Belakangan ini (9-11/09/22), beberapa media, baik cetak maupun online, tampak ramai memberitakan temuan tafsir tertua di Indonesia. Tafsir yang diketahui tersimpan di Museum Masjid Agung Demak (MAD) tersebut merupakan Tafsir Jalalain karangan Jalal al-Din al-Mahalliy dan Jalal al-Din al-Suyuthiy.
Temuan tafsir tersebut dilakukan oleh Dr. KH. Anasom, M.Hum yang kebetulan tengah melakukan digitalisasi dan penelitian terhadap naskah-naskah koleksi Museum Masjid Agung Demak dan Museum Perkembangan Islam Masjid Agung Jawa Tengah. Dalam penelitian tersebut, Pak Anasom mendapati dua naskah tafsir Jalalain di masing-masing museum. Hanya saja, naskah yang menjadi tafsir tertua adalah bagian dari koleksi Museum MAD.
Seperti yang disebutkan Pak Anasom, klaim tafsir tertua ini setelah sebelumnya membandingkan dengan temuan Ahmad Ginanjar Sya‘ban pada naskah yang sama yang ditemukan di Cirebon. Pada ulasannya berjudul Manuskrip Tafsir al-Jalalain dari Cirebon Ini Dinilai sebagai Manuskrip Pegon Tertua di Jawa Barat, Pak Ginanjar menjelaskan bahwa naskah tersebut disalin oleh Haji Muhammad Hasan Basri tertanggal tahun 1033 H. atau setara 1624 M. Sementara naskah yang ditemukan Pak Anasom di Museum MAD, pada catatan kolofonnya disebutkan sanah alf atau tahun seribu hijriah yang setara tahun 1590-an masehi.
Lebih dari itu, naskah yang menjadi temuan Pak Anasom ini, jika dibandingkan dengan temuan Bu Annabel dalam Southeast Asian Manuscript from the Collection of Sir Hans Sloane in the British Library yang juga dikaji oleh Nur Ahmad dalam tulisannya berjudul Inikah Manuskrip Pegon Tertua di Dunia?, boleh jadi menjadi manuskrip pegon tertua ‘di dunia’, tidak hanya di Indonesia.
Mengapa demikian? Pasalnya, dalam tulisannya tersebut, Mas Nur menyebut bahwa naskah Muqaddimah al-Hadlromiyyah berkode “Sloane 2645” tertanggal 1545 tahun Jawa atau setara 1623 masehi tersebut merupakan naskah pegon tertua ‘di dunia’.
Merujuk pada kesimpulan yang diberikan Mas Nur, temuan Pak Anasom ini dapat menambah daftar panjang penggunaan pegon dalam tradisi pemaknaan masyarakat Jawa, yakni pada akhir abad 16 di masa Kerajaan Mataram awal atau bahkan Kesultanan Demak Bintoro.
Namun demikian, Pak Anasom yang sempat penulis temui di kediaman menyebutkan bahwa ada yang mengganjal dengan temuan-temuan naskah semacam ini. Menurut beliau, keberadaan naskah tafsir tidak semestinya mendahului mushaf Alquran. Beliau bahkan berkeyakinan bahwa nantinya akan ada mushaf Alquran yang lebih tua dari naskah-naskah tersebut.
Apa yang disebutkan oleh Pak Anasom ini tentunya dalam konteks pembicaraan naskah-naskah koleksi Museum MAD, atau dengan kata lain, dalam kawasan Demak dan sekitarnya. Hal ini dikarenakan, mushaf Alquran dalam koleksi yang sama paling tua hanya menunjuk pada tahun 1783 M., yakni mushaf yang diberikan Rahaden Bagus Prawata. Di sisi lain, kita tahu bahwa mushaf Alquran Nusantara tertua saat ini menunjukkan tahun 993 H. atau setara 1585 M., yang berarti masih tua jika dibandingkan dengan temuan tafsir Jalalain Pak Anasom.
Benarkah apa yang menjadi kejanggalan Pak Anasom ini, kita tunggu saja temuan-temuan lain di masa yang akan datang. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []