Dalam sebuah kajian filologi, peneliti diharapkan tidak berhenti ‘hanya’ pada menyajikan teks yang layak baca. Lebih dari itu, peneliti dituntut untuk dapat ‘membunyikan’ dimensi tersembunyi dari sebuah teks: aspek kesejarahan dan latar belakang lahirnya teks, wacana yang sedang direspon, posisi teks terhadap wacana yang berkembang, dan lain sebagainya. Begitu setidaknya menurut Oman Fathurahman (2017: 96-97).
*****
Belakangan ini saya tertarik membandingkan beberapa cetakan karya maulid yang umum dibaca di daerah saya tinggal, wilayah Demak, Jepara, Kudus dan sekitar Semarang-an. Karya maulid yang saya bandingkan adalah maulid Al-Imam ‘Abd al-Rahman al-Diba‘iy, yang biasa disebut dengan Diba’ dan Aqd al-Jauhar fi Maulid al-Nabiy al-Azhar atau terkenal dengan maulid Al-Barzanjiy karya Sayyid Ja‘far bin Hasan bin ‘Abd al-Karim al-Barzanjiy al-Husainiy (w. 1177 H.). Sementara cetakan yang saya rujuk adalah Menara Kudus, Toha Putra Semarang, dan Al-Alawiyah Semarang. Sebagai pembanding, saya juga merujuk pada kompilasi wirid dan dzikir terbitan LTN Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang Rembang, Nubdzah al-Anwar wa Fawa’id al-Akhyar.
Apa yang saya lakukan ini semula berangkat dari perbedaan bacaan dan teks yang ada dalam beberapa naskah cetak kitab maulid. Perbedaan tersebut seperti pada salah satu bait dalam mahal al-qiyam,
والملا صلوا عليك
yang oleh hampir semua majelis maulid yang saya ikuti membaca shallu, mengikuti bentuk fi‘l amar. Sementara menurut guru saya, secara siyaq al-kalam (rangkaian kalimat), kata tersebut mestinya dibaca shallau, mengikuti bentuk fi‘l madli.
Perbedaan lain dalam masalah teks ada pada maulid Al-Barzanjiy, tepatnya pada akhir ‘aththiril kedua,
وبدر بدره في جبين جده عبد المطلب وابنه عبد الله
Pada teks yang saya miliki, dari Al-Anwar, menyebutkan kata wa abihi sebagai ganti kata wa ibnihi sebelum kata ‘abdillah. Dan menurut saya, redaksi wa abihi lebih sesuai dengan rangkaian kalimat yang ada. Karena jika mengikuti alur marji‘ kata ganti ‘hu’ yang kesemuanya merujuk pada Kangjeng Nabi Muhammad, maka kata yang cocok dimasukkan dalam rangkaian yang ada adalah wa abihi. Kendati kata wa ibnihi juga dapat dibenarkan dengan mengembalikan kata gantinya kepada ‘abd al-muththalib.
Perbedaan semacam ini menarik jika kita kaitkan dengan konteks masyarakat kita yang notebene non-Arab. Hal ini dikarenakan kejanggalan bacaan atau teks sering kali terabaikan mengingat keterbatasan akses masyarakat terhadap teks berbahasa Arab. Meski di sisi lain, saya sendiri tidak dapat memastikan masing-masing perbedaan ini bersumber dari teks asli pengarang. Namun secara disiplin filologi, kedua edisi teks ini sama-sama dapat dibenarkan tergantung jenis edisi yang dipilih sebagai bentuk sajian bacaan. Jika benar teks aslinya mengikuti bacaan shallu dan wa ibnihi, karena versi ini yang banyak muncul diberbagai cetakan seperti Menara Kudus, Toha Putra, dan Al-Alawiyah, maka edisi ini kemungkinan mengikuti edisi diplomatik. Sedangkan versi cetakan LTN Al-Anwar mengikuti edisi kritis.
Selain perbedaan bacaan dan riwayat teks yang telah saya sebutkan sebelumnya, antara naskah cetak satu dengan lainnya juga mempunyai perbedaan pada teknis layout. Perbedaan pada tampilan ini yang lantas memunculkan sebuah pertanyaan, adakah ia memberi pengaruh terhadap perbedaan praktik ritual maulid? Jika iya, sejauh mana ia memberikan pengaruh?
Setiap bacaan pada maulid Diba‘ dipisahkan dengan bacaan shalawat, allahumma shalli wa sallim wa barik ‘alaih. Dalam setiap produk cetak yang ada, bacaan shalawat ini diletakkan pada sebuah kotak tersendiri yang berfungsi sebagai pemisah antara satu bacaan dengan bacaan berikutnya. Di sini, produk yang paling berbeda adalah cetakan Menara Kudus. Antara beberapa bacaan, cetakan ini jarang memberikan pemisah berupa shalawat, terlebih setelah al-hadits al-tsani. Sehingga pengguna cetakan Menara ini rata-rata mengalami kebingunan mengenai tempat berhenti di setiap bacaan. Hal ini berbeda dengan cetakan lainnya.
Cetakan Al-Anwar pada dasarnya sama dengan sama dengan cetakan lainnya yang memisah setiap bacaan dengan shalawat. Namun ia memiliki perbedaan pada batas potongan pada salah satu bacaan, yakni pada al-hadits al-tsaniy, dimana umumnya dipotong pada,
غير أنهم يشهدون أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله صلى الله عليه وسلم
Cetakan ini memotong pada,
أدخلوهم الجنة برحمتي
Tambahan bacaan baqiyyah al-shalihah yang berisi tasbih, tahmid, tahlil dan takbir juga tidak ditemukan dalam cetakan Menara Kudus. Sementara pada cetakan lain mencantumkan dengan perbedaan jumlah pengulangan. Al-Anwar menyebutkan empat kali pengulangan, sedangkan cetakan sisanya hanya tiga kali.
Perbedaan tata letak tidak begitu banyak terjadi dalam maulid Al-Barzanjiy. Hanya ada satu yang saya jumpai. Namun demikian, satu perbedaan ini menurut saya menjadi penyebab perbedaan praktik ritual maulid yang ada. Pada teks yang dibaca setelah mahal al-qiyam, yakni,
ومحيا كالشمس … وحق الهناء
Cetakan Al-Alawiyah dan Al-Anwar menulisnya dengan format nazam, dimana setiap ‘ayat’ ditulis terpisah menjadi dua bagian, seperti halnya kebanyakan nazam. Sementara pada cetakan Menara dan Toha Putra hal ini tidak terjadi. Mereka yang menggunakan dua cetakan ini akan membacanya dengan cara tidak melagukannya. Berbeda dengan pembaca yang kebetulan menggunakan dua cetakan awal tadi, dimungkinkan akan membacanya dengan mengikuti tangga lagu tertentu.
*****
Perbandingan yang saya lakukan ini tentunya masih harus dikaji lebih serius, secara menyeluruh dengan melibatkan piranti-piranti ilmiah. Terlebih pada pengaruh yang dimunculkan terkait perbedaan praktik ritual maulid yang terjadi di lapangan. Karena selain dimungkinkan kecenderungan subjektifitas saya, perbandingan ini juga hanya mengacu pada naskah cetak yang relatif muda usianya.