Berbicara tentang perempuan selalu menarik, dan tak ada habisnya. Dalam catatan sejarah perempuan zaman dahulu selalu diperlakukan tak lebih hanya sebagai pemuas nafsu.
Coba kita menengok sejarah kehidupan perempuan di Athena kuno yang menurut Syahid M.J. Bahonar (Jalaluddin, 2016) bahwa perempuan di Prancis dan Athena zaman kuno tempo dulu dianggap sebagai setan, hal ini dikarenakan perempuan tidak lebih sebagai perwujudan godaan setan sehingga sering kali menyesatkan dan membuat laki laki berdosa.
Sedangkan kehidupan perempuan di Arab sebelum Islam datang, bayi perempuan dikubur hidup-hidup, sekalipun diizinkan hidup, paling tidak dewasa nanti mereka hanya dijadikan sebagai pemuas nafsu belaka.
Adapun di India tempo dulu, perempuan dianggap sebagai sumber dosa dan sumber kerusakan akhlak (agama), bahkan selain memuaskan sang suami juga harus memuaskan ayah dari suaminya.
Aneh tapi nyata, penjelasan inilah yang setidaknya menjadi bukti bahwa tempo dulu, perempuan tidaklah bernilai di mata laki laki. Namun sekarang? cukup kenangan buruk itu menjadi catatan sejarah yang semoga tak terulang kembali.
Karena faktanya, perempuan pun berpotensi dan berpeluang untuk menjadi manusia modern yang mampu berdiri tegak dengan berbagai karya dan hasil olah dari kecerdasan intelektualnya. Persis dengan apa yang dilakukan oleh para kaum laki-laki yang setiap saat mendapatkan sorakan tepuk tangan dan perhatian dunia.
Beruntunglah, sebelum langkah kaki perempuan benar-benar terpatahkan dan disandera oleh pandangan laki laki zaman dulu yang menganggapnya sebagai sosok manusia yang tak bernilai, Islam datang dengan memberi penghormatan besar, mengangkat derajat kaum perempuan. Bahkan ketika seseorang menghadap kepada Baginda Rasulullah Saw., dan bertanya tentang siapakah yang lebih utama Ayah atau Ibu? Maka Rasulullah saw., menjawab “Ibumu, Ibumu, Ibumu, lalu ayahmu”
Tentu hadits di atas telah menggambarkan tentang betapa berharganya seorang perempuan itu, bahkan Aisyah ra., dari dulu sampai sekarang masih saja eksis dengan statusnya sebagai perempuan tercerdas pada masa Rasulullah Saw., maka tak heran jika Imam Zuhri mengatakan bahwa “Seandainya saja Aisyah dibandingkan dengan ilmu semua istri istri Nabi dan Ilmu semua wanita Niscaya Aisyah itu lebih unggul”
Berangkat dari sini tentu perempuan dan laki laki dari segi intelektual pun bisa dikatakan setara, hanya saja ada kondisi dimana perempuan memang tidak diwadahi untuk berbicara, dilarang untuk maju, atau bisa dikatakan dibungkam, sehingga mau tidak mau, mereka harus diam atau kedudukan mereka berada di zona yang tidak aman.
Dan ini masih terus berlanjut sampai pada era Raden Ajeng Kartini yang ketika dinikahkan oleh sang ayah dengan seorang bupati di usia mudanya, dikarenakan dalil para orang dulu sampai sekarang masih menganggap bahwa perempuan memang lebih tepatnya tinggal di rumah, urus anak, urus suami, titik.
Bagi penulis, pandangan tersebutlah tidak salah, sama sekali tidak. Toh, kodratnya seorang perempuan memang dari dulu ialah sebagai seorang perawat; merawat anak, suami, tinggal di rumah dan semacam itu.
Namun kekeliruan terbesar kita saat ini ialah ketika menganggap perempuan tak perlu menuntut ilmu tinggi-tinggi, tak perlu berbicara di depan umum dalam menyampaikan ini dan itu, tak perlu bermimpi untuk menjadi seorang pemimpin dan lainnya, karena perempuan hanya layak tinggal di rumah.
