Seorang masih ingat ketika duduk di sekolah dasar. Guru agama mengajari rupa tata-cara ibadah. Mendekat kepada Tuhan perlu tuntunan. Guru agama laksana suluh bagi penempuh jalan yang masih belia. Penuh canda-tawa anak belum terdidik, guru agama harus tabah. Sesekali marah tak mengapa, anak perlu diberi cegah.
Saat saya di sekolah dasar, Pak Rifa’i adalah guru agamaku. Menyebut namanya, ingatan melompat ke beragam situasi di mana kami pernah bersama. Di salah satu memori ada satu pelajaran akan ibadah paling penting dalam kehidupan Muslim. Pelajaran itu disebut “praktek salat”.
Di Masjid Darul Iman di samping sekolah, anak-anak di masa canda harus serius. Rupa-rupa bacaan salat harus dihafal. Mulai dari surat pembuka yang cukup mudah, hingga bacaan di saat tahiyat akhir yang selalu membuat kami tertawa. Terutama di bagian awal dari bacaan itu. pada bagian shalawatut, anak-anak sering membuat canda.
Untung saja bacaan Arab sudah dilatih. Pembedaan harus dibuat antara ta’ dan tho’, antara tsa’, sin, dan shad. Di sekolah ngaji sore bersama Bu Nyai Kasemik, saya sudah latihan membaca. Huruf- huruf yang seperti kapal, angka nol, dan ulat yang menggeliat itu ternyata punya suara. Penyambung pertama anak-anak dengan kalam Tuhan adalah proses mengaji di waktu senja.
Lebih dari gerakan, anak-anak penting pula mengetahui sujud dan rukuk. “Jangan sampai tertukar”, wekas Pak Rifa’i. Semua harus runtut dilakukan. Mulai dari takbirotul ihram, rukuk, sujud, duduk di antara dua sujud, hingga tahiyat akhir serta salam. Pertemuan dengan Tuhan ada tatacaranya. Anak- anak sekolah dasar harus tuntas dalam hal itu.
Praktek salat mengajarkan struktur dari kegiatan sehari-hari anak-anak bersama ayah dan ibunya, serta permainan bersama anak-anak lain di masjid atau musala. Ia mengajarkan bahwa gerakan mulut orang tua mereka bukanlah gerakan asal-asalan. Itu adalah gerakan untuk mengucap rupa-rupa bacaan dalam bahasa Arab. Gerakan rukuk dan sujud juga bukanlah gerakan olahraga. Itu adalah rupa sembah kepada Yang Maha Kuasa.
Praktek salat di masa itu adalah dasar. Sebuah fondasi untuk menjadi penyembah Tuhan yang baik. Beragam persiapan harus dilakukan. Mulai berwudlu, memakai peci, sarung, dan utamanya keseriusan. Beragam gerakan juga harus diikuti. Lebih-lebih lagi, meski sulit, rupa-rupa bacaan jangan sampai lupa.
Sembahyang bagi anak-anak adalah sebuah pelajaran dari guru. Kesepakatan antara guru, orang tua, dan masyarakat untuk laku rupa-rupa gerakan dan rapal aneka bacaan. Belum terbayangkan sebuah komunikasi batin dengan Tuhan.
***
Tumbuh dewasa membawa kesadaran bagi para penempuh jalan. Sembahyang bukan hanya bacaan dan gerakan. Kesadaran dan penghayatan adalah aspek penting lain dalam salat. Pertanyaan tentang bagi siapa sembah dilakukan, dan mengapa Dia disembah tidak muncul dari anak-anak. Kegelisahan yang dialami bagi remaja untuk menjadi dewasa. Pertemuan dengan beragam masalah sosial maupun personal membawa seorang perlu dekat kepada-Nya. Sebuah lingkaran proses yang berulang dalam kehidupan manusia.
Sebuah ingatan akan pelajaran sembahyang yang lebih matang mendorong santri untuk menuliskan tembang macapat. Suluk Daqa mengurai kembali dalam sebuah ekspresi puitik akan arti batin dari sembahyang yang diajarkan sebuah kitab berjudul Daqa (mungkin ad-Daqaiq wal Haqaiq). Suluk menjadi saksi akan usaha pembelajaran pada pemaknaan salat masyarakat yang sudah berlangsung sejak lama. Suluk dimacapatkan seperti lagu di masa kini dinyanyikan. Suluk adalah usaha mempopulerkan sebuah ajaran sufi. Dia seperti lagu-lagu religius yang tidak hanya muncul di bulan Ramadhan.
Penekanan suluk bukan pada penyanyi yang membawakan. Bukan pula pada penyair yang menuliskan. Namun pada sumber dari sebuah ajaran. Juga pada isi ajaran yang disampaikan. Penekanan khusus ada pada pemaknaan religius yang di masa kini mulai memudar. Di masa lalu, lagu sudah otomatis adalah religius dalam maknanya yang sangat luas.
