Bulan puasa adalah waktu yang ditunggu di pesantren. Para kiai, baik yang muda maupun yang sepuh, akan membuka kelas kajian kitab-kitab kuning sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mereka. Ada yang mbalah kitab fikih. Saya dulu ngaji kitab fikih perkawinan, Fathul Izar. Kitab tasawuf juga banyak yang mengkajinya. Kiai Haris Shodaqoh seringkali mendedah kitab al-Hikam ketika puasa. Di antara keduanya tersebar beragam genre kitab lainnya, seperti hadis, tafsir, dan sejarah.
Bagi para santri, ini adalah waktu yang tepat untuk memperkaya koleksi kitab dan maknanya. Lebih dari itu, posonan adalah safari dari kitab-kitab di kurikulum sekolah sore. Kitab-kitab “aneh” yang jarang dikaji di kelas madrasah diniyah sangat mungkin dijumpai di sini. Saya pernah ikut mengkaji kitab tafsir mimpi. Secara sederhana, santri menjadi bebas untuk menyusun kurikulum kajiannya sendiri selama puasa. Kampus Merdeka yang digagas pemerintah baru-baru ini sudah diterapkan di pesantren jauh-jauh hari.
Dari posonan pula saya mengkaji kitab Izzatun Nasi’in berisi wejangan Syekh al-Ghalayaini yang amat terkenal itu. Di masa perjuangan, kitab ini pernah dilarang pemerintah kolonial Belanda, karena isinya adalah motivasi agar umat Islam bergerak melawan musuh kezaliman dan musuh kemunduran.
Pengembaraan santri seringkali didorong oleh posonan ini. Jika pesantren tempat mondok santri tidak menyuguhkan materi yang dia inginkan. Atau pesantren lain menawarkan kitab-kitab yang lebih menarik baginya, seorang bisa saja menjadi santri di pondok itu selama posonan. Dalam konteks ini, posonan menjadi ajang silaturahmi intelektual antar santri dari berbagai pesantren yang berbeda.
Sekarang di era virus covid-19, tradisi ini dibawa ke udara. Memenuhi jagad maya adalah para kiai di banyak pesantren yang membuka pengajian online. Masyarakat dimanjakan dengan kebebasan memilih. Mau ngaji kitab Fathul Mu’in dengan Kiai Abdul Moqsith Ghazali. Mau ngaji Ihya’ dengan Kiai Ulil Abshar Abdalla. Mau ngaji kitab Burdah dan Nashaih al-‘Ibad dengan Kiai Said Aqil Siradj. Segala menu yang tersedia bebas untuk diikuti.
Ada satu tradisi pasanan di pesantren al-Itqan Bugen yang selalu kuingat. Kiai Haris Shodaqoh selalu mengadakan dua kajian selama Ramadhan. Satu kajian dilakukan bakda ashar, satunya lagi bakda isya. Setelah sembahyang ashar, Kiai Haris biasanya memilih membedah kitab Al-Hikam. Sekumpulan aforisme sufistik dari begawan tarekat Syadziliyah, Ibnu Athaillah as-Sakandari. Sedangkan setelah isya’, Mbah Yai akan mendedah kitab hadis. Saya pernah mengikuti ngaji kitab Mukhtashar Ibnu Abi Jamrah yaitu ringkasan dari Shahih Bukhari. Saya juga pernah mengikuti kajian Jami’us Shagir karya Imam As-Suyuthi.
Kedua pilihan ini nampak seperti menyandingkan dua kutub. Antara ilmu eksoterik dalam umumnya kajian hadis dengan ilmu esoterik dalam tasawuf. Belajar hadis yang seringkali sifatnya harfiah, harus dilengkapi dengan kajian tasawuf yang sifatnya maknawiah.
***
Di keislaman nusantara usaha pengharmonian antara syariah dan hakikat, atau antara fikih dan tasawuf, adalah tradisi yang berakar kuat (deep rooted tradition). Kiai Haris Shodaqoh adalah penerus dari mata rantai yang saling bersambung hingga ke guru-guru nusantara di Mekah, menuju ke Zakariya al-Anshari, sampai pada Imam al-Ghazali, lalu menuju ke al-Juwaini, bahkan sampai kepada Rasul saw. Bagi para sufi, Rasul adalah fakih sekaligus sufi pertama. Kedua nama itu tentu belum ada sebagaimana dipahami kemudian, namun realitas keduanya tidak bisa dibantah hidup bersama Rasul dan para sahabat.
Coba kita lihat guru para ulama nusantara di Mekah pada gelombang pertama. Dalam Ithaf al-Dhaki by Ibrahim al-Kurani: a Commentary of Wahdat al-Wujud for Jawi Audiences, Oman Fathurrahman menandai Syekh Ibrahim al-Kurani (1616-1690) sebagai seorang penempuh jalur tengah. Seorang syekh yang menguasai ceruk ilmu dari beragam tradisi yang amat luas.
