Sedang Membaca
Wiridan Konsolidasi dan Ngaji Kontekstual ala Pesantren Sekarang
Najib Mubarok
Penulis Kolom

Dosen Ekonomi Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam NU Temanggung, Alumni S1 Matematika UIN Yogyakarta, S2 Matematika UGM, Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakrta, dan Pondok Pesantren Al-Ishlah Temanggung

Wiridan Konsolidasi dan Ngaji Kontekstual ala Pesantren Sekarang

pesantren

Selama lebih dari seperempat abad, saya hidup dalam lingkungan pesantren. Ada banyak hal yang menurut saya sangat unik dan membentuk paradigma berpikir saya dalam beragama. Namun, kali ini saya akan coba kemukakan dua idiom yang berkembang di tempat saya nyantri dulu, yaitu wiridan konsolidasi dan ngaji kontekstual.

Dalam peribadatan umat Islam, dikenal dua klasifikasi ibadah, hablun minallah ibadah secara vertikal dan hablun minannas secara horizontal. Namun dalam perkembangannya, ibadah mengalami penyempitan makna. Yang dimaksud ibadah adalah salat, puasa, i’tikaf, wiridan, atau ngaji Alquran saja. Bekerja mencari nafkah, bercengkrama bersama tetangga, kerja bakti, atau bahkan berorganisasi dianggap bukan ibadah. Munculnya idiom urusan dunia dan urusan akhirat menjadikan ibadah disempitkan dan terdikotomi separuhnya.

Ibadah bukan hanya yang vertikal saja, melainkan keseluruhan yang vertikal dan horizontal. Salat itu ibadah. Begitu pula bersalaman setelah salat, bercengkrama setelah salat, ataupun berdagang setelahnya, juga merupakan ibadah.

Tidak perlu ada pemisahan antara mana yang urusan dunia dan mana yang urusan akhirat. Dunia dan akhirat hanyalah keterangan tempat. Mungkin demikianlah alasan perlunya dikembangkan idiom wiridan konsolidasi dan ngaji kontekstual di tengah masyarakat kita untuk mengembalikan makna ibadah pada makna aslinya.

Wiridan Konsolidasi

Secara bahasa, wirid berasal dari bahasa arab warada yang berarti sampai atau datang. Adapun wiridan merupakan kegiatan membaca wirid selepas salat. Dalam pengertian ini, wiridan merupakan kegiatan ritual yang bersifat vertikal. Wirid yang paling banyak dijumpai di masyarakat adalah bacaan istigfar, tahlil, tasbih, tahmid, takbir dan selawat dalam jumlah dan urutan sesuai tuntunan tertentu.

Baca juga:  Islam di Banjar (2): dari Syekh Arsyad hingga Kontestasi Ustaz Baru di Medis Sosial

Wirid sangat dekat dengan kehidupan pesantren. Bahkan, kegiatan wiridan ini pada kebanyakan pesantren salaf telah menjadi adat kepesantrenan dalam kegiatan yang lebih luas. Wiridan tidak hanya menjadi rutinitas selepas salat, melainkan juga dilakukan dalam kegiatan rutin mingguan dalam bingkai kegiatan mujahadah, suatu rutinitas di pesantren yang mengajarkan penghambaan, doa, kepasrahan, dan ketawadukan.

Seiring perubahan zaman, pesantren dituntut mengalami perubahan. Dengan tanpa mengubah tradisi-tradisi klasik yang baik, terdapat satu kaidah yang dijadikan landasan yaitu:

المُحَافَظَةُ عَلَى القَدِيمِ الصَالِحِ وَالأَخذُ بِالجَدِيدِ الأَصلَح

“Melestarikan tradisi lama yang baik, dan mengambil terobosan baru yang lebih inovatif.”

Dilihat dari nilai-nilai moralitas yang terkandung di dalamnya, wirid dalam bingkai mujahadah merupakan tradisi lama yang baik dan harus dilestarikan di pesantren. Kemudian untuk menjawab tuntutan zaman dan modernisasi, pesantren dituntut menjadi satu institusi yang memiliki struktural jelas dan kuat, memiliki kelembagaan di dalamnya, serta haluan visi misi yang jelas. Dengan demikian, santri sebagai elemen utama pesantren dituntut mempunyai kemampuan berorganisasi yang baik. Antarsantri anggota organisasi pesantren membutuhkan sarana konsolidasi sebagai sarana komunikasi untuk memperkuat hubungan dan menyamakan persepsi.

