Saya tidak tahu kapan persisnya orang Indonesia mulai datang ke Tanah Suci, tetapi sejak abad 17 Masehi sudah ada orang-orang Indonesia –tepatnya mungkin Nusantara, karena waktu itu belum ada Indonesia– yang berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menuntut ilmu.
Sejarah mencatat, ada Syekh Abdul Rauf as Sinkili dan Syekh Yusuf al Makasari yang berguru kepada dua ulama terkemuka di tanah haram yaitu Syekh Ahmad al Kusyasyi dan Syekh Ibrahim al Kurani.
Menurut catatan sejarah, Syekh Abdul Rauf as Sinkili sudah tiba di tanah suci tahun 1640 M dan belajar dengan banyak Syekh di sana, begitu juga halnya dengan Syekh Yusuf al Makasari yang datang beberapa tahun kemudian.
Pada abad ke-18 sejarah juga mencatat beberapa ulama Nusantara menunaikan ibadah haji dan belajar di Tanah Suci, yaitu Syekh Abdul Shomad al Falimbani, Syekh Muhammad Arsyad al Banjari, dan Syekh Daud al Pathani (beliau aslinya dari Palembang, ketika pulang dari Tanah Suci beliau memutuskan untuk menetap di Patani Thailand).
Pada abad 19 ada Syekh Nawawi al Bantani seorang ulama yang bergelar sayyid Ulama al Hijâz (tokoh ulama Hijaz) karena keilmuannya yang luar biasa dan makamnya sampai sekarang masih ada di pemakaman Ma’la Makkatul Mukarramah, kemudian ada Syekh Khatib al Minangkabawi guru dari ulama-ulama terkemuka di tanah air di antaranya KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari. Lalu ada orang Padang lagi yang terkenal, yaitu Syekh Yasin al Fadani, seorang ahli hadis terkemuka yang memiliki banyak murid dari Indonesia dan dari Arab dan masih banyak ulama-ulama lain seperti KH. Mahfud at Termasi, Syekh Abdul Rahman al Batawi dan ulama-ulama lainnya.
Mereka adalah ulama-ulama yang sangat mumpuni dan dihormati di Tanah Suci bahkan ada yang menjadi guru di Masjidil Haram ada juga yang menjadi mufti, bukti bahwa mereka sangat dihormati bahkan oleh orang Arab sekalipun.
Suatu saat dalam sebuah acara seminar di Doha, Qatar saya bertemu dengan seseorang. Melihat saya mengenakan peci hitam, dia menyapaku, “Assalamu,alaikum, Indonisii?” Kujawab, “na’am..”
Tidak butuh waktu lama, dia memperkenalkan diri bahwa beliau adalah murid dari Syekh Yasin al Fadani. Beliau pun bercerita betapa mumpuninya Syekh Yasin al Fadani dalam ilmu hadis.
Dalam kesempatan lain, teman saya yang pernah belajar di Madinah juga memiliki pengalaman yang sama, pernah tidak sengaja bertemu dengan orang Arab yang ternyata salah satu murid Syekh Yasin al Fadani. Teman saya ini langsung diajak makan ke sebuah restoran sebagai bentuk penghormatan terhadap orang Indonesia yang telah menjadi gurunya.
Abad 19 adalah puncak hubungan inteletual ulama Nusantara dengan ulama-ulama di Tanah Suci. Nama-nama belakang mereka menujukkan dari daerah mana mereka. Ada yang dari Sinkil Aceh, Makasar, Palembang, Banjar, Banten, Patani Thailand, Betawi dan Minangkabau. Sebagian mereka ada yang kembali ke tanah air ada juga yang memutuskan untuk menetap di Tanah Suci sampai meninggal dunia.
Lalu apa hubungannya mereka dengan generasi ‘Aiwa’ seperti judul di atas?
Aiwa di sini bukan merek elektronik dari Jepang. Aiwa adalah bahasa Arab ‘ammiyah yang memiliki arti “iya”.
Di Arab Saudi banyak sekali orang Indonesia yang lahir, besar di sana dan sebagian sudah menjadi warga negara Arab Saudi. Meski wajah mereka sangat Indonesia tetapi mereka tidak bisa berbahasa Indonesia kalaupun bisa tersendat-sendat. Ketika musim haji banyak di antara mereka yang direkrut menjadi petugas haji untuk membantu petugas haji dari Jakarta berkomunikasi dengan instansi terkait di Arab Saudi. Kenapa dipanggil “aiwa”?