Dalam fikih, tidak hanya menguasai kajian fikih Syafi’i dan Hanafi, beliau juga mengkaji fikih Maliki dan Hanbali. Dalam teologi, bukan hanya kitab-kitab mainstream dalam akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah, beliau juga mengkaji kitab-kitab yang tidak umum karena mengandung pertentangan dengan ajaran umumnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Bahkan kepada pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah, beliau memberikan pendapat dan tafsiran yang menunjukkan sangkaan baik. Beliau berpegang pada ajaran “pengharmonian dua pendapat yang nampak bertentangan lebih didahulukan daripada memilih salah satu”.
Ajaran ini terus muncul di sepanjang sejarah Islam di Nusantara melalui rentetan sanad keilmuan yang kembali kepada sang guru. Pada masa awal kita bisa melihat jelas hal ini pada Abdurrauf al-Fansuri as-Singkili (1619-1693). Dia berusaha meredam konflik horizontal antara para pengikut wujudiyah dan para pengikut Syekh Ar-Raniri. Pada sosok murid Ibrahim al-Kurani yang lain kita melihat penekanan harmoni yang lebih kuat. Sufi Pejuang, Syekh Yusuf al-Makassari al-Bantani, menegaskan pentingnya formulasi syariah dan hakikat.
“Siapa yang belajar ilmu syariah (fikih) namun tidak belajar ilmu hakikat (tasawuf) maka dia fasik; siapa yang belajar ilmu hakikat namun tidak belajar ilmu syariah maka dia zindik; namun siapa yang harmoni dalam pemahaman ilmu syariah dan ilmu hakikat maka dia telah menjadi sempurna dalam keyakinannya”.
***
Seperti sirup yang mengenai air begitu pula ajaran harmoni yang mengenai masyarakat. Seluruh aspek dalam kehidupannya akan merasakan manisnya harmoni. Lebih dari sekadar ajaran yang diberikan para guru melalui kitab-kitab serius nan sulit, harmoni masuk ke dalam aspek kesenian. Seni sendiri yang merupakan hasil dari harmoni antara fikih dan tasawuf melalui siklus kebaikan melahirkan kembali karya yang mengandung harmoni.
Dalam Directions for Travellers on the Mystic Path, GWJ Drewes (1899-1991) menyajikan sebuah seni tumbuh dalam harmoni ini. Seorang santri di Cirebon pada tahun 1738 telah mengabadikan tradisi harmoni ke dalam puisi macapat. Kitab berbahasa Arab yang hampir merupakan privilege para santri di pesantren dijadikan populer dalam bahasa Jawa hingga dapat dinyanyikan masyarakat awam di luar pesantren. Usaha untuk memberikan pembelajaran di masyarakat dalam berbagai kesempatan menuntut juru dakwah menjadi kreatif.
Kita bisa membayangkan, pada masa itu pepujian sebelum salat diisi dengan tembang semacam ini. Perkumpulan mingguan yang di masa kini diisi dengan yasin dan tahlil, di masa itu diisi dengan lantunan tembang dan kidung. Masyarakat merayakan ingatan akan Tuhan dan hukum-Nya dengan senandung tembang yang memesona.
Kitab Fathurrahman karya Syekh Zakariya al-Anshari yang merupakan syarah dari kitab Risalah fit Tauhid Syekh Wali Raslan al-Dimashqi diubah menjadi Suluk Fathurrahman. Syekh Zakariya al- Anshari lebih dikenal di Indonesia melalui karya fikihnya Fathul Wahhab, sebuah syarah atas karya lain yang terkenal Manhajuth Thullab. Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat mencatat bahwa kitab Fathul Wahhab merupakan kitab fikih yang paling banyak digunakan di tingkatan ‘Aliyah di pesantren.
Dua karya Syekh Zakariya al-Anshari tersebut sangat terkenal sejak lama di pesantren. Sejak era di mana pembelajaran masih di dasarkan pada manuskrip bukan buku cetak. Hal mudah yang dapat dilakukan adalah dengan melihat katalog-katalog manuskrip nusantara, misalnya Supplementary Catalogue of the Arabic Manuscripts in the Jakarta library oleh Van Ronkel. Meski tidak sepopuler Fathul Wahhab, karya-karya lain dari Zakariya al-Anshari juga dikenal di pesantren. Lebih luas dari “sekadar” fikih, karya-karya tersebut juga mencakup bidang tafsir al-Quran, hadis, ushul fikih, logika, tasawuf, dan akidah.
“Sejak kecil aku tertarik dengan tasawuf. Pada waktu itu, kitab-kitab dalam bidang ini adalah bacaan kesukaanku dan aku sangat asyik ma’syuk mempelajari pengalaman para sufi, sehingga orang-orang sering berkata tentangku, ‘Terkait dengan proses pembelajaran fikih, tidak ada yang bisa diharapkan darinya’.”
Syekh Zakariya al-Anshari membuktikan bahwa keahliannya bukan hanya dalam bidang taswuf. Beliau membangun harmoni antara keduanya dan menjadi benteng yang kokoh bagi kehidupan harmoni antara tasawuf dan syariah. Hal itu mengejutkan bagi para tokoh semasa dengannya bahwa seorang yang masa mudanya dihabiskan dengan membaca kitab-kitab tasawuf bisa berkembang dalam bidang fikih sebegitu rupa hingga mampu menyelesaikan sebuah syarah setebal 11 jilid atas nazam fikih Bahjah al-Wardiyah.
Kitab Fathurrahman telah dikenal cukup lama di nusantara. Snouck Hurgronje mencatat keberadaan kitab ini di Indonesia. Manuskrip di Leiden Or. 7031 juga telah mengabadikan salah satu syarah yang dikarang oleh Syekh Alī ibn ʿAṭiyyah ʿAlawān al-Ḥamawī bersama dengan karya Syekh Abdurrauf Singkel Tanbih al-Masyi. Lebih dari itu, bahkan sebuah terjemah dan syarah dalam bahasa Melayu dibuat oleh Syekh Kemas Fakhruddin Palembang selesai pada 11 Juli 1823. Tembang kita menunjukkan bahwa popularitas kitab ini juga tertanam di Jawa.
Penggubahan menjadi tembang tentu tidak ditujukan pada santri pesantren, karena mereka akan bisa mengaji pada kiai dalam bahasa Arab. Gubahan puitis ini, sebagaimana terjadi pada gubahan macapat kitab Tuhfah al-Mursalah, bisa jadi karena perintah seorang raja. Atau seorang santri ingin menikmati kajian kitab Fathurrahman dalam rupa nyanyian yang memudahkannya untuk menghafal. Bisa juga gubahan ini bertujuan untuk mempopulerkan di masyarakat luas akan ajaran akidah dalam kitab ini.
Kitab Fathurrahman adalah penjelasan atas formulasi tauhid dari Syekh Wali Raslan al-Dimashqi. Sebuah konsepsi tauhid utuh dan tuntas. Tauhid yang hendaknya mencapai tahapan fana’, bahwa segala sesuatu selain-Nya adalah tidak memiliki wujud hakiki.
“Dirimu wahai para hamba adalah tempat tumbuhnya syirik yang halus, berupa waham dan khayalan keliru”.
Sebuah pembukaan yang menghentak. Seorang hamba, dirinya, sifatnya, zatnya, adalah sumber dari penyekutuan. Yaitu, ketika seorang mengalami pikiran yang tidak lurus dan imajinasi keliru akan keberadaannya. “Tauhidmu tidak akan menjadi terang dan jelas kecuali ketika kamu keluar dari dirimu sendiri”. Yaitu kamu hendaknya melihat semua makhluk hakikatnya semuanya berasal dari Allah. Kamu menyadari Allah ketika melihat makhluk-makhluknya. Wujud makhluk adalah nisbi, sedangkan wujud-Nya adalah Absolut.
Ajaran ini mengingatkan kita pada suluk yang disebut-sebut diajarkan Sunan Kudus. Fashlun. Punika tingkahing ngabayanaken ujaring suluk. Fashlun. utamaneng sembah malih tannemuning nala reka tannoningeng raga lenyep lengat tannana kasunyate. Tegese utamaning sembah. Kang tan syarik tingale. Ing dalem salate.
Artinya: Satu fasal. Inilah penjelasan mengenai suluk. Fasal. Keutamaan sembahyang adalah (untuk) menemukan inti. Gambarannya (yaitu) melihat dirinya keluar dan melesat jauh tidak ada hakikatnya. Yaitu keutaman salat (adalah salat) yang tidak ada sekutu dalam pandangan di dalam salat.
Suluk Fathurrahman lebih dari sekadar terjemahan adalah karya jenius yang merangkai karya-karya lain dalam satu wadah. Santri yang menggubah suluk ini pasti telah tuntas pula dalam pemahamannya akan kitab-kitab tasawuf wujudiyah sehingga mampu memperkaya penjelasan asal kitab. Sesuatu yang dipandang keliru oleh Drewes, karena ketidakmampuannya melihat benang merah antara keduanya.
Jauh dari ajaran yang hendak melepas syariat dan tarekat, Suluk Fathurrahman justru memperkuat harmoni keduanya.
Lan malih wajib lampahi
pikukuh Islam sedaya
lan anyegah ing cegahe
sarating hakekat
yen tan kalawan
sarat sarengat tarekat iku
kapir jidik ingaranan.
Juga seorang wajib melakukan
Seluruh perintah ajaran Islam
Dan juga menghindari seluruh larangannya
Syariat dan Hakikat
Jika tidak disertai
Dengan syariat maka tarekat
itu menjadikan kafir zindik
Harmoni nampaknya sesuatu yang hilang dari tubuh keislaman kita hari ini. Bukan?