Novia Anjaswari
Penulis Kolom

Novia Anjaswari, lahir pada tanggal 4 November 1997, di pelosok Desa Kabul Kecamatan Praya Barat Daya, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Pada 2016 setelah lulus dari sekolah menengah di kampungnya, ia melanjutkan studi di Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang.

Wua Malu dan Kