Nama KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pertama kali saya dengar lebih dari sekedar nama belaka, saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Saya mendengarnya bukan dari guru SD maupun TPA saya, apalagi dari buku-buku pelajaran. Saya justru mendengarnya dari teman sekelas saya yang beragama Protestan.
Dalam salah satu percakapan ringan ala anak SD di sela-sela waktu istirahat kami, ia menceritakan salah satu orang Islam yang katanya sakti. “Ada orang Islam yang terkenal sakti. Beliau tidak bisa melihat, tapi bisa baca dan hafal Al-Quran, kitab sucimu. Itu lho, presiden keempat kita, Gus Dur”, ceritanya. Kelak, setelah saya lebih banyak belajar tentang sosok ini, bisa dibilang -meminjam bahasa teman saya yang masih SD itu-, “kesaktian” Gus Dur lebih dari itu. Beliau tidak hanya bisa membaca dan memahami Al-Qur’an, namun juga mempraktikkanya dan membuat Al-Qur’an lebih dekat dalam merespon isu-isu sosial kemanusiaan.
Saya ingat percakapan antara dua anak SD beda agama itu berlangsung saat Gus Dur masih hidup. Mungkin dari situlah, titik awal di mana hari-hari saya tak pernah sepi dari nama Gus Dur dalam berbagai pembahasan. Dan itu tak menjadi berhenti dan malah semakin riuh dengan bercampur rasa kerinduan, meski Gus Dur telah wafat di akhir tahun 2009. Dan entah kenapa, percakapan sederhana antara saya dan teman saya itu melekat dengan ingatan saya ketika Gus Dur dibicarakan. Dalam bahasa anak-anak, Gus Dur sudah dikagumi oleh anak SD lintas agama. Walau mungkin masih tak terlalu paham dengan pemikiran beliau, anak kecil seperti kami waktu itu mulai membicarakan, dan mungkin, mulai mencintai beliau.
Setelah lulus SD, saya melanjutkan pendidikan menengah dengan nyantri di Perguruan Islam Mathali’ul Falah Kajen-Pati, asuhan sahabat sekaligus paman Gus Dur, KH. Sahal Mahfudh. Saat belajar di pesantren, saya yang kebetulan suka main di perpustakaan pesantren dan sekolah, mulai lebih serius mengenal dan mempelajari nama Gus Dur. Saya yang waktu itu menganggap Gus Dur “sakti” akibat omongan teman Protestan saya itu, mulai disuguhi buku-buku dengan berbagai sudut pandang dalam melihat sosok Gus Dur.
Saya rasa, kebanyakan perpustakaan-perpustakaan pesantren memiliki satu buku populer yang memuat riwayat tokoh-tokoh Islam dengan label liberal yang perlu diwaspadai umat Islam. Dan selalu, nama Gus Dur hampir pasti ada dalam daftar nama-nama tokoh itu. Disebutkan di sana, bagaimana Gus Dur sebagai tokoh Islam di Indonesia yang kerap melontarkan pendapat-pendapat kontroversial yang bisa dibilang ekstrem untuk kalangan santri seperti kami, seperti anjuran untuk mengganti assalamu’alaikum dengan selamat pagi atau siang.
Di sisi lain, ada juga buku yang mungkin dikategorikan dalam rak yang sama oleh petugas perpustakaan pesantren, tapi punya sikap berbeda dalam melihat Gus Dur. Buku itu memuat cerita-cerita karomah Gus Dur selama hidupnya, berdasarkan kesaksian orang-orang yang ada di sekitarnya. Kisah-kisah itu dipaparkan untuk mendukung klaim buku itu, bahwa Gus Dur adalah wali kesepuluh, penerus wali songo yang masyhur itu. Bukti yang nyata tentunya yaitu bagaimana makam Gus Dur semenjak beliau wafat, seringkali diziarahi para rombongan peziarah berbagai kampung, sepaket dengan makam-makam walisongo.
Paradoks ini justru membuktikan kebesaran Gus Dur sebagai tokoh Islam. Di satu sisi, beliau dianggap liberal, tapi di sisi lain, beliau dipuja oleh kalangan tradisional. Tidak tanggung-tanggung, beliau dianggap sebagai wali yang sangat dimuliakan dalam kalangan Islam tradisional. Namun, kebesaran itu tidak dibarengi dengan pemahaman yang utuh mengenai beliau. Saya rasa, banyak kalangan muslim, baik dari pihak yang pro maupun kontra Gus Dur, yang kurang membaca dan mengetahui pemikiran-pemikiran beliau.
Padahal beliau bukan tokoh yang sulit dicari pemikiran-pemikiranya dalam bentuk tulisan maupun ceramah ilmiah (tidak seperti tokoh-tokoh politik lain yang oleh survey-surrvey sekarang diunggulkan menjadi capres 2024). Beliau menulis banyak kolom-kolom mengenai berbagai tema, seperti politik, sosial keagamaan, ekonomi, budaya, sampai sejarah dan sepak bola, yang dikumpulkan dalam beberapa buku. Buku-buku pemikiran beliau juga ada di perpustakaan pesantren saya, namun saya rasa hanya segelintir yang membacanya. Saya sendiri baru membacanya belakangan saat duduk di bangku tingkat akhir pesantren saat akan lulus.
Bacaan-bacaan itu, sedikit banyak mempengaruhi saya, dalam menulis karya tulis berbahasa arab (KTA) yang menjadi syarat kelulusan di pesantren saya. Saya mengambil judul “Nasyr as-Salam bi Fikroh at-Tasamuh ‘inda al-Islam” (Menyebarkan Kedamaian dengan Konsep Toleransi dalam Islam). Karya tulis yang menyoroti topik toleransi dalam Islam, topik yang lekat dengan pemikiran dan kiprah Gus Dur.
Alhamdulillah, karya tulis berbahasa arab saya itu masuk dalam nominasi KTA terbaik. Saya mesti melakoni munaqosyah (sidang) tahap kedua, dengan tiga penguji guru senior lulusan Universitas Al-Azhar di pesantren saya. Salah seorang penguji bertanya pada saya, “man rijal at-tasamuh bi Indonesia?” Saya paham bahwa yang dimaksud adalah siapa sosok yang punya kontribusi terkait toleransi di Indonesia, tapi karena saya terbiasa dengan bahasa arab kitab kuning, dan kata yang dipakai adalah “rijal” yang berarti laki-laki bermakna plural, saya menjawab, “GP Ansor, ya Ustadz”, karena saya kira itu berhubungan dengan kolektif. Guru penguji saya malah tertawa.
Beliau kemudian menjelaskan, yang dimaksud dengan kata “rijal”, sesuai dengan bahasa arab kontemporer, adalah tokoh. Baru kemudian saya menjawab, “Syekh Abdurrahman Wahid, ya Ustadz.” Beliau membenarkan jawaban saya dan berpesan, untuk jangan berhenti belajar mengenai Gus Dur dan toleransi dalam karya tulis sederhana saja. Tapi, mesti memperdalamnya dan mengembangkanya dalam konteks yang lebih luas. Pesan itu yang saya pegang untuk kemudian melanjutkan studi saya, dengan kuliah di Sosiologi Agama, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan bergabung dengan Komunitas Santri Gus Dur (Komunitas Gusdurian Yogyakarta).
Pada saat masa-masa kuliah ini, saya mulai lebih dalam lagi membaca dan mempelajari pemikiran Gus Dur. Mengikuti acara-acara yang diadakan Komunitas Santri Gus Dur, membuat saya merasakan betapa indahnya hidup bersama dan bersandingan dalam keberagaman secara lebih nyata, tidak hanya dalam retorika kata dan teori-teori belaka. Saya mengikuti bedah buku mengenai pemikiran Gus Dur dalam berbagai perspektif yang diadakan di tempat-tempat pendidikan dan agama lain, dan diulas oleh tokoh dari berbagai kalangan umat beragama.
Saya mengikuti bedah buku Gus Dur di Mata Perempuan yang diselenggarakan di Syantikara Youth Center (layanan masyarakat yang dikelola para suster Katholik, berbasis di Jl. Colombo dekat UGM), serta bedah buku Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman di Pura Jagadnatha, Banguntapan, Yogyakarta. Saya mendengar bagaimana Gus Dur dipandang secara berbeda oleh aktivis HAM, akademisi, tokoh muda Hindu, waria, dan sebagainya. Saya merasakan, beginilah ajaran Islam –spiritualitas yang menjadi titik tolak pemikiran dan perjuangan Gus Dur- sesungguhnya, ajaran yang menjadi rahmat bagi semua kalangan. Bagaimana Gus Dur mampu membawakan ajaran Islam kepada mereka yang minoritas dan tertindas tanpa merasa dihakimi dan dikasih macam-macam dalil dengan diiringi rasa ketus dan benci.
Sampai sekarang, sejauh saya membaca tulisan-tulisan Gus Dur, sebagai santri, saya tetap meyakini beliau sebagai kiai yang menjadi ejawantah nyata adagium terkenal Islam : rahmatan lil alamin. Ketika beliau membela kaum yang dilemahkan, orang-orang bisa saja menganggapnya sebagai pejuang Hak Asasi Manusia, tapi bagi santri, beliau tak lebih dari kiai yang mewarisi sikap Baginda Nabi yang membela kaum terdhalimi. Ketika beliau mengampanyekan sikap menerima perbedaan, orang-orang bisa saja menganggapnya sebagai bapak pluralisme, tapi bagi santri, beliau sesederhana kiai yang memahami betul keberagaman ciptaan Tuhan yang dinash dalam Al-Qur’an.
Semoga kita semua diberi kekuatan untuk melanjutkan kiprah beliau. Sebagaimana bunyi salah satu bait Alfiyah Ibnu Malik “ma yali al-mudhofa ya’ti kholafa # anhu fil I’robi idza ma khudzifa”, kita memiliki kewajiban untuk mengganti fungsi kiai tercinta kita yang sudah dipanggil ke Rahmatullah ini, yang bagi banyak kalangan perjuangan dan perlindunganya masih begitu dirindukan. Wallahu a’lam bish showab.