Sedang Membaca
Lemahnya Penguasaan Bahasa Arab di Perguruan Tinggi Islam
Avatar
Penulis Kolom

Shulhan, M.Pd, Dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Aqidah Usymuni. murid KH. Hafidhi Syarbini dan KH. Abdurrahman Alkayis, Ph.D, inisiator gerakan Thariqah akademik, dosen, aktivis advokasi pelajar misikin dan motivator. Saat ini sebagai Executive BAZNAS dan sebagai Kordinator Wilayah Indonesia Timur Ikatan Alumni Beasiswa BAZNAS.

Lemahnya Penguasaan Bahasa Arab di Perguruan Tinggi Islam

Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) merupakan institusi pendidikan tinggi yang dikelola atau di bawah pengawasan Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia. Kampus ini dimaksudkan untuk menjadi pusat studi ilmu-ilmu agama Islam dan Keislaman secara komprehensif. Semua keilmuan yang dikembangkan di kampus yang berada di bawah naungan Kemenag dimaksudkan untuk mengembangkan peradaban Islam di Indonesia dan dunia.

Ilmu keislaman yang dipelajari di PTKI utamanya bidang keilmuan sosial-humaniora berhubungan langsung dengan Islam sebagai ilmu dan agama. Konsekuensinya adalah setiap mahasiswa idealnya mampu mengkaji keilmuannya dengan mengakses primary resource yang berbahasa Arab. Kemampuan berbahasa Arab yang baik paling tidak skill untuk membaca buku-buku (klasik ataupun modern) menjadi bagian kompetensi yang tidak terpisahkan dari aktivitas akademik mahasiswa di perguruan tinggi Islam.

Tanpa penguasaan membaca kitab kuning yang baik, mahasiswa hanya mampu mendalami jurusan yang diambil melalui secondery resources. Mereka hanya mempelajari agama melalui pemikiran dan interpretasi yang dikembangkan oleh pemikir dan ilmuwan Indonensia atau melalui buku terjemahan. Mereka tidak bisa memahami Alquran dan hadis serta pemikiran ulama Timur Tengah langsung menggunakan recognised methods yang digunakan kalangan ilmuan muslim klasik seperti kiai dan santri. 

Jika ini terjadi, mahasiswa hanya mengusai metodologi ilmiah tapi belum menguasai substansi keilmuan secara mendalam. Kongkritnya mahasiswa yang mengambil bidang studi Pendidikan Agama Islam misalnya hanya pandai pedagogi dan strategi pembelajaran tetapi lemah penguasaan agama Islam sebagai core knowledge-nya. Demikian juga mahasiswa yang mengambil jurusan Ekonomi, Islam, Filsafat Islam misalnya, dari segi metodologi mereka menguasai tetapi substansi keilmuannya masih belum mumpuni selain hanya mendalami melalui teks-teks pinggiran. 

Baca juga:  Tenaga dari yang Tiada: Hidup Mati Denmark-Inggris

Lemah Kompetensi Berbahsa Arab

Kelamahan berbahasa Arab mahasiswa PTKI ini diakui oleh mantan rektor UIN Malang, “Kelemahan para mahasiswa perguruan tinggi Islam di antaranya adalah keterbatasanya dalam penguasaan bahasa Arab, ternyata hingga sekarang masih belum bisa diselesaikan”. (Suprayogo, 2015).

Tidak terbantahkan lagi, mahasiswa di perguruan tinggi agama banyak yang tidak bisa berbahasa arab padahal mereka mendalami ilmu yang berhubungan erat dengan bahasa arab. Mereka dikondisikan untuk menjadi sarjana bidang keislaman. Setelah lulus, otoritas sebagai moslem scholar melekat pada diri mereka. 

Apa pun bidang yang mereka tekuni, seperti sosiologi Islam, antropologi Islam, hukum Islam, Pendidikan Agama Islam atau bidang lain yang berlabel Islam, mereka harus menyadari bahwa minimal dua hal yang harus mereka kuasai.

Pertama, minat keilmuan seperti sosiologi, komunikasi, dan psikologi. Mahasiswa agar mampu bertransformasi menjadi masyarakat akademik yang baik sangat direkomendasikan untuk menguasai bahasa Inggris. Kedua, Islam sebagai ilmu pengetahuan. Dalam kondisi ini, mahasiswa dituntut untuk menguasai bahasa Arab untuk bisa mengkaji Islam langsung kepada literatur utama.

Sarjana muslim yang membidangi kajian sosial-humaniora Islam secara konstitusional mendapatkan otoritas keilmuan semenjak dikukuhkan sebagai sarjana dari kampusnya. Otomatis dirinya akan menjadi rujukan atau tempat bertanya bagi orang awam. Masyarakat umum tidak peduli jurusan apa study background-nya. Semua alumni PTKI dipandang mahir dan kompeten dalam kajian Islam. Padahal tidak sedikit dari mereka pengusaan wawasan Islam dan keislamannya sangat dangkal atau bahkan cenderung tidak menguasai.

Baca juga:  Memungut Pelajaran dari Iblis

Masa depan Studi Islam

Dewasa ini dosen-dosen pengembang Islamic Studies di PTKI selain alumni dalam negeri juga alumni Timur Tengah dan Barat. Dibukanya beasiswa Magister dan Doktor di nagara-negara Eropa, Amerika dan Australia dengan persyaratan tersulit hanya bahasa Inggris, lulusan S-1 dari tanah air tanpa diskriminasi bisa mengambil kesempatan emas ini. Dosen studi Islam lulusan Barat memiliki keunggulan dalam bidang riset dan publikasi ilmiah tetapi tidak sedikit yang tidak bisa bahasa Arab meskipaun gelar sarjananya S.Ag (Sarjana Agama). Jika ada dosen lulusan Barat mampu berbahasa Arab, adalah bukan dihasilkan oleh sistem pendidikan tinggi tetapi kerena usaha mandiri seperti mondok sambil kuliah.

Mereka berhasil melakukan riset dengan baik dan mampu mempublikasikan hasil penelitiannya di berbagai jurnal internasional. Jika kemampuan ini diimbangi dengan kemampuan bahasa Arab yang baik, maka dosen-dosen tersebut bisa menghasilkan generasi yang lengkap “sayap kanan” (wawasan Islam dan keislamannya) mendalam dan “sayap kiri” (academic culture, keterampilan riset dan publikasi ilmiah) berkembang. Apabila ini terwujud wajah studi Islam semakin indah. 

Di sisi lain, kemampuan dosen lulusan Timur Tengah dalam menguasai kitab klasik tidak diragukan lagi. Hafalan Alquran, hadis, dan literatur berbahasa Arab sangat baik, karena di awal menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan beasiswa. Catatannya, mereka biasanya kurang mampu melakukan riset dan menulis ilmiah, baik dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia. Kemampuan mereka cenderung seperti santri zaman dulu, yaitu menyampaikan gagasan hanya lisan. Panggung ceramah dan khutbah merupakan ruang aktualisasi yang sangat mereka minati. Dampaknya ke depan, mereka sulit menjadi guru besar, karena jarang menulis.

Baca juga:  Kisah Al-Farra' Menjawab Persoalan Fikih dengan Ilmu Bahasa

Selain itu, mereka sering kali gagal menempatkan Islam sebagai ilmu dan sebagai agama. Sebagai ilmu, Islam bisa diteliti dari beberbagai sisi secara terbuka sesuai prosedur penelitian yang berlaku. Dalam konteks ini, subjektivitas dan emosionalitas sebagai pemeluk agama harus “dikesampingkan”. Berbicara penelitian, data adalah kunci utamanya. Kebenaran data tidak berlaku absolut tetapi hanya bisa dibantah dengan data terbaru bukan dengan doktrin atau keyakinan. Di sini sering kali umat Islam kurang mampu menentukan sikap dan terbawa emosi ketika menghadapi hal-hal yang tidak sesuai kayakinannya.

Islam sebagai sebagai agama kita sepakati sebagai hal yang final. Basisnya adalah keyakinan yang bersifat privat dan aktualisasinya adalah pengalaman yang paripurna dengan berbagai seni berkeislaman yang berkembang. Allah sebagai Tuhan yang Esa, Muhammad saw sebagai utusan terakhir merupakan konsep dasar Islam diyakini bersama oleh umat muslim. Seni berislam senantiasa berkembang dan kita harus mampu memahami sebagai dinamika sehingga jika terdapat sedikit perbedaan tidak serta merta menghakimi dan menyalahkan.

Jika kekurangan kebanyakan dosen lulusan Timur Tengah ini dilengkapi dengan kamampuan riset, menulis dan kultur akademik, kualitas PTKI akan semakin baik. Mereka dapat mengembangkan Islamic studies dengan terbuka sebagai ilmu dan mampu mendidik mahasiswa dengan ilmu, wawasan dan keterampilan sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top