Sedang Membaca
Hikayat Walisongo (4): Resonansi Tasawuf Sunan Bonang oleh Syaikh Abdal Hakim Murad (Dr. Timothy Winter)
Nur Ahmad
Penulis Kolom

Alumus Master’s Vrije Universiteit Amsterdam dan Dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Walisongo, Semarang.

Hikayat Walisongo (4): Resonansi Tasawuf Sunan Bonang oleh Syaikh Abdal Hakim Murad (Dr. Timothy Winter)

Hikayat Walisongo (4): Resonansi Tasawuf Sunan Bonang oleh Syaikh Abdal Hakim Murad (Dr. Timothy Winter)

Dr. Timothy Winter, juga dikenal sebagai Syaikh Abdal Hakim Murad, adalah tokoh penting untuk mengenali bagaimana wajah seorang Muslim di dunia Barat kini hendaknya ditampilkan. Namanya masuk dalam daftar 500 muslim paling berpengaruh di dunia sejak edisi 2018 hingga edisi 2021. Editor daftar yang sangat bergengsi tersebut melihat bahwa Winter bukan hanya seorang pengajar tema Islam di Universitas Cambridge dan direktur pendidikan di Wolfson College.

Kedudukan lebih tinggi dia raih dengan menjadi pendiri utama sebuah universitas berbasis Islam pertama di Inggris, Cambridge Muslim College. Dia juga merupakan seorang di balik kesuksesan muslim Inggris membangun masjid milik mereka dengan desain dari mereka sendiri. Secara komplit dan kongkrit Murad menunjukkan bagaimana ajaran Islam harusnya diaplikasikan dalam desain masjid. Desain Islami dalam elemen lokalitas menguatkan konsep ekologis masjid ini. Sebuah gambaran akan masjid masa depan yang mempertimbangkan keberlanjutan sumber daya sebagai landasan spiritualitas.

Namun barangkali yang paling mengagumkan dalam diri Syaikh Abdal Hakim Murad adalah keterbukaan wahana dakwahnya pada tradisi kultural kuno masyarakat Inggris. Pada peringatan syahidnya Sayyidina Husein di Karbala pada Muharam tahun 1442 H, bertepatan dengan Agustus 2020, Syaikh Murad menggubah tembang dari sebuah kitab Rawdat al-Shuhada (Taman Para Syahid) karya Imam Husayn Vaiz Kashifi (w. 1505) ke dalam bahasa dan budaya Inggris. Silahkan dengarkan dendang kerinduan kepada para ahlul bait ini dinyanyikan oleh Murad dan dua muridnya. (https://www.youtube.com/watch?v=BI9dQ9zZqTE). Apakah anda merasa mendengarkan sebuah lagu yang biasa dinyanyikan dalam gereja-gereja Katolik? Anda tidak sendiri. Saya pun merasakan hal yang sama.

Baca juga:  Ulama Banjar (80): KH. M. Janawi

Namun saya lebih tertarik bertanya dari mana sang guru mendapatkan ide terkait hal ini daripada bentuk himne itu sendiri. Gubahan tembang himne dari tradisi Arab ke dalam tradisi lokal tidak biasa dilakukan seorang yang masuk Islam dari dunia Barat, bukan? Mungkin ini bukan jawaban, tapi cara kita menjelaskan fenomena ini.

Pada tahun 2017, di Selangor Malaysia, Murad diundang oleh Cetera Embara, sebuah organisasi yang fokus pada promosi seni dan keindahan yang menjadi wadah kebenaran. Tema yang tidak biasa, paling tidak dengan melihat video-videonya di youtube, menunggunya di sana. Walisongo seakan sedang berada di sana, memintanya untuk mengungkap kembali bagaimana benih peradaban religius bisa tumbuh subur di nusantara. Sebuah diskusi mengambil tema yang amat menantang Walisongo, Diving Into The Depths of Religion (Walisongo, Menyelami Kedalaman Lautan Agama).

Namun Murad tidak salah diundang untuk menyampaikan tema tersebut. Kita melihat lagi-lagi bagaimana fasih dan mendalam pengetahuannya mengenai para wali tanah jawa ini. Tidak kalah fasih daripada saat dia menyampaikan kajian tentang Imam al-Ghazzali dengan Ihya’ Ulumuddin-nya. Uraian reflektif sangat dalam dia berikan kepada hakikat kehadiran para wali tersebut.

Dia bertanya secara retorik, “Apa yang mampu menghadirkan jiwa suci seperti itu? Apakah ada kesempatan kita diberkahi dengan kesempatan melihat cahaya dari para wali ini lagi?”. Dia melakukan komparasi bahwa masyarakat muslim hari ini telah mencipta para profesor dan cendekiawan yang melahirkan buku dan artikel ilmiah yang akhirnya mengantarkan mereka mendapatkan hadiah dan gelar. Namun apakah ini yang dibutuhkan masyarakat kita? Syaikh Abdal Hakim Murad menjawab bahwa apa yang dibutuhkan masyarakat adalah kemampun mencipta simbol yang ikonik namun amat mendalam dan menjadi pedoman masyarakat. Hal ini, menurutnya, berhasil dilakukan oleh para wali, misalnya gubahan tombo ati oleh Sunan Bonang. Sebuah tembang pendek namun berhasil menyimpan intisari ajaran Islam dalam idiom yang membumi dan mudah dipahami masyarakat.

Baca juga:  Ulama Banjar (96): KH. Muhammad Khairan Alie

Syaikh Murad nampaknya tidak hanya seorang pengamat dari jauh. Bacaan yang amat mendalam terhadap sejarah dan ajaran para wali jelas tergambar dalam elaborasinya tentang ajaran dan signifikansi para wali di Selangor itu. Namun ada hal lebih dari itu. Dia benar-benar seperti orang yang hadir bersama para wali di masanya, sehingga mampu melakukan pembacaan yang amat tepat lagi sublim. Dia menjelaskan bahwa Para wali adalah para aqtab. Mereka adalah penjaga harmoni di semesta spiritual yang memiliki paralelisasinya di dunia nyata. Bagaimana dia sampai pada titik ini?

Tahun lalu dia bercerita pada sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang bahwa dia melakukan ziarah ke makam para wali di Jawa. Dia bercerita betapa hormatnya masyarakat muslim di sekitaran para wali, sebuah resonansi ajaran Islam yang jauh bertahan setelah para pembawanya meninggal. Dia juga bercerita bahwa betapa harmoni semesta dan agama dirasakan ketika sembahyang maghrib di masjid di puncak gunung muria, di mana Sunan Muria di makamkan. Dia juga bercerita para penghafal Quran yang melakukan sema’an di masjid Sunan Ampel.

Akhirnya kita bisa mengatakan untuk menjawab pertanyaan asal tradisi “baru” yang diperkenalkan oleh Syaikh Abdal Hakim Murad di atas. Dalam Karbala Lament, Syaikh Abdal Hakim Murad mengambil contoh dari teladan para wali dalam dakwah, utamanya Sunan Bonang. Syaikh Murad sedang menggubah tombo ati dalam kebudayaan Inggris. Ajaran Islam dalam kitab-kitab dan teladan Rasul diterjemahkan kedalam himne tradisional Inggris, sebagaimana tombo ati dalam kebudayaan Jawa.

Baca juga:  Beginilah Hadratussyaikh Mencintai Al-Qur'an (1): Falsafah Cinta al-Qur’an

Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang mengambil nama Walisongo karena para wali memiliki sebuah arah panduan bagaimana keislaman diterjemahkan di dunia tempat di mana masyarakat. Hal ini diterapkan dengan baik oleh Syaikh Abdal Hakim Murad di Inggris hari ini, dan kita perlu pula terus melakukannya di Indonesia hari ini. Terus-menerus mencipta karya yang simbolik dan ikonik yang membumi dan yang mampu menjadi panduan masyarakat muslim hari in. Semoga!

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top