Tugas akhir saya tentang penulisan ayat-ayat Alquran meningkatkan intensitas interaksi terhadap mushaf Alquran. Meski sebetulnya objek yang Saya teliti tidak secara spesifik menyasar pada mushaf namun sebagai pembanding, mau tidak mau harus disentuh. Dalam kajian Alquran, disiplin yang saya tekuni ini lebih dikenal dengan rasm utsmani.
Hasil persinggungan saya dengan berbagai mushaf Alquran semakin mengkerdilkan pengetahuan saya tentang Alquran, khususnya pada mushaf. Bagaimana tidak, referensi-referensi dan temuan-temuan yang saya dapati membuka mata akan luasnya kajian permushafan.
Nah, pada beberapa tulisan ini, ijinkan saya bagi sedikit pengalaman yang dapat yang mungkin jarang pembaca sadari. Semuanya berkisar pada perihal keseharian mushaf Alquran.
Secara umum, terdapat dua komponen yang tertulis dalam setiap halaman-halaman mushaf Alquran. Dua komponen ini mewakili dua arus besar kajian dalam Alquran. “Seni”, yang mewujud ke dalam hiasan, ornamen, atau iluminasi, dan “bahasa” yang menjelma menjadi cara-cara penulisan ayat, harakat, tanda titik pada setiap huruf dan tanda waqaf. Masing-masing komponen akan saya uraikan satu per satu, dan pada bagian satu ini khusus pada bidang seni atau spesifik pada iluminasi mushaf.
Hiasan atau iluminasi dapat dijumpai pada setiap halaman pada mushaf Alquran. Umumnya terletak pada bagian tepi halaman, semacam gambar atau bentuk-bentuk tertentu yang mengelilingi halaman membentuk semacam kotak pembatas ayat-ayat di dalamnya. Hiasan lain yang juga dapat ditemui adalah pada bagian sampul depan, pada permulaan halaman surat al-Fatihah dan al-Baqarah, serta pada akhir halaman doa.
Jika pembaca sekalian pernah melihat mushaf-mushaf kuno nusantara, pembaca dapat membedakan iluminasi yang terdapat di dalamnya dan pada mushaf-mushaf saat ini. Pada mushaf kuno iluminasi tampak terlihat jelas pada bagian awal mushaf, yaitu pada halaman surat al-Fatihah dan al-Baqarah, serta pada bagian akhir. Pada mushaf kuno ini pula pola hiasan atau iluminasi ini dapat memberi ciri khas pada mushaf dan memberi signature tradisi dan budaya yang terwakili di dalamnya. Iluminasi bingkai pada tiap halaman jarang sekali dijumpai pada mushaf kuno ini. Kalau pun ada paling hanya berbentuk kotak persegi yang mengelilingi ayat Alquran, dengan satu atau dua garis sejajar, seperti dapat dilihat pada mushaf Madura.
Ada banyak hal yang mempengaruhi minimnya iluminasi pada mushaf-mushaf kuno. Di antaranya adalah media percetakan di masa itu tidak semudah saat ini. Penggarapan satu mushaf dapat memerlukan waktu yang panjang. Dimulai dari pembuatan alas berupa kertas berbahan lontar dan sebagainya hingga proses penulisan serta penghiasan. Karenanya mushaf-mushaf “mewah” dengan karya iluminasi jarang sekali ditemukan, dan umumnya hanya berada di kalangan keluarga istana (sebagaimana pada Mushaf Ternate), dimana selain fungsional, nilai estetika juga ditonjolkan di sini. Berbeda dengan mushaf kuno yang beredar di kalangan rakyat biasa. Keindahan tidak begitu diperhatikan mengingat tujuan utama dari sebuah mushaf adalah naskah yang dibaca. Selain karena teknik penggarapan mushaf kuno istana ini memerlukan setidaknya dua tenaga ahli, penulis teks Alquran dan pembuat iluminasi itu sendiri, sehingga biaya pembuatan juga layak untuk dipertimbangkan.
Ini berbeda dengan fenomena common pada mushaf masa kini, di mana hiasan dapat dijumpai hampir disetiap halaman dengan variasi pola dan warna yang beranekaragam. Kemudahan akses alat cetak dan murahnya biaya produksi jauh berbeda bila dibandingkan dengan masa-masa awal Islam di Indonesia. Selain itu orientasi pengenalan bentuk dan motif iluminasi juga telah berpindah dari daerah tertentu menuju, mungkin, percetakan dan penerbit mushaf-mushaf modern. Permintaan dari pasar mushaf juga memungkinkan terciptanya aneka varian iluminasi dan hiasan pada mushaf, seperti batik dan lain sebagainya.
Tidak melulu mengenai bentuk-bentuk tertentu: bunga, garis-garis dan sebagainya, pada mushaf Alquran Standar Indonesia terbitan Departemen Agama (saat ini menjadi Kementerian Agama) bahkan berupa tulisan khat yang menceritakan salah satu kisah sejarah terbentuknya mushaf ini. Meski tidak bisa dikatakan paling aktual, namun kemunculannya di tahun 1986-an cukup menjelaskan variasi iluminasi yang digunakan pada mushaf-mushaf baru. Dengan menganut bentuk kufi, hiasan ini diletakkan secara melingkar mengelilingi setiap halaman mushaf.
Apapun bentuk dan ragam iluminasi yang digunakan dalam Alquran dapat menunjukkan setidaknya pada beberapa hal.
Pertama, meresapnya nilai seni, bahkan pada sebuah teks yang tujuan semula diturunkannya adalah sebagai petunjuk, hudan. Hal ini disebabkan mungkin oleh, kedua, adanya kaitan antara nilai-nilai seni di dalam Alquran yang terperagakan dalam formatnya yang bersajak dan berirama, sehingga tak melulu bernilai intelektual dan religiusitas namun juga sisi estetika yang layak juga diperhatikan.
Dan ketiga, ragam iluminasi yang tersaji dalam setiap mushaf-mushaf Alquran juga menunjukkan adanya adaptasi nilai budaya setempat atau mungkin sebuah kepentingan yang hendak disampaikan oleh pembuat mushaf. Wallahu a’lamm bi al-shawab.