Tidak seperti menanggapi kekalahannya saat Pilpres, Prabowo Subianto sebagai menteri pertahanan amat kalem menanggapi polemik Indonesia versus China terkait Natuna. “Kita selesaikan dengan baik ya. Bagaimana pun Cina negara sahabat,” kata Prabowo seperti dikutip Tirot.ID.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri RI Retno Lestari Priansari Marsudi memilih langsung mengeluarkan senjata utama, yakni hukum internasional yang telah diratifikasi Indonesia puluhan tahun lalu. “Indonesia tidak pernah akan mengakui Nine Dash Line, klaim sepihak yang dilakukan oleh Tiongkok yang tidak memiliki alasan hukum yang diakui oleh hukum Internasional terutama UNCLOS 1982,” tegas Retno, seperti dikutip banyak media.
Yang sial adalah nelayan Natuna. Konon mereka tidak berani melaut karena banyak sekali kapal asing (atau aseng?) di sana. Aktivitas perekonomian mereka di laut sekarang ini merasa tidak dilindungi pemerintah.
Namun, marilah kita tengok dahulu permasalahan wilayah yang diperebutkan itu lebih mendasar, agar kita tidak capek berpolemik, bahkan saling berbeda “nyanyian” antarpejabat. Polemik ini sudah melahirkan dampak buruk pada rakyat kecil kita.
***
Dulu, untuk memantapkan kepemilikannya terhadap perairan Natuna, Indonesia mengubah nama sebagian ruang laut di utara Kepulauan Natuna menjadi Laut Natuna Utara (LNU) –sebelumnya bernama Laut China Selatan (LCS). Pengubahan nama itu diresmikan Indonesia dengan diluncurankannya Peta NKRI 2017 pada 14 Juli. Tiongkok protes keras.
Kali ini melalui nota diplomatik yang dilayangkan Kementerian Luar Negeri Tiongkok kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beijing. Dalam Démarche nomor 62 tahun 2017 yang dikeluarkan pada 25 Agustus itu, Tiongkok menyampaikan tiga butir pernyataan sikapnya.
Pertama, pengubahan nama LCS secara sepihak oleh Indonesia, selain tidak ada gunanya sama sekali (haowu yiyi), juga berdampak tidak positif terhadap standarisasi penggunaan nama LCS di dunia internasional.
Kedua, Tiongkok dan Indonesia mempunyai klaim “hak maritim” (haiyang quanyi) yang tumpang tindih di LCS bagian barat laut. Pengubahan nama LCS secara sepihak oleh Indonesia, di samping tidak akan mengubah fakta objektif (keguan shishi) ini, juga berdampak tidak positif terhadap stabilitas hubungan Tiongkok-Indonesia dan LCS.
Terakhir, Tiongkok menolak sekaligus tidak mengakui nama LNU; meminta Indonesia mencabut keputusan penamaan dimaksud; mendesak Indonesia untuk lebih mementingkan stabilitas relasi kedua negara dan kawasan dengan tidak menyebarluaskan nama baru itu dan/atau tindakan unilateral lain yang dapat memperumit dan/atau memperbesar sengketa LCS, serta yang dapat mempengaruhi stabilitas hubungan Tiongkok-Indonesia dan kedamaian LCS.
Dari ketiga poin tersebut, khusus menyangkut relasi bilateral, Tiongkok memperingatkan Indonesia dua hal. Yakni, (1) walau wilayahnya berganti nama, Tiongkok tetap mempunyai “hak maritim” yang tumpang tindih dengan Indonesia, dan (2) jika Indonesia bersikukuh mempertahankan nama LNU, maka stabilitas hubungan Indonesia-Tiongkok menjadi taruhannya. Bagaimana Indonesia mesti bersikap?
Pertama, Indonesia tidak hanya harus terus menyatakan tidak mempunyai masalah kedaulatan (sovereignty), tapi harus pula mempertegas tidak mempunyai masalah tumpang tindih hak berdaulat (sovereign rights) di zona maritim manapun di LCS dengan Tiongkok. Sebab, di satu sisi, sekalipun mulai 12 November 2015 Tiongkok secara terbuka mengakui kedaulatan Kepulauan Natuna sepenuhnya berada pada Indonesia; walakin di sisi lain, sejak 18 Juni 2016 Tiongkok selalu menyatakan mempunyai “hak maritim” seluas –merujuk editorial Huanqiu Shibao, koran berbahasa Mandarin milik Partai Komunis Tiongkok, edisi 24 Juni 2016– “kurang-lebih 50.000 km persegi” yang bertampalan dengan Indonesia di Perairan Natuna.
Rumitnya, Tiongkok hingga kini tidak menjelaskan secara detail apa dan bagaimana metode pengukuran “hak maritim” itu. Namun, kemungkinan besar, mereka merujuk kepada “hak berdaulat” yang diamanatkan hukum laut internasional (UNCLOS). Yaitu, hak untuk memanfaatkan dan mengelola sumber daya yang ada di zona maritim tertentu yang luasnya diukur dari garis pangkal (baseline) pulau terluar negara pantai (coastal state). Zona maritim tempat berlakunya “hak berdaulat” ini meliputi zona tambahan (contiguous zone), ZEE, dan landas kontinen.
Ringkasnya, menurut logika Tiongkok, kedaulatan Kepulauan Natuna benar punya Indonesia, tapi Tiongkok juga berhak menikmati kekayaan alam di dalam zona maritimnya. Tiongkok, nampaknya, memanfaatkan terminologi “kedaulatan” dan “hak berdaulat” yang dibedakan jelas oleh UNCLOS sebagai celah untuk melegitimasi klaimnya di Perairan Natuna. Dalam UNCLOS, kita tahu, “kedaulatan” hanya bisa berfungsi di wilayah daratan/pulau, perairan kepulauan, dan laut teritorial. Pada zona maritim di luar perairan kepulauan dan laut teritorial, “hak berdaulat” saja yang berlaku –kekuasaan penuh (kedaulatan) suatu negara tidak dapat diaplikasikan di sini.
Namun demikian, dari perspektif hukum, posisi Indonesia lebih kuat dibandingkan Tiongkok. Pasalnya, klaim “hak maritim” Tiongkok di LNU didasarkan pada sembilan garis putus-putus (nine-dashed line) yang sudah divonis ilegal oleh Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA). Sedangkan Indonesia bersandar pada UNCLOS. Hanya saja, untuk pengesahannya, Indonesia perlu bernegosiasi dengan Vietnam dan Malaysia yang zona maritimnya memang diakui tumpang tindih dengan LNU.
Kerena itu, kedua, perundingan penetapan batas (delimitasi) zona maritim LNU dengan dua negara di atas harus segera dituntaskan. Delimitasi sudah dilakukan dengan Malaysia pada 1969. Menyusul dengan Vietnam pada 2003. Akan tetapi, sampai sekarang, yang berhasil ditetapkan hanya landas kontinennya. Alias dasar lautnya semata. Bukan kolom air yang ada di atasnya –yang kini dinamai LNU itu.
Sepanjang belum mencapai sepakat, kepemilikan Indonesia terhadap LNU masih bisa diperdebatkan oleh siapapun, tak terkecuali Tiongkok. Walhasil, sebagaimana pendapat I Made Andi Arsana di harian ini (24/7), pemberian nama (toponimi) anyar pada akhirnya cuma berguna untuk tujuan politis dalam negeri. Tidak membawa implikasi apapun terhadap aspek legal kesepakatan internasional. Terlebih, toponimi setiap ruang laut di dunia –termasuk LNU– sudah beres dengan disepakatinya dokumen S-23 Oraganisasi Hidrografi Internasional (IHO) terbaru pada 1953.
Ketiga, Indonesia perlu mengkalkulasi untung-rugi ekonomi “peringatan” Tiongkok. Penelitian Fang Wang (2015) menyimpulkan, kepemerintahan Presiden Aquino III yang membawa masalah LCS ke PCA, menyebabkan Tiongkok berang lantas memberlakukan pengetatan impor dari Filipina sebagai ganjarannya. Seketika, ekspor Filipina ke Tiongkok mengalami fluktuasi hebat.
Begitulah, peran pemerintah yang amat besar dalam perekonomian Tiongkok, menurut studi Andreas Fuchs dan Nils-Hendrik Klann (2010), memungkinkan mereka menjadikan arus perdagangan (trade flows) sebagai salah satu perkakas sanksi dalam hubungan luar negerinya. Dalam risetnya, dua ekonom University of Heidelberg dan University of Goettingen itu menemukan, dari data perdagangan 159 mitra dagang Tiongkok yang diukur sejak 1991 sampai 2008, negara luar yang membikin maysgul pemerintah Tiongkok, setelahnya akan mengalami pemerosotan ekspor ke Tiongkok 8,1 hingga 16,9 persen.
Kita tentu tak ingin defisit belasan miliar dolar AS yang diderita Indonesia saban tahun perniagaannya dengan Tiongkok, semakin membengkak lantaran Beijing menyulap keperkasaan ekonominya (carrot) sebagai tongkat (stick) untuk menggebuk Indonesia.