1–19). Misalnya, beliau mengikuti runtutan sebagaimana kitab asal dari bait hikmah pertama hingga keenam. Setelah itu beralih ke bait hikmah ke-83 (Kiai Soleh, al-Hikam, h. 20).
Hal tersebut dikarenakan menurut Kiai Soleh bait ini yang dapat menjalin susunan penjelasan yang sejalan dari bait sebelumnya. Kemudian beliau kembali ke bait kedelapan (Kiai Soleh, al-Hikam, h. 21). Sedangkan bait hikmah kesembilan beliau tempatkan jauh setelah bait-bait hikmah lainnya (Kiai Soleh, al-Hikam, h. 29).
Beliau juga tidak selalu menyebutkan –baik langsung diulas maupun cukup diterjemahkan dahulu – satu bait penuh, terkadang bait yang panjang beliau penggal menjadi dua, atau tiga, bahkan ada yang empat bagian. (Baca: Ngaji Hikam: Optimisme Terhadap Kenyataan Hidup)
Dari sini dapat disimpulkan bahwa metode penulisan syarah ini adalah Kiai Soleh memberikan pengantar penjelasan bait, kemudian beliau menyebutkan bait hikmah dan menerjemahkannya dalam bahasa Jawa, terakhir beliau ulas kembali yang sekaligus menjadi “pengantar” bagi bait hikmah setelahnya.