Pada putaran pertama pemilihan presiden Prancis tahun 2022 nanti, tepatnya menjelang masa akhir periode kedua pemerintahan François Hollande, Front national (FN)—partai sayap kanan pimpinan Marine Le Pen—berhasil menduduki posisi puncak, diikuti oleh Parti socialiste (PS) pimpinan François Hollande dan Fraternité musulmane, alias Partai Ikhwanul Muslimin, yang baru dibentuk dan dipimpin oleh seorang tokoh karismatik bernama Mohammad Ben Abbes.
Untuk mencegat kemenangan Le Pen, maka satu-satunya cara yang harus ditempuh oleh PS di pemilu putaran selanjutnya adalah berkoalisi dengan Ikhwanul Muslimin. Koalisi itu membuat nama Ben Abbes mencuat sebagai kandidat presiden paling populer di kalangan partai-partai penentang FN, termasuk Union pour un movement populaire (UMP) yang merupakan partainya Nicolas Sarkozy.
Melalui serangkaian manuver politik, akhirnya koalisi tersebut berhasil memenangkan pemilu sehingga Ben Abbes diangkat menjadi presiden Muslim pertama sepanjang sejarah Prancis, di samping François Bayrou sebagai Perdana Menteri. Namun mereka punya satu kesepakatan yang tak boleh dilanggar, yakni kubu PS berhak untuk menduduki setiap posisi di kementerian, kecuali jabatan Menteri Pendidikan yang harus dipegang oleh kubu Ikhwanul Muslimin. Di bawah kendali pemerintahan baru, keputusan itu akhirnya menjadi tonggak reformasi besar-besaran, khususnya di bidang pendidikan. Salah satu perubahan penting yang terjadi adalah Universitas Sorbonne, yang merupakan kampus terbesar di Perancis, berganti nama menjadi Universitas Islam Paris-Sorbonne dan mendapatkan kucuran dana penuh dari Kerajaan Arab Saudi. Adapun pihak yang paling dirugikan dari kebijakan baru itu adalah para dosen universitas negeri. Konsekuensi bagi dosen wanita tidak lagi diperbolehkan untuk mengajar, sedangkan bagi dosen pria terpaksa harus memilih satu dari dua alternatif dilematis: tetap mengajar tapi diwajibkan menjadi seorang mualaf, atau dipecat.
Meskipun demikian, sosok Ben Abbes sebenarnya bukan seorang Islamis radikal yang ingin sepenuhnya menerapkan hukum syariat. Sebaliknya, dia adalah politisi cerdik dengan obsesi yang melampaui pikiran semua orang. Mengandalkan pengaruhnya, dia berusaha untuk memasukkan Turki, Maroko, Aljazair, dan Tunisia ke dalam Uni Eropa. Lebih gilanya lagi, dia bahkan punya rencana besar untuk menyatukan seluruh wilayah selatan Mediterania ke dalam satu imperium, sebagaimana yang pernah diimpikan oleh Napoleon.
Rangkaian peristiwa tersebut tentu hanya sebatas imajinasi Michel Houellebecq (62 tahun) yang dituangkan dengan gaya satire dalam salah satu novelnya: Soumission. Buku dengan setebal 320 halaman ini diterbitkan oleh Flammarion, Januari 2015.
Namun sebagai seorang pembaca, kita dapat menafsirkan bahwa hal itu adalah ungkapan batin seorang islamofobia dari, kalau boleh mengutip Afrizal Malna, ancaman ‘mitos-mitos kecemasan’ atas pengambilalihan Eropa oleh kelompok Islamis.
Pada masa-masa awal karier kepenulisannya, Houellebecq, yang juga seorang sineas, memang dikenal sebagai salah satu sastrawan Prancis yang paling gencar menyerang Islam. Dalam Les Particules élémentaires (1998) misalnya, dia mengatakan bahwa Islam adalah agama “…paling tidak jelas jika dibandingkan dengan semua agama yang pernah ada di dunia.”
Masih dalam novel yang sama, dia juga menggambarkan bagaimana seorang guru rasis mencaci-maki siswa muslim di sekolah tempatnya mengajar.
Dalam Lanzarote (2000), si narator berfantasi menikahi seorang gadis muslim asalkan “…dia bisa membebaskan diri dari ajaran agamanya yang konyol.”
Lain lagi misalnya dalam Plateforme (2001), yang mana kisahnya dibuka dengan adegan kematian ayah si narator karena dibunuh oleh saudara laki-laki pacarnya yang beragama Islam; dan ditutup dengan tragedi peledakan bom di suatu kawasan wisata seks Thailand oleh gerombolan teroris, yang sialnya, juga beragama Islam.
Namun apa yang ditulis Houellebecq dalam ketiga novel tersebut adalah pandangan lamanya. Sebab, berdasarkan pengakuan teranyarnya kepada The Paris Review, setelah membaca Alquran dia akhirnya memahami bahwa Islam tidak seburuk apa yang ia duga sebelumnya.
Walaupun demikian, kecemasan Houellebecq menyaksikan perkembangan pesat Islam di Prancis memang masih bisa kita lihat dalam Soumission—yang dirilis bertepatan dengan peristiwa penembakan brutal kantor tabloid Charlie Hebdo pada 7 Januari 2015 silam.
Jika dibandingkan dengan realita di lapangan, ramalan Houellebecq sebenarnya sudah gagal. Faktanya, pada Pemilihan Presiden tahun 2017, François Hollande, yang merupakan petahana dan menjadi salah satu karakter penting dalam Soumission, tidak lagi mencalonkan diri untuk kedua kali.
Tapi sisi uniknya adalah Marine Le Pen, yang merupakan pemenang di putaran pertama, berhasil dikalahkan di putaran kedua oleh Emmanuel Macron dengan partai barunya yang bernama En Marche! Salah satu janji kampanye Macron adalah melindungi hak-hak kaum imigran, termasuk muslim, hal yang sangat bertentangan dengan pandangan Le Pen.
Sebenarnya Houellebecq bukan orang pertama yang pernah membayangkan Prancis menjadi sebuah negeri islami. Pada tahun 1959, Charles de Gaulle, Presiden Prancis ke-18, pernah mengatakan bahwa negaranya harus segera menarik diri dari Aljazair. Hal itu dimaksudkan untuk mencegah pemberian kewarganegaraan kepada bangsa Arab dan Berber agar tidak memasuki daratan Prancis untuk menyebarkan agama dan kebudayaan mereka.
Namun apa yang hendak disampaikan oleh Houellebecq dalam Soumission sebenarnya sederhana. Meski bukan seorang religius, dia berusaha untuk menyadarkan bangsa Eropa bahwa revolusi teknologi dan rasionalisme telah membuat mereka terjerembab ke dalam nihilisme dan melupakan dogma Kristen, sehingga regenerasi hanya dapat datang dari agama lain, yang dalam kasus ini adalah Islam.
Di dalam Soumission, Houellebecq menulis tentang Islam dengan cara berbeda dari novel-novel sebelumnya. Baginya muslim Prancis sedang berada dalam situasi skizofrenik. Secara ideologis, sebenarnya mereka lebih identik dengan ekstrimis kanan ketimbang sayap kiri. Hal ini dikarenakan kesamaan pandangan terhadap hak-hak gay, aborsi dan masalah sosial lainnya.
Tetapi masalah utamanya adalah sangat mustahil bagi muslim Prancis untuk memilih FN yang sangat anti pada kehadiran imigran. Sebaliknya, muslim Prancis terpaksa harus memilih partai-partai kiri yang lebih progresif, meskipun pandangan mereka saling bertentangan dalam banyak hal.
Oleh sebab itu, menurut Houellebecq, kehadiran Ikhwanul Muslimin di Prancis adalah keniscayaan dan ramalan yang masuk akal, bukan hanya dalam semesta Soumission, tapi juga di dunia nyata.