‘Wiridan konsolidasi’ merupakan idiom baru yang berkembang di pesantren tempat saya nyantri dulu. Konsolidasi dapat diartikan sebagai upaya untuk memperkuat hubungan dan persamaan persepsi. Dengan demikian, wiridan konsolidasi merupakan kegiatan wiridan dengan substansi yang berbeda di dalamnya. Wiridan konsolidasi tidak membaca bacaan zikir pujian kepada Allah. Wiridan konsolidasi membacakan rencana dan evaluasi untuk dipahami bersama. Wiridan konsolidasi bukanlah ibadah ritual pesantren yang bersifat individual vertikal, melainkan horizontal dalam memperkuat kebersamaan dan komunikasi organisasi. Singkatnya, wiridan konsolidasi merupakan terobosan inovatif untuk memberi nilai tambah pada tradisi wiridan klasik di pesantren.

Kenapa konsolidasi ini disebut wiridan? Karena konsolidasi ini dilakukan bersama-sama seluruh santri, dilakukan selepas Salat Isya, dan berisikan ngaji kitab yang dipimpin sang kiai dengan sisipan muatan-muatan konsolidasi kepada seluruh santri sebagai anggota kelembagaan pesantren.

Lebih lanjut, wiridan konsolidasi mengupayakan kelengkapan kompetensi santri agar tidak terlalu sendika dawuh (taklid), tetapi juga memiliki jiwa kepemimpinan dan mampu berinisiatif. Dengan demikian, wiridan konsolidasi menjembatani para santri agar tidak terjebak dalam rutinitas ibadah vertikal saja, tetapi juga memiliki kesiapan saat terjun di masyarakat kelak.

Baca juga:  Agamaku dan Bedug

Ngaji kontekstual

Saat pertama mendengar kata ngaji, maka yang pertama kali terbesit adalah membaca Alquran, kajian kitab-kitab keagamaan, atau bahkan ceramah-ceramah. Terlebih bagi para santri, ngaji adalah tentang kajian kitab kuning, pemahaman nash beserta tafsirnya, atau hafalan Alquran dan bait-bait khusus dalam kitab-kitab. Demikian adanya, ngaji memang salah satu instrumen dalam pendidikan yang terbingkai dalam bungkus verbal tekstual.

Namun di balik itu semua, ada satu jens kegiatan yang sangat umum di banyak pesantren, memliki ruh pendidikan sangat kuat dan justru bertolak belakang dengan makna ngaji secara verbal. Kegiatan ini dapat kita namai ngaji kontekstual. Berbeda dengan ngaji pada umumnya, ngaji kontekstual tidak membutuhkan alat tulis, buku, kitab, apalagi papan tulis. Ngaji kontekstual hanya memerlukan guru dan lingkungan beserta fenomena-fenomena di dalamnya sebagai objek kajian kontekstualisasi.

Menjadi penderek (pengikut) kiai adalah salah satu contoh ngaji kontekstual bagi seorang santri. Saat menjadi penderek kiai, santri tidak diajarkan pengetahuan kandungan kitab tertentu. Santri sebagai penderek hanya mematuhi perintah kiai dan melayani kebutuhan kiai.

Dalam hal ini, kiai tidak mewariskan pengetahuan verbal kepada santri. Lebih luas daripada itu, secara tidak langsung santri mengamati cara berpikir kiai, karakter kiai, dan cara pengambilan keputusan yang dilakukan kiai. Dari kedekatan si penderek kepada sang kiai, terjadi transfer kepribadian, pola pikir, dan bahkan sikap mentalitas sang kiai kepada si penderek.

Terdapat sebuah potongan syair di dalam Ta’limul Muta’allim. Syair tersebut memiliki terjemah langsung sebagai berikut:

Baca juga:  Wayang dari Kacamata Gus Dur: Medium Transformasi Nilai-Nilai Masyarakat

“Tentang kepribadian seseorang janganlah kamu bertanya, tetapi lihatlah siapa temannya karena sesungguhnya orang yang menemani kepada yang ditemani selalu mengikuti (kepribadiannya).”

Ngaji kontekstual mengantarkan pelakunya untuk membaca dengan makna yang lebih luas, membaca yang tidak terbatas pada tulisan, membaca ayat-ayat kauniyah Allah SWT dengan melatih dan mengasah kepekaan hati dalam menyikapi masalah. Seandainya sistem pendidikan kita mengambil substansi ngaji kontekstual ini dan dimasukkan dalam kurikulum, mungkinckita dapat berharap akan terjadi perbaikan moralitas yang baik di negeri ini. Bukankah begitu?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top