Piala eropa 2020 baru saja berakhir. Para pecinta sepak bola seluruh dunia telah usai disajikan uforia berbagai pertandingan para bintang lapangan yang mendebarkan. Puncaknya, Inggris yang mendaku diri sebagai rumah sepak bola, mesti tumbang di kandang sendiri di Final lawan Italia lewat adu penalti, dan harus menerima kenyataan pahit itu: it’s coming to Rome.
Sementara itu, di belahan dunia lain, sepak bola juga sedang menyelenggarakan hajat akbar yang tak kalah bergengsinya. Di benua yang bahkan menjadikan legenda sepak bola menjadi inspirasi untuk membuat agama itu, kejuaraan copa Amerika 2021 kembali diselenggarakan, dan berhasil dijuarai oleh Argentina setelah mengalahkan negara digdaya sepak bola lainya, Brazil, dengan skor tipis 1-0.
Dunia ikut senang dan berpesta bersama para juara. Sedang tak sedikit juga yang ikut sedih bersama mereka yang tumbang. Yang bahagia haru tidak hanya publik Argentina, tapi juga para pemuja Messi seluruh dunia. Yang bangga tidak hanya warga Italia, tapi mungkin juga fans Serie A. Sepak bola melewati batas-batas nasionalisme dan teritorial negara-negara. Sepak bola menjadi pemersatu yang mewadahi kita semua dalam uforia yang sama, di tengah perasaan was-was akan pandemi yang tak kunjung reda.
Hal itu semakin membuktikan, sepak bola tidak hanya tentang pertandingan sembilan puluh menit di lapangan. Ia juga bisa menjelma sebagai lahan bisnis, oase hiburan, kampanye isu-isu kemanusiaan, politik, patriotisme, pameran teknologi, perang komentar di media, dan sebagainya. Sepak bola juga sangat berhubungan dengan agama yang sangat krusial bagi hidup manusia.
Sepak bola menjelma sebagai ruang religi manusia. Ia bisa menjadi semacam locus theologicus, titik pertemuan antara manusia dan Tuhannya (Iswandi Syahputra, 2016). Wadah bagi para insan yang berkecimpung dalam industri ini, untuk mengekspresikan kepercayaan mereka pada agama. Setidaknya ada beberapa aspek yang saya catat, yang menunjukkan bagaimana sepak bola sangat terkait dengan spiritualitas manusia:
- Menjadi ekspresi kepercayaan para pemainya
Para pemain sepak bola, sebagaimana manusia lainya, memiliki identitas dan pilihan-pilihan kepercayaan. Sepak bola memberi ruang pada mereka untuk mengekspresikan kepercayaan religi itu, di dalam dan luar lapangan. Para pemain melakukan ritual-ritual khas keagamaan tertentu dan bersikap sesuai dengan ajaran agama mereka masing-masing dalam berbagai momentum sepak bola.
Fans Liverpool FC sangat akrab dengan selebrasi sujud Mo Salah saat mencetak gol. Salah dan pemain muslim lainya seperti Mesut Ozil, tetap menjalankan puasa di bulan Ramadhan walau harus bertanding. Ozil tidak pernah malu menampakkan dirinya yang berdoa dan membaca ayat Al-Qur’an sebelum bertanding. “Saya adalah seseorang yang selalu bersyukur, seseorang yang tidak hanya berharap yang terbaik untuk diri sendiri tapi juga untuk orang-orang. Ini (berdoa) menjadi bagian sangat penting dalam hidup saya”, kata Ozil.
Sementara itu, sang legenda hidup sepak bola, Lionel Messi membuat tanda salib sebelum bertanding. Mantan bintang AC Milan dan Real Madrid, Kaka, sering berbicara mengenai agama, berdoa di lapangan, dan bersyukur kepada Tuhan atas kesembuhan yang cepat dari cedera punggungnya. Para pemain Brazil setiap bikin gol, selalu berterima kasih pada Tuhan. Setelah kemenangan pada final Piala Dunia 2002, semua anggota tim berdoa, berlutut bersama. Sebagian pemain mencopot kaus dengan tulisan “Saya milik Yesus” (Carmen Rial, 2014).
Ekspresi keagamaan itu juga terlihat di luar lapangan. Misalnya, beberapa pemain menolak sponsor bagi klub maupun penyelenggara yang tidak sesuai dengan aturan agamanya. Di tahun 2013, Papiss Cisse dan Demba Ba, dua pemain muslim di Newcastle United keberatan dengan pemasangan logo sponsor perusahaan peminjaman uang Wonga di jersey yang dikenakannya, karena dianggap mempraktikkan bunga yang tinggi, yang dinilai sebagai riba, praktik yang dilarang dalam Islam.