Sebab, ketika dipanggil mereka menjawab “aiwa”. Kalau salah satu dari mereka saya panggil misalnya, “Ya Hasan, ta’al! (ya Hasan kesini!), maka dia akan jawab, “Aiwa”. Artinya “ya”. Nah! Kata inilah yang kemudian populer di kalagan petugas haji sebagai sebutan bagi mereka. Kalau di kalangan Arab sendiri mereka dikenal sebagai muwalad (orang non Arab yang lahir di Arab). Mereka adalah orang-orang yang leluhurnya sudah dari sekian ratus tahun yang lalu merantau ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji, menuntut ilmu dan memilih untuk menetap di tanah suci, mungkin saja salah satu leluhur mereka adalah ulama-ulama yang saya sebutkan tadi yang sudah tiba di tanah suci sejak 300 tahun lebih yang lalu.
Keturunan mereka bahkan ada yang belum pernah sama sekali ke tanah air, sehingga wajar jika bahasa Indonesianya tidak lancar. Saat ini tidak sedikit warga Arab Saudi keturunan Indonesia yang memiliki kedudukan dan peranan penting di Arab Saudi. Sebagai contoh, Menteri Haji dan Umrah Kerajaan Arab Saudi saat ini di jabat oleh seorang keturunan dari Banten beliau adalah Dr. Muhammad Sholeh Banten, penanggung jawab e hajj di Kementerian Haji dan Umroh masih keturunan suku Mandar Sulawesi, namanya Dr. Fareed Mandar. Di Muasasah Asia Tenggara, lembaga yang merupakan kepanjangan tangan kementerian Haji dan Umrah juga banyak warga Arab Saudi keturunan Indonesia, ketuanya beberapa kali bahkan dari Indonesia, seingat saya pernah ada yang dari Sedayu yaitu Syekh Zuhair bin Abdulhamid Sedayu, dari Indragiri yaitu Syekh Amin Indragiri dan pengurus-pengurus muasasah lainnya. Begitu juga dengan maktab-maktab yang berada di bawah muasasah, mayoritas ketua dan pengurusnya merupakan warga Arab Saudi keturunan Indonesia.
Generasi aiwa yang direkrut menjadi tenaga musiman operasional haji dan tenaga pendukung tim akomodasi, transportasi, dan konsumsi ini sedikit sedikit sudah mulai familiar dengan bahasa Indonesia, meskipun kadang-kadang kita harus menahan tawa karena logat dan penempatan kata yang kurang pas.
Pernah dalam suatu rapat, salah seorang dari generasi aiwa ini tunjuk tangan dan langsung bicara, “menurut pendapatan saya…” yang dimaksud tentu menurut pendapat saya, atau pernah suatu saat salah seorang dari teman generasi aiwa ini pamannya ada yang meninggal dunia, dia mengundang saya dan teman-teman untuk tahlilan, saat itu saya yang menjadi pembawa acara, sebelum acara tahlil dimulai saya tawarkan apakah dari pihak keluarga ada yang ingin memberikan sambutan, yang bersangkutan bingung sambutan itu apa, akhirnya setelah saya terjemahkan ke bahasa Arab dia paham.
Keberadaan mereka di PPIH Arab Saudi betul-betul dibutuhkan, selain persoalan bahasa Arab yang mereka sudah benar-benar kuasai, mereka adalah generasi yang lahir dan besar di sana yang kulturnya sudah benar-benar Arab, cara bicara, selera makan, gaya hidup sudah sangat Arab jadi ketika mereka berhadapan dengan instansi Arab Saudi langsung nyambung pendekatannya lebih mengena karena orang karena Arab sendiri lebih suka pendekatan personal dari pada pendekatan birokrasi, kalau mereka cocok dengan seseorang maka hal-hal yang sulit ditembus bisa menjadi mudah.
Pengalaman saya waktu bertugas di Madinah tahun 2015, di masa operasional gelombang kedua ada permasalahan akomodasi Madinah, saat itu jamaah dari Makkah sudah siap berangkat menuju Madinah, tapi sistem hotel di Madinah masih terkunci artinya jamaah haji tidak akan bisa berangkat ke Madinah karena belum ada kepastian hotel di Madinah, karena waktu sudah mepet, jam 3 dinihari saya memberanikan diri untuk menelpon wakil Menteri Haji wilayah Madinah (kalau di Indonesia setingkat pejabat eselon I) saya teringat waktu silaturrahim ke beliau menjelang kedatangan jamaah haji, beliau menyampaikan kepada saya “kapan saja anda butuh bantuan silahkan telpon saya, saya siap 24 jam”.
