Di tengah-tengah kesibukan saya mengerjakan tugas akhir kuliah yang dirasa mulai menjemukan, saya berbahagia sekali ketika salah satu kawan mengajak saya untuk menonton lomba pementasan teater yang diadakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Alfatihah Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-guluk Sumenep Madura, di auditorium As-Syarqawi pada tanggal 05 Maret kemarin. Saya bahagia bukan karena saya adalah orang yang begitu suka menonton pementasan teater. Bahkan sebenarnya, pada pementasan teater saya agak merasa ngeri dan kurang tertarik. Saya bahagia karena merasa punya alasan untuk seharian meninggalkan komputer dan duduk santai sambil mengamati pertunjukan di depan panggung.
Kekurang tertarikan saya pada kesenian teater barangkali memang kurang objektif, sebab sebelum mengenal teater secara dekat saya sudah banyak mendengar anggapan-anggapan miring beberapa orang akan kesenian teater itu. Banyak saya mendengar beberapa kawan mengatakan bahwa teater adalah kegilaan seni yang melampau batas, mereka juga terkadang mengatakan bahwa teater adalah alat yang digunakan oleh orang-orang anti moral untuk melindungi dirinya dari kecaman sosial, bahkan saya juga pernah mendengar bahwa orang-orang yang bergelut dalam dunia teater adalah orang yang sebenarnya hanya ingin hidup semaunya sendiri dan berlindung pada kata teater supaya tindakan apapun yang ia lakukan mendapat pemakluman.
Mendengar asumsi yang demikian, saya kemudian mulai ingin menyelidiki kebenarannya. Jika ada waktu kosong dan ruang ICT di kampus tidak sedang penuh pengunjung, saya mencoba menjelejahi youtube dan menonton berbagai pertunjukan teater yang dipentaskan oleh komunitas teater-teater berkualitas. Pertunjukan yang saya tonton kemudian semakin menguatkan asumsi-asumsi miring yang telah saya dengar sebelumnya. Pertunjukan teater dengan pemeran yang telanjang bulat, pertunjukan teater dengan adegan laki-laki dan perempuan sedang bergulat, pertunjukan teater yang pemerannya memerankan adegan homoseksual dan adegan-adegan ‘mengerikan’ lainnya, bagi saya waktu itu adalah bukti nyata kebenaran anggapan kawan yang mengatakan bahwa teater adalah kegilaan seni yang melampaui batas.
Anggapan miring tentang teater kemudian semakin kuat dalam benak saya ketika pada suatu waktu seorang kawan yang sejak semester awal sudah aktif di UKM Teater mengajak saya berkunjung pada salah satu markas teater yang ada di kota. Di sana saya semakin merasa ngeri ketika melihat orang-orang yang tinggal di markas tersebut berpenampilan—yang berdasar pada perspektif saya—jauh dari kata rapi dan terkesan sebagai ‘pemberontak’. Artinya, pada waktu itu saya sepakat bahwa orang yang bergelut dalam dunia teater adalah orang yang anti moral dan berlindung dibalik kata seni dari kecaman orang.
MolangAre Teater Alfatihah dan Makna Teater yang Sebenarnya
Serangkaian kegiatan yang diselenggarakan oleh pengurus UKM Teater Alfatihah, mulai dari pembukaan, lomba pementasan teater hingga penutupan bagi saya adalah kegiatan yang perannya cukup besar dalam memperbaiki citra teater yang sejak dulu agak tercemar dalam pandangan kalangan tertentu. Bagi saya sendiri yang sebelumnya turut memandang teater sebagai bagian dari kesenian yang agak ‘menyimpang’, mulai memiliki pemahaman lain terhadap teater.
Jika ketika menonton pertunjukan di youtube saya menemukan adegan pementasan teater yang ‘melampaui batas’, maka saya tidak menemukan adegan-adegan yang sama terjadi dalam pementasan teater yang berkembang di Pondok Pesantren. Jika dulu saya menjumpai orang-orang teater berpenampilan ‘sembrono’ di salah satu markas teater di kota maka saya tidak menemukan penampilan yang demikian pada orang-orang yang bergelut dalam dunia teater di kalangan pesantren. Justru berkebalikan dari itu semua, pertunjukan yang dipentaskan oleh teater yang berkembang di pondok pesantren pada acara lomba pementasan teater pada acara molang are tersebut, merupakan pertunjukan yang sarat akan pesan moral.
Saya mengatakan sarat akan pesan moral karena setiap kali kelompok teater selesai menuntaskan pementasannya, ada hal yang diam-diam menyusup ke dalam dada dan saya sadari, rasakan dan akui kebenarannya. Pada saat kelompok teater nomor undi pertama selesai dengan pementasannya misalnya, saya dapat merasakan kembali bahwa sebenarnya selemah dan sehebat apapun manusia, masih ada Yang lebih berkuasa di atas segalanya. Pun dengan kelompok teater yang lainnya, selalu ada pesan moral yang jelas dan tegas dalam setiap adegan yang diperankan.
Pementasan yang mereka (teater pesantren) lakukan tidaklah sekedar pementasan. Pementasan yang dilakukan oleh teater pesantren merupakan media untuk menyampaikan sebuah pesan moral, untuk menunjukan kritikan secara sopan, untuk menjadi kontrol sosial yang luwes dan merupakan media untuk mengekspresikan rasa kemanusiaan berdasarkan fitrahnya yang tentunya pementasan yang diselenggarakan tidak (akan) pernah menyimpang dari ajaran syari’at Islam namun juga tidak mengabaikan sisi ekstetika yang menjadi daya tarik sebuah pementasan.
Teater pesantren bagi saya adalah pengejewantahan dari wajah teater yang sebenarnya. Sebab sebagai sebuah kesenian, teater yang mestinya tampil dengan wajah yang indah dan beretika, hanya dapat saya temukan dalam pertunjukan pentas teater di pesantren. Berbeda dengan teater luar pesantren yang hanya mementingkan ekstetika semata, teater yang berkembang di pesantren menjadikan etika sebagai pertimbangan utama dalam pementasan.
Tema yang diangkat oleh teman-teman UKM Teater Alfatihah dalam perayaan MolangAre kali ini pun, yaitu “Teater Pesantren; Mempertemukan yang Sakral dan yang Profan” bagi saya turut semakin memperjelas bahwa teater pesantren merupakan teater yang beretika dan senantiasa menjalankan perannya sebagai bagian dari seni yang berusaha menghubungkan pelaku seni dengan Sumber Kesenian yang tiada tandingnya. Salam!