Alunan kalimah thayyibah mengalun dari corong-corong masjid dan musala. Sesekali berganti kisah-kisah yang kaya pesan atau bahkan ajaran-ajaran agama. Masyarakat sekitar menyebutnya pujian atau selawatan.
Jeda waktu antara waktu adzan dan iqamah, lazim disebut dengan intidzar yang secara literal memang diartikan menunggu, menunggu didirikannya salat. Waktu kosong ini biasa digunakan untuk berdzikir, membaca Alquran atau amalan lain yang berfaedah. Spiritnya, mengisi waktu luang dengan segala bentuk amal kebaikan. Tarku ma laa ya’ni (meninggalkan hal-hal yang tidak berguna).
Sebagaimana anjuran yang ada, sering terdengar di telinga kita alunan kalimah thayyibah mengalun dari corong-corong masjid dan musholla. Sesekali berganti kisah-kisah yang kaya pesan atau bahkan ajran-ajaran agama. Kalimat yang oleh masyarakat sekitar menyebutnya dengan pujian atau juga dengan selawatan.
Praktek pujian semacam ini merupakan hasil perpaduan teks-teks syariat dengan kearifan lokal. Dimana selain berisi spirit pemanfaatan waktu luang juga mengambil peran syiar keagamaan karena disiarkan melalui corong yang menggema serta memberi pelajaran dan pesan melalui kisah-kisah dan ajaran pokok agama.
Pemilihan term pujian atau selawatan pada dasarnya merujuk pada sebagian isi kalimat yang dibacakan. Pujian dalam bahasa Jawa adalah sebagaimana ia dalam bahasa Indonesia, berarti pernyataan atau ungkapan yang berisi sanjungan. Adapun selawatan merupakan kata serapan dari bahasa Arab sholawat. Secara literal berarti doa yang kemudian diperuntukkan makna sanjungan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga melihat asal pemilihan redaksi yang digunakan, unsur kalimat yang nantinya bakal dilafalkan tidak akan jauh-jauh dari dua hal tersebut di atas.
Yang unik dari praktek pujian ini, sebagaimana bentuk adaptasi terhadap kearifan lokal lainnya, adalah bentuknya yang selalu beragam sesuai dengan masa dan lokasi ia berada. Saat ini misalnya, beberapa muadzin akan dengan familiar melantunkan lagu-lagu syar’i ala Nissa Sabyan seperti maulana atau din al-salam. Bila ditarik lima sampai sepuluh tahun ke belakang, qasidah-qasidah Habib Syeh Solo mungkin menempati posisi teratas dengan hits-hitsnya yang melegenda. Atau bahkan jauh sebelum itu, shalawat dan wirid mainstream seperti nariyah, berjanji, diba’, istighfar, tasbih, tahlil dan doa-doa lainnya yang dipanjatkan.
Nah, tidak melulu soal kalimat-kalimat pujian dan dzikir, pujian juga menjelma dalam ragam bentuk yang lain, seperti kisah-kisah cerita dan pelajaran-pelajaran agama. Kedua hal ini yang mungkin memiliki uniqueness dan signature yang khas. Bagaimana tidak, dengan kealiman dan kemahiran para kyai, materi-materi yang berat dan membosankan disulap menjadi karya syair yang syarat akan makna dan mudah diingat karena diramu dengan alunan irama nan syahdu.
Beberapa diantara pujian semasa alfaqir kecil adalah analogi si kaya dan si tampan pada kisah Nabi Sulaiman dan Nabi Yusuf ‘alaihima al-salam dalam satuan irama shalli wa sallim daiman ‘ala Ahmada,
Eman-eman tenan wong sugih rak sembahyang (2×)
Nabi Sulaiman sugih, nanging ugo sembahyang (2×)
Eman-eman tenan wong gantheng rak sembahyang (2×)
Nabi Yusuf gantheng, nanging ugo sembahyang (2×)
Ada pula pelajaran tentang ilmu teologi yang menyebutkan secara keseluruhan sifat-siat wajib dan mustahil bagi Allah Swt., berpadu dalam satu alunan nada khusus,
Allah wujud, qidam, baqa’, mukholafatul lilkhawaditsi, qiyamuhu binafsihi, wahdaniyyah, qudrah, irodah, ‘ilmu, hayyah, sama’, bashar, kalam, qadiran, muridan, ‘aliman, hayyan sami’an, bashiran, mutakalliman.
Allah muhal ‘adam, huduts, fana’un, mumatsalatul lilhawaditsi, ihtiyaju lighairihi, ta’addud, ‘ajzun, karohatun, jahlun, mautun, shomamun, ‘umyun, bukmun, ‘ajizan, karihan, jahilan, ‘ashomma, a’ma, abakama.
Dan lain sebagainya.
Bentuk kearifan lokal semacam ini memang sangat dipengaruhi oleh interaksi baik secara internal, antar elemen-elemen kemasyarakatan, atau eksternal, atas pengaruh budaya dan adat istiadat lain. Artinya, baik ragam dan bentuk kemunculannya ataupun evolusi perkembangannya akan sangat dipengaruhi oleh persinggungannya dengan hal-hal lain. Sebagai contoh, saat ini alfaqir tengah melakukan praktek kerja lapangan di salah satu desa di dekat wilayah Rowopening, dimana di sana jarang atau bahkan tidak ada aktifitas pembacaan maulid, entah diba’, berzanji atau yang lainnya, kecuali pada tanggal satu sampai dua belas mulud (Rabiul Awal).
Rendahnya tingkat pembacaan maulid ini ternyata berpengaruh pada pengetahuan masyarakat terhadap fenomena masyhur sholawat yang berkembang pesat seperti Habib Syeh atau Nissa Sabyan, sehingga berimplikasi pula pada minimnya update lagu-lagu hits saat ini. Pada akhirnya, masyarakat tetap pada pilihan tangga lagu yang mungkin bagi masyarakat lain dianggap kuno dan sudah out of the date.
Namun menurut alfaqir justru hal ini menjadi nilai plus terhadap masyarakat yang diketahui mendiami wilayah Desa Rowoboni ini. Struktur masyarakat yang kebanyakan masih didominasi kaum abangan dan rendah pengetahuan agama lebih tepat dikenalkan pada pengetahuan-pengetahuan agama yang mendalam yang dalam metodenya menempuh cara-cara syair dan sajak indah yang lebih memiliki nilai persuasif. ‘Ibroh dalam kisah-kisah seperti Nabi Sulaiman di atas dapat menjadi pepiling (pengingat) dan motivasi tersendiri kepada masyarakat untuk terus dan terus menggali nilai-nilai agama. Hingga pada akhirnya dapat menjadi masyarakat religius yang perilaku kesehariannya menunjukkan kedalaman pengetahuan dan pengalaman agama yang dimiliki.
Bagaimana dengan wilayah pembaca? Wallahu a’lam bi al-shawab. (RM)