Salah satu sisi kehidupan Gus Dur yang menjadi perdebatan adalah cara pandangnya terhadap posisi perempuan. Seorang feminis perempuan pernah mengkritik Gus Dur karena guyonan yang seksis soal selebritis Barat. Guyonan Gus Dur selalu bernas namun urusan ini Gus Dur dianggap salah. Gus Dur adalah panutan dan karenanya mesti menjaga lisan.
Beberapa pengikutnya malah fokus pada toleransi saja—seolah-olah Gus Dur hanya memperjuangkan satu isu ini. Mereka mengabaikan sikap Gus Dur di wilayah publik dan domestik. Ketidakterusterangan Gus Dur atas soal ini bahkan terkadang disimplifikasi oleh sebagian kalangan bahwa Gus Dur tidak peduli kepada perempuan sementara sikap dan kebijakan Gus Dur membuktikan sebaliknya.
Salah satu kebijakan Gus Dur sepanjang menjadi presiden selama 2 (dua) tahun adalah Instruksi Presiden No 9 Tahun 2000 tentang PUG (Pengarusutamaan Gender). Kebijakan yang terbit pada Desember 2000 ini, dengan Khofifah Indar-Pawaransa sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan, memberikan instruksi kepada menteri, kepala lembaga pemerintahan non-departemen, pimpinan kesekretariatan lembaga tinggi negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, gubernur, dan bupati/walikota untuk melakukan penyusunan program dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dengan mempertimbangkan permasalahan kebutuhan aspirasi perempuan pada pembangunan nasional dalam bentuk kebijakan, program, dan kegiatan. Strategi ini dapat dilaksanakan melalui sebuah proses yang memasukkan analisa gender ke dalam program kerja, pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan kepentingan laki-laki dan perempuan ke dalam proses pembangunan.
Kebijakan dan penerimaan PUG ini sering dibicarakan para pegiat toleransi dan pluralisme sebagai keberhasilan gerakan perempuan. Dalam hal ini gerakan perempuan Indonesia dinilai sudah menuju pusat mengingat ia sudah diakui negara bahkan diimplementasikan ke seluruh kementerian dan lembaga negara. Hal ini berbeda dengan gerakan toleransi dan/atau pluralisme yang masih berada di pinggiran. Dalam hal ini beberapa kalangan yang memiliki pengaruh dan/atau pengambil kebijakan masih senang mencari aman dalam urusan keagamaan.
Politisi tidak jarang memiliki opini yang memihak mayoritas ketika minoritas dalam posisi tertindas karena mempertimbangkan perasaan konstituennya. Kebijakan yang diterbitkan oleh beberapa pemerintah lokal justru mendukung dan/atau melegitimasi diskriminasi minoritas padahal baik mereka yang minoritas maupun yang mayoritas merupakan warga masyarakatnya sendiri. Di tataran nasional isu kebebasan beragama dan berkeyakinan kalah pamor dengan isu ekonomi—seolah-olah kita tidak bermasalah dengan konflik keagamaan padahal negara kita berada di jajaran puncak penduduk yang paling agamis di dunia sebagaimana riset Pew Research Center tahun 2020. Pada titik ini isu keagamaan benar-benar merupakan isu pinggiran.
PUG ini merupakan wujud nyata Gus Dur akan komitmennya kepada persoalan ketimpangan relasi gender di negeri ini. Hal ini dapat disebut komitmen mengingat Gus Dur bukan tipikal politikus yang mencari muka untuk menangguk dukungan atau popularitas. Selepas Gus Dur menjadi presiden, Gus Dur juga menunjukkan komitmennya dengan menolak RUU (Rancangan Undang-Undang) Pornografi dan Pornoaksi yang juga ditentang kalangan aktifis perempuan. Komitmen semacam ini tentu juga ditunjukkan Gus Dur dalam persoalan toleransi sebelum, semasa, dan sesudah menjadi presiden. Komitmen ini merupakan komitmen yang digeluti Gus Dur sejak lama bersama dengan para tokoh besar pada masanya seperti Ibu Gedong Bagoes Oka, Romo YB Mangunwijaya, dan TH. Sumarthana.
Cara lain melihat komitmen Gus Dur melihat sikap Gus Dur kepada perempuan di sekitarnya. Dalam beberapa kali kesempatan putri Gus Dur menceritakan pesan Gus Dur untuk ibunya, Ibu Shinta Nuriyah, agar tidak boleh marah kepadanya. Alasannya, Ibu adalah yang menemani perjuangan Bapak dengan sabar yang luar biasa. Pada titik ini kita dapat melihat cara pandang kepada istrinya, yakni sebagai mitra yang sejajar dan bukan sebagai pelengkap atau orang belakang. Komitmen Ibu Shinta terhadap gerakan perempuan pun patut diacungi jempol. Ibu Shinta pernah mengajukan dekostruksi pemahaman atas kitab Uqud al-Lujayn yang terasa berat sebelah bagi istri atas suami dan mendirikan Puan Amal Hayati sebagai orgaisasi yang focus pada pembelaan isu perempuan. Melalui Puan ini pula beberapa WCC (Woman Crisis Center) dibangun di beberapa pesantren sebagai tempat sementara bagi mereka yang mengalami KDRT.
Gus Dur dapat melakukan hal yang lain kepada perempuan di sekitarnya. Jika Gus Dur memilih menomorduakan perempuan, khususnya keluarganya, hal ini lazim belaka karena sikap senada oleh beberapa kalangan yang memiliki latar belakang serupa. Peran perempuan di belakang hingga saat ini bahkan masih “diterima” sebagai praktek meskipun banyak kalangan juga yang mengkritiknya.
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa Gus Dur memperjuangkan toleransi dalam lingkup yang luas. Gus Dur tidak hanya memperjuangkan toleransi agar sesama pemeluk agama rukun dan gembira, kelompok penghayat dan minoritas lainnya dapat beribadah dengan tenang, kawan-kawan Tionghoa dapat merayakan Imlek, dan hal sejenis lainnya. Gus Dur juga menghormati perjuangan perempuan melawan ketidakadilan dan diskriminasi, bahkan ikut memperjuangkannya melalui kebijakan di masa pemerintahannya. Sebagai pengikut Gus Dur, kita seharusnya turut serta di dalamnya. Gus Dur sudah menelandankan. Saatnya kita melanjutkan. Wallahu A’lam.
*) Artikel ini adalah hasil kerja sama alif.id dan Jaringan GUSDURian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama.