Dalam buku Mir’atul Janan, Imam Abu Abdullah Muhammad bin As’ad al-Yafi’i (w. 767 H/ 1366 M) yang lahir dan menghabiskan masa belajar di Yaman lalu berkiprah di Mekkah menyebutkan salah satu guru pentingnya yang berasal dari Nusantara.
Nisbah untuk kepulauan Nusantara yang digunakan oleh orang-orang berbahasa Arab adalah al-Jawi. Al-Yafi’i mengingat gurunya yang sangat penting itu dengan menulis:
Duduklah ia yang memiliki nafas kebenaran, keramat-keramat yang menakjubkan, kedudukan yang mulia. Dialah guru kami yang patut kami syukuri. Dialah seorang wali yang dikenal dengan Syaikh Mas’ud al-Jawi, yang merupakan salah satu kawan karib dalam keutamaan luhur dan keramat-keramat yang agung, dari seorang syaikh ahli fikih, sang pemilik kitab Mauza’ yang telah aku jelaskan di muka yang berisi tentang seorang ahli fikih yang terkenal dengan keramat-keramatnya yang agung dan hal-ihwalnya yang mulia, yaitu Syaikh Muhammad bin Isma’il al-Hadrami. (al-Yafi’i 1997, IV:232)
Al-Yafi’i sendiri adalah seorang ahli fikih mazhab Syafi’i ternama. Tajuddin as-Subki (w. 771 H/ 1369 M) mencatat biografinya dalam kitabnya yang terkenal Tabaqatusy Syafi’iyyah al-Kubra. As-Subki menuliskan:
“Abdullah bin As’ad bin Ali al-Yamani al-Yafi’i adalah seorang yang saleh. Dia memiliki banyak sekali karya kitab dan syair. Aku pernah bertemu dengannya di Mina pada tahun 747 H. Dia wafat di Mekah pada Jumadil Ula, 767 H (sekitar Januari-Februari 1366 M)”, (As-Subki 1413, X:33).
Pada kesempatan selanjutnya al-Yafi’i menjelaskan hubungan antara dirinya dengan Mas’ud al-Jawi. Al-Yafi’i menulis:
“Syaikh Mas’ud adalah orang pertama yang mengenakan khirqah padaku. Ketika itu dia datang kepadaku ketika aku sedang bertapa, mengasingkan diri dengan zikir di suatu tempat. Dia berkata kepadaku, ‘sebuah pertanda datang kepadaku malam ini bahwa aku memakaikan khirqah padamu’. Lalu dia memakaikannya padaku.” (al-Yafi’i 1997, IV:232).
Dari sini kita tahu bahwa Mas’ud al-Jawi adalah seorang guru tarekat yang menginisiasinya ke dalam sebuah ordo tarekat. Hal ini ditandai dengan pemakaian “khirqah” yang dikenal sebagai simbolisme prosesi inisiasi ini. Meskipun di sini tidak dijelaskan tradisi tarekat yang diajarkan oleh Mas’ud al-Jawi.
Pada waktu itu mereka sering berkumpul bersama para salik lain (para penempuh jalan tarekat). Al-Yafi’i menjelaskan di mana mereka berkumpul:
“Mas’ud al-Jawi biasa bertemu dengan guru kami lainnya Jamaluddin al-Dhuhaybi yang telah kusebutkan sebelumnya. Hamba bersama dengan jamaah para “salik” akan berkumpul dengan keduanya dalam waktu-waktu yang diberkati di Aden. Pada waktu-waktu yang lain kami berkumpul di sebuah pantai, yakni Pantai Duras … yang berada di belakang Pantai Huqqat”. (al-Yafi’i 1997, IV:232).