Menurut hemat penulis, pandangan ini jelas membatasi kebebasan perempuan dari segi intelektual. Padahal kalau kita ingin menengok lebih jauh lagi, sungguh betapa banyak perempuan-perempuan yang mampu melahirkan karya dan mengembangkan bakat yang mungkin saja menurut sebagian orang hanya mampu dilakukan oleh laki laki, termasuk menjadi seorang presiden yang mana negeri ini pernah dipimpin oleh seorang wanita.
Tidak hanya itu, dalam hal cipta karya pun kita tidak perlu menyembunyikan tentang kepiawaian seorang Bintu Syathi’ dalam menulis kitab Tafsir al Bayaniy li al Qur’an al-Karim dengan corak bahasanya, padahal dalam dunia tafsir sendiri jarang kita temui kitab kitab tafsir yang dirangkai oleh seorang perempuan.
Maka serasa wajib rasanya menaruh kekaguman pada Raden Kartini dan perempuan-perempuan tempo dulu yang sekuat tenaga membela kaum perempuan dimasanya agar tidak tertinggal dari segi pendidikan, dan melepaskan perempuan dari belenggu patriarki.
Masih membahas tentang perempuan, rupanya yang tak kalah menarik ialah perbincangan antara Najwa Shihab dan Agnes Mo dalam salah satu channel youtube beberapa waktu lalu yang mana mereka sempat membahas tentang perempuan. percakapan yang berdurasi ±50 menit itu paling tidak kembali menegaskan bahwa perempuan juga mampu unjuk diri dan berkarya, sepertihalnya yang dilakukan laki-laki.
Dan salah satu pernyataan yang cukup cerdik dari seorang Agnes Mo dalam channel tersebut ialah ketika ia membahas tentang pertanyaan orang-orang sekitar bahwa kapan dirinya menikah, kenapa masih mengejar karier terus? Dari sini Agnes beranggapan bahwa pandangan seperti ini seolah menghakimi bahwa perempuan yang tujuan hidupnya hanya untuk menikah.
Padahal bagi Agnes, value (nilai) dari seorang perempuan adalah value dari perempuan itu sendiri. Dan value perempuan itu tidak depend on who you’re marrying. Sedangkan dalam pandangan seorang Najwa Shihab, si sosok perempuan hebat yang sudah dikenal di seluruh penjuru negeri ini tentang kepiawaiannya dalam berbicara terlebih jika itu membahas tentang politik paling tidak mengatakan bahwa
“Anak anak perempuan zaman sekarang sudah banyak yang merendahkan dirinya sendiri dengan beranggapan bahwa kita tidak cukup kuat”
Tidak cukup kuat disini dalam artian mereka menyadari bahwa perempuan itu memang kodratnya seperti itu, kodratnya cuman tinggal di rumah dan lainnya, padahal menurut Najwa Shihab kodrat seorang perempuan hanya ada empat yakni “menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui, selebihnya bisa kita lakukan”
Selain itu, Najwa Shihab memaparkan bahwa terdapat penelitian yang menunjukkan “sukses berkolerasi positif untuk laki laki namun kerap membawa konsekuensi negatif bagi perempuan”.
Dalam channel youtube lainnya, Najwa Shihab mengutarakan bahwa ketika perempuan berharap tinggi akan sebuah impian masih saja terus dianggap sangat ambisius dalam artian hal negatif dan bertentangan dengan tradisi, menjadi wanita pekerja dianggap ego atau memikirkan diri sendiri, bahkan ketika seorang wanita berani unjuk diri seringkali dihindari, dan tentu anggapan inilah yang selalu saja menganggap bahwa perempuan seolah tidak patut dan tidak layak untuk berhasil.
Maka sepatutnyalah pandangan ini harus dihapuskan dan ditiadakan, sebagaimana ketika dalam salah satu acara televisi yang ketika Deny Cagur (komedian) mengajukan sebuah pertanyaan kepada Najwa Shihab tentang pilih mana? Jadi jurnalis atau ibu rumah tangga?
Maka dengan tegas Najwa menjawab: “Kenapa sih perempuan harus disuruh memilih? Bukankah kita bisa mendapatkan keduanya? Pertanyaan itu sejak awal sudah menempatkan posisi perempuan seolah-olah tidak berdaya”.