Kata-kata beliau saya pegang betul dan memang ketika saya telpon beliau lagsung merespon dan menginstruksikan ke jajarannya agar sistem segera dibuka dan jamaah pun bisa berangkat ke Madinah sesuai jadwal.
Meski kultur generasi aiwa ini sangat Arab tapi mereka yang sudah sering terlibat dengan PPIH Arab Saudi sudah bisa menyesuaikan dengan Bahasa dan budaya Indonesia, ketika mereka menyapa pimpinan dan orang yang lebih tua mereka sudah biasa memanggilnya dengan sebutan bapak, mas, ibu, mba. Ketika lewat di depan orang mereka membungkukkan badan dan senyum seperti umumnya orang Indonesia. Beda halnya dengan generasi aiwa yang baru bergabung dengan PPIH Arab Saudi terkadang memang menimbulkan sedikit masalah komunikasi dan budaya, misalnya dalam komunikasi mereka sudah terbiasa dengan suara keras, yang tidak paham mungkin dikira tidak sopan padahal bagi mereka biasa saja. Saya teringat ketika kuliah di Maroko, di lampu merah kalau ada orang bertanya alamat tinggal buka kaca mobil langsung teriak tanpa basa basi, bagi orang Indonesia pasti dikira tidak sopan. Begitulah ukuran prilaku sopan dan tidak kadang berbeda antara satu negara dengan lainnya.
Di Mesir orang minum air sambil berdiri sudah biasa baik laki-laki maupun perempuan, bagi orang Indonesia jangankan perempuan, bagi sebagian laki-lakipun masih risih minum air sambil berdiri.
Di negara-negara Arab, istri biasa memanggil suami dengan namanya langsung misal ya Abdallah…ya Mahmud, bagi orang Indonesia yang terbiasa memanggil suami dengan sebutan mas atau abang atau sebutan lainnya yang tidak menyebut nama langsung tentu panggilan tersebut terkesan kurang sopan. Karena perbedaan kultur inilah beberapa kali saya menemukan kasus di sektor layanan di mana tenaga musiman dari unsur muwalad salah paham dengan pimpinannya, misalnya ketika berbicara suaranya agak keras, pimpinannya tersinggung karena dianggap kurang sopan, padahal ya biasa saja.
Terlepas dari itu semua, menurut saya peran generasi aiwa ini baik mereka yang menjadi petugas haji atau yang bertugas di instansi Arab Saudi sangat signifikan. Merekalah yang bisa menembus birokrasi di Arab Saudi dengan pendekatan budaya, bahkan pernah ada Jemaah Haji Indonesia korban peristiwa Mina pada tahun 2015 yang sudah dirawat di rumah sakit Arab Saudi selama kurang lebih 7 bulan, keluarga yang bersangkutan meminta agar jamaah tersebut bisa dipulangkan, akan tetapi karena kondisinya belum memungkinkan, pihak rumah sakit Arab Saudi tidak mengizinkan. Sampai akhirnya ada seorang muwalad bernama Ni’mat Nur Matasief yang masih berdarah Palembang bekerja sebagai manager promosi pelayanan kesehatan rumah sakit Garda Nasional Kerajaan Arab Saudi, berkirim surat kepada para pengambil kebijakan di Kerajaan Arab Saudi, dalam surat tersebut dijelaskan bahwa kondisi Jemaah Haji Indonesia tersebut masih dalam keadaan koma dengan bantuan alat ventilator dengan kondisi yang seperti itu jamaah tersebut bisa dipulangkan dengan fasilitas medevac (Aeromedical Evacuation), yaitu dengan pesawat khusus yang sudah dilengkapi dengan fasilitas medis, singkatnya permohonan tersebut disetujui oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi dan Jamaah tersbut dipulangkan dengan fasilitas medevac gratis, padahal biaya pemulangan dengan fasiltas medevac ini 2 milyar rupiah lebih.
Kita bersyukur para muwalad masih cinta tanah air, mereka tunjukkan rasa kecintaan mereka kepada tanah air dengan membantu para jamaah haji asal Indonesia.