Federick Kanoute, pemain muslim Sevilla, menolak mengenakan jersey klubnya yang menampilkan sponsor perusahaan judi888.com. Yang baru hangat, Pogba sang bintang Prancis yang juga seorang muslim, menyingkirkan botol bir Heineken yang berada di atas meja saat memulai konferensi pers, selepas terpilih menjadi star of the match/pemain terbaik di salah satu laga Piala Eropa 2020.
- Menjadi sarana berkurangnya kebencian dan lebih menambah antusiasme pada agama
Di benua Eropa sebagai tempatnya ajang-ajang bergengsi klub sepak bola, muncul fenomena Islamphobia. Banyak orang yang takut pada Islam akibat ulah para ekstrimis dan teroris yang mengatasnamakan agama. Konsekuensinya, rasisme dan diskriminasi pada muslim meningkat di sana. Berdasar salah satu penelitian, pemain sepak bola punya peran penting dalam menekan laju angka diskriminasi itu.
Dialah Mohammed Salah, bintang Liverpool FC asal Mesir yang merupakan seorang muslim. Ia dianggap sebagai pesohor yang mengurangi prasangka buruk pada komunitasnya, para muslim di wilayah tempat klubnya bermarkas. Berdasarkan penelitian yang bertajuk Can Exposure to Celebrities Reduce Prejudice? The Effect of Mohamed Salah on Islamophobic Behaviors and Attitudes (2019), ditemukan bahwa kejahatan rasial di Marseyside, country di Inggris yang meliputi kota Liverpool, menurun 16 %, serta postingan tweet anti-muslim oleh para penggemar Liverpool FC lebih rendah dari klub-klub lainya, yang diperkirakan efek dari bersinarnya Mo Salah yang dikenal sebagai muslim di klub tersebut.
Tidak hanya sebatas itu, Mo Salah bahkan membuat efek ketertarikan pada Islam bagi publik Inggris secara umum. Misalnya dilihat dari video yang sempat viral, dimana sejumlah Liverpudlians—julukan terhadap pendukung Liverpool—membuat yel-yel yang mengadaptasi lagu Good enough karya band Dodgy dari tahun 1996, yang memuja Mo Salah. Liriknya berbunyi If he’s good enough for you/ he’s good enough for me/ If he scores another few then I’ll be Muslim too/ sitting in a mosque that’s were I wanna be/ (Jika dia cukup baik untukmu/ dia cukup baik untukku/ Jika dia menciptakan gol-gol baru, aku pun akan menjadi Muslim/ Duduk di mesjid, di situlah kuingin berada). Secara jelas, ada lirik I’ll be Muslim too di sana.
Pengaruh Mo Salah tidak hanya sebatas pada supporter klubnya saja. Kesenangan juga turut dirasakan Rawlins, fans West Bromwich yang merupakan seorang muslim. Di klub kesayanganya, ada pemain muslim juga, Ahmed Hegazi dan Ali Gabr. Hegazi mendapatkan antusiasme yang sama pula dengan Salah. Rawlins di tempat kerjanya, seringkali mendapatkan pertanyaan-pertanyaan antusias dari teman-temanya mengenai Islam. Ia pun dengan senang hati melayaninya.
- Sebagai sarana solidaritas isu kemanusiaan
Diawali oleh selebrasi gol Frederic Kanoute (Sevilla) pada tahun 2009 lalu, kini ada lebih banyak bintang sepak bola muslim yang menyuarakan dukungan pada Palestina, saat Israel kembali meneyerang para jamaah yang sedang beribadah di Masjid Al-Aqsa pada akhir bulan Ramadhan lalu. Tercatat nama-nama besar dalam sepak bola seperti Mohammed Salah dan Sadio Mane (Liverpool FC), Ryad Mahrez (Manchester City), Franck Ribery (Fiorentina), Mohamed El Neny (Arsenal), Achraf Hakimi (Inter Milan), dan lainya, menyuarakan dukungan pada Palestina lewat media sosial.
Dukungan juga diekspresikan dalam bentuk pengibaran bendera Palestina. Pada final Piala FA di Wembley, setelah Leicester City mengunci gelar juara atas Chelsea, dua pemain muslim Leicester City, Wesley Fofana dan Hamza Choudhury, mengibarkan bendera Palestina. Begitupula yang dilakukan duo muslim di Manchester United, Paul Pogba dan Amad Diallo, selepas pertandingan kandang pamungkas klub mereka di Liga Inggris musim 2020/2021. Meski isu Palestina dalam laga sepak bola tidak semasif kampanye-kampanye seperti Black Lives Matter, namun dukungan dari pemain sepak bola itu sangat berpengaruh bagi pecinta sepak bola seluruh dunia dalam melihat isu ini.
- Klub sepak bola menjadi manifestasi misi agama
Pada tahun 1980 di Korea Selatan, berdiri klub sepak bola profesional pertama di sana yang para pemain dan pelatihnya, beragama Kristen -entah itu protestan maupun katholik- bernama Hallelujah FC. Klub itu tercatat menjadi pemenang K-League 1 (kasta tertinggi kompetisi sepak bola di Korea Selatan) untuk pertama kalinya pada tahun 1983. Walau akhirnya bubar pada tahun 1998 M. karena krisis ekonomi, Hallelujah FC melukis warna tersendiri dalam sepak bola.
Mereka anti tesis dari klub-klub lain yang selalu mengejar kemenangan dan menjadikan diving misalnya, sebagai salah satu trik yang dihalalkan untuk mengejarnya. Klub ini ingin menebar kasih pada tim lawan dan penonton. Bila menang, mereka tak mau angkuh. Setiap gol pasti memiliki selebrasi puitis: doa dan hening sejenak, dan sepak bola pun menjadi bergelimang doa. Mereka selalu ingat lambang tim yang berupa burung rajawali berkalung salib mencengkeram bola (Bandung Mawardi, 2018). “Sekeras apa pun lawan mengganjal atau wasit berat sebelah, biarlah Tuhan mengampuni mereka”. kata pelatih Hallelujah FC.
Sementara itu di Glasgow, Scotlandia, terdapat dua klub legenda yang penuh rivalitas bersejarah: Glasgow Celtic dan Rangers. Salah satu penyebabnya, masing-masing klub dilatarbelakangi dua kepercayaan yang berbeda. Rangers didirikan pada 1872 oleh sekelompok pemuda Protestan asal Gareloch, sedangkan Celtic didirikan 16 tahun sesudahnya oleh Bruder Walfrid, biarawan yang mencoba mengumpulkan donasi untuk komunitas Katholik miskin kota.
Saat itu, banyak imigran datang asal Irlandia, imbas dari kelaparan besar yang melanda. Mereka yang mayoritas Katholik, tidak mendapat sambutan hangat dari warga Skotlandia yang mayoritas Protestan. Hidup di tengah perasaan was-was akibat diskriminasi, membuat mereka menemukan pelarian dengan mendukung Celtic, yang merepresentasikan keimanan yang sama dengan mereka. Meskipun pada perjalanan selanjutnya, dua klub ini seringkali terlibat konflik dan tak jarang mengakibatkan konfrontasi yang besar antar dua suporternya.
- Meningkatnya kepedulian pada umat agama minoritas
Di stadion-stadion besar seperti Anfield markas Liverpool FC dan London Stadium markas West Ham United, dibangun ruangan ibadah multi-agama untuk penonton. Pembangunan itu bermula dari beberapa supporter muslim mereka yang mendapatkan perlakuan rasis di media sosial, yakni postingan foto mereka saat mendirikan sholat di sela-sela pertandingan di bawah tribun penonton, dengan hastag #memalukan. Pihak klub dan sebagian besar suporter lain mengutuk tindakan rasis itu, dan meresponya dengan membangun ruangan ibadah di stadion yang bisa digunakan beribadah berbagai agama.
Sementara itu, Bayern Munchen bahkan membangun masjid di Allianz Arena yang didesikan untuk para pemain dan suporternya yang beragama Islam. Para muslim yang merupakan minoritas di Eropa, akhirnya mendapatkan hak dan kenyamanan yang sama saat ingin beribadah dan mencintai sepak bola secara bersamaan.
***
Tidak bisa dipungkiri lagi, bagaimana sepak bola melibatkan begitu banyak manusia dengan pilihan kepercayaan dan kebudayaan yang berbeda-beda. Sepak bola bisa menjadi ruang bagi masing-masing kita untuk berekspresi. Dalam bingkai permainan kulit bundar di lapangan itu, para manusia yang beragam itu disatukan. Dan menjadi wadah bagi kita untuk lebih mengenal lagi kelompok manusia lain yang selama ini hanya kita kenal lewat prasangka.
Mereka yang selama ini menjadi minoritas, tak lagi ragu menampakkan eksistensi kepercayaan religi mereka. Mereka yang mayoritas pun tumbuh kesadaran baru untuk menciptakan fasilitas dan lingkungan yang kondusif bagi kehidupan bersama. Barangkali, sepak bola perlahan mengajari kita untuk hidup lebih baik. Agar kita bisa menciptakanya dalam lingkup kehidupan sosial yang lebih luas dan kompleks. Semoga.