Bagi al-Yafi’i, Abdullah Mas’ud al-Jawi lebih dari sekadar mursyid tarekatnya, dia adalah guru yang sangat penting. Hal ini dibuktikan dengan penyebutannya pada urutan ketiga dari enam puluh tiga guru utamanya. Secara khusus dia abadikan daftar gurunya itu dalam syair sanjungan yang panjang. Tentang Mas’ud al-Jawi dia bersyair:
Dia telah memakaikanku “khirqah” karena perintah Tuhannya.
Maka aku kenakan “khirqah” itu. Kebanggaan bagiku adalah
hal ini terjadi ketika dia dalam keadaan sadar
(al-Yafi’i 1997, IV:244)
Lebih lanjut mengenai pertemuannya dengan sang guru, al-Yafi’i menulis, “Di antara enam puluh tiga syaikh kami terdapat syaikh kami dan pemberi berkah kepada kami, Syaikh Agung Mas’ud al-Jawi. Dia adalah yang pertama memakaikan khirqah padaku.” (al-Yafi’i 1997, IV:259)
Daftar enam puluh tiga guru utama ini dia tetapkan berdasarkan satu kriteria. Al-Yafi’i menggambarkannya dengan sangat jelas.
“Sungguh telah banyak yang mengenakan khirqah kepadaku. Juga melalui pertanda yang mereka dapatkan. Terkadang pertanda itu hadir ketika sadar. Terkadang ketika tidur. Namun aku tidak menyaksikan seorang pun dari mereka ini yang memiliki laku tarekat yang baik; mampu mengumpulkan antara syariat dan hakikat; bersungguh-sungguh dalam usaha kebaikan; memiliki cita-cita yang luhur, wirid-wirid yang berkesinambungan, gairah untuk mengikuti sunah Nabi dan sikap malu; memiliki ketetapan hati untuk memperbaiki diri, beradab, dan rendah-hati; memiliki ilmu kebijaksanaan yang mendalam, kemampuan menyingkap tabir, kebaikan-kebaikan terpuji, dan akhlak-akhlak mulia; aku tidak melihat kebanyakan mereka memiliki hal ini seperti apa yang kulihat pada syaikh yang telah kusebutkan.”
(al-Yafi’i 1997, IV:244)
Dari sini kita mengetahui bahwa Mas’ud al-Jawi adalah seorang guru tarekat yang tidak hanya menguasai ilmu tasawuf, namun juga ilmu syariat, dan mampu mengamalkan keduanya, sebagaimana kesaksian dari sang murid.
Satu kesaksian lagi mengenai sang guru, al-Yafi’i menuturkan sebuah keramat dilakukan oleh sang guru. “Mas’ud al-Jawi adalah salah seorang yang telah bertemu dengan ulama zamannya, seorang fakih, Imam Ismail bin Muhammad al-Hadrami. Suatu ketika kami bersama dengannya mendatangi sebuah pekuburan dari orang-orang saleh. Aku memahami dari al-Jawi bahwa dia berbicara dengan seseorang dari kuburnya”. (al-Yafi’i 1997, IV:259). Sebuah keramat yang tidak mengherankan lahir dari seorang yang – sebagaimana diterangkan al-Yafi’i – mampu mengumpulkan antara syariat dan hakikat.
Di abad ke-14, seorang kiai dari Nusantara telah berkarir sebagai seorang mursyid tarekat di Yaman. Berasal dari Nusantara yang bahasa aslinya bukan bahasa Arab tidak menjadikan seorang Abdullah Mas’ud al-Jawi merasa rendah diri untuk menjadi seorang guru bagi orang-orang yang bahasa kesehariannya adalah bahasa Arab. Tidak pula menjadikan orang-orang yang berbahasa ibu bahasa Arab itu merasa rendah belajar dari seorang dari negeri asing.
Sekarang Tampaknya muncul kecenderungan rendah diri. Merasa bahwa para ulama negeri sendiri kalah dalam hal ilmu dan amal dengan ulama dari negeri-negeri Islam lainnya. Padahal di masa lampau ulama-ulama kita adalah termasuk guru utama bagi mereka yang belajar di Yaman dan Mekkah.