Bulan di mana Nabi Muhammad saw dilahirkan diperingati dengan beragam kegembiraan. Utamanya adalah semakin semaraknya lantunan ragam madah dan selawat untuk Nabi di berbagai tempat: masjid-masjid, rumah-rumah, dan majlis-majlis pengajian. Bahkan sekarang marak di kantor-kantor dan kampus-kampus umum yang dulu alergi berselawat.
Sangat beragam jenis tembang yang berisikan ungkapan kecintaan kepada Nabi yang dilantunkan. Ada yang masuk dalam jenis karya selawat pendek seperti selawat Nariyah. Ada yang merupakan qasidah (tertulis “kasidah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia) cukup panjang seperti Qasidah Barzanji dan Maulid Diba’.
Beberapa contoh di atas sangat populer dilantunkan oleh masyarakat Indonesia dalam berbagai kesempatan. Bahkan banyak sekali yang menjadikan pelantunannya sebagai kegiatan rutin baik mingguan maupun bulananan. Salah satu qasidah lain yang juga tidak kalah populer adalah Qasidah Burdah.
Kitab ini sebenarnya berjudul cukup panjang: al-Burdah fil Mahabbah wal Madhi ala Sayyidil Mursalin. Muhammad bin Said al-Bushiri, sang penulis, memiliki kisah yang sangat menarik mengapa beliau menyusun qasidah ini.
Dalam kitab al-Mahabbah wal Mawaddah fi Tarjamati Qawlil Burdah yang merupakan terjemahan dan syarah 160 bait Qasidah Burdah dalam bahasa Jawa beraksara Pegon, Kiai Sholeh Darat menuliskan kisah tersebut.
Demikian kiranya saya kisahkan ulang dalam bahasa Indonesia. Imam Bushiri berkata:
“Alasan aku menulis kitab qasidah ini adalah karena aku menderita suatu penyakit yang menyebabkan separuh tubuhku mati. Aku telah mendatangai banyak dokter yang ahli. Namun mereka semua telah lepas tangan, tidak mampu menangani penyakit ini.”
“Oleh karena itu, aku merasa putus asa. Rasanya tidak mungkin aku bisa sembuh dari penyakit ini. Bahkan aku yakin betapa dekatnya kematiankku itu. Lalu aku tersadar dan mendapatkan suatu pencerahan. Aku ingin menyusun suatu tembang pujian dan sanjungan untuk mendekat-dekat kepada Nabi saw.”
“Aku berharap dengan pujian itu aku memperoleh berkah Nabi saw. sehingga aku sehat kembali. Kemudian aku menyusun tembang pujian ini dengan mengikuti kaidah Bahr Basith.”
“Setelah aku selesai menyusunnya, aku bermimpi. Di dalamnya aku bertemu Kanjeng Nabi saw. Beliau mendatangiku. Dengan tangannya yang mulia, beliau mengusap tanganku. Lalu sesuatu yang besar terjadi. Seketika itu aku merasakan tubuhku sehat kembali. Semuanya terasa normal. Aku sembuh dari penyakitku!”
Kiai Sholeh memberi keterangan bahwa hal ini menunjukkan bahwa Kanjeng Nabi saw. menerima dan rida dengan persembahan pujian dari al-Bushiri.
Oleh sebab itulah, Kiai Sholeh berusaha mengikuti jejak Al-Bushiri dengan menyusun terjemah atas Qasidah Burdah ini.
“Supaya hamba juga mendapatkan rida dan kasih sayang dari Nabi saw,” tutur Kiai Sholeh. Wallahu a’lam