Barangkali tembang-tembang yang amat populer di masa itu, seperti lagu-lagu Lord Didi di masa kini. Dinyanyikan oleh anak-anak hingga orang tua. Seperti setiap lagu the Godfather yang punya “fungsi” bagi mereka yang (pernah) patah hati, setiap tembang punya fungsi sendiri pula. Doa bagi kehamilan tujuh bulan, kelahiran, mulai berjalan, hingga perkawinan serta kematian.
lamun anembah amuji
“Pujiné katuring sapa
Yén katuring pengérané
Mapan ora warna rupa
Lamun ora katura
Tampa gawé sembahipun
Angur aja amujiya”
“Apabila engkau sembah dan puji
Pujian itu untuk siapa?
Apabila kepada Tuhan
Bukankah Dia tidak berbentuk tidak berupa
Apabila tidak ditujukan kepada-Nya
Tak bergunalah sembahyangnya
Biarkan saja tak perlu menyembah”
Bait pembuka bersaksi bahwa pujian kepada-Nya harus disadari tidak pernah sama seperti yang layak Dia terima. Puisi didasarkan pada sebuah ucapan yang diajarkan Nabi saw.
“Kami tidak membatasi pujian atas-Mu. Pujian bagi-Mu hanyalah sepadan seperti puji-Mu kepada Diri-Mu sendiri.”
Makna surah pujian (al-Fatihah) dijelaskan. Bahwa hamba tidak mampu memuji. Tidaklah pujian seorang kecuali dengan kesadaran akan keterbatasan. Pujian itu jauh dari hakikat-Nya. Pujian itu hanyalah adab kepada-Nya. Pujian itu adalah tanda lemah diri manusia.
Lamun ngaturaken puji
Maring Allah sumantana
Mapan dudu papadané
Mapan Allah kang amurba
Kang misésa ing sira
Den weruh kawitanipun
“Apabila mengungkapkan puji
Kepada Allah semata
Pujian itu masih bukan yang semestinya
Allah lah Dzat Yang Mencipta
Dan Dzat Yang Menjaga Kamu
Diketahui oleh-Nya awal segala sesuatu”
Lebih dari sekedar bacaan, al-Fatihah adalah ketundukan. Sebuah pengakuan akan Pencipta dan kemahakuasaan-Nya. Ketundukan dilekatkan pada diri yang sedang memuji. Manusia adalah ciptaan. Penghayatan akan Pencipta itu yang diajarkan Suluk Daqa. Terlebih dalam sembah seseorang. Makrifah akan sifat-sifat-Nya.
“Pundi ingkang aran puji
Tegesé puji punika
Pannugrahan sajatiné
Kang tumiba ing kawula
Tegesé kanugrahan
Iya urip tegesipun”
“Mana yang disebut Puji
Maksud dari puji adalah anugerah yang sejati.
Yang diturunkan kepada hamba Itulah arti anugerah
Itulah kehidupan artinya”
Lebih lanjut penyair yang menggubah Suluk Daqa memberikan makna positif akan kehidupan. Dia adalah anugerah yang diberikan Tuhan. Bukan hukuman karena kesalahan. Bukan hukuman karena memakan buah yang dilarang. Turun ke bumi dan memiliki kehidupan adalah hembusan semilir nafas dari kasih dan sayang-Nya (nafasurrahman) ketika Tuhan mengucapkan “kun”. Dan sembahyang manusia adalah proses untuk kembali mengingat prosesi azali tersebut.
Sembahyang semacam ini memang perlu latihan. Seorang perlu berlatih untuk mengingat Tuhan dalam sembahyang. Jika tidak, mungkin sembah seorang masih seperti anak-anak. Hanya memperhatikan bacaan tanpa makna. Hanya mengawasi gerak tubuh tanpa jiwa.
“Angél jenenging sholat
Manawa kaliru
Dén dalih atinggal pisan
Ambasané atinggal sholat sejati
Wajibé kang linakonan
Lamun tinggal sholat pan kafir
Ora esah mayoté dinusan
Wong mati bangka hukumé
Lawan tumulihipun
Ora kena atinggal bakti
Ing kang atinggal sholat
Mapan jangjinipun
Lan malihé ora esah anumbeléh
Lan angruksak kalimah kaléh
Wongkang atinggal asholat”
“Sulit melaksanakan salat paripurna
Apabila salah
Tertuduh tinggal salat
Kemudian sungguh-sungguh tinggal salat sejati
Salat wajib yang dilakukan
Tinggal salat menyebabkan kafir
Tidak sah mayatnya dimandikan
Mati sebagai bangkai
Juga ketika bepergian
Tidak boleh seorang meninggalkan ketaatan
Pada meninggalkan salat
Meskipun karena janji
Dan tidak sah pula melakukan penyembelihan
Dan telah merusak dua kalimat syahadat
Orang yang meninggalkan salat”
Sembahyang dan panduannya telah dilakukan di masa lalu hingga sekarang. Memori-memori yang berasal dari masa di mana tembang masih populer dilantunkan. Seorang merasakan panduan untuk menyembah dengan penuh keseriusan. Hingga masa di mana panduan salat diberikan lebih runtut dalam sebuah narasi panjang, seperti dalam kitab karya Kiai Sholeh Darat dan Kiai Asnawi Kudus. Di Jawa ajaran turun-temurun ini membentuk tradisi fasalatan, yaitu kitab tata cara sembah. Tradisi pemaknaan sembahyang menunjukkan masyarakat ini tidak main-main dalam berislam. Sejak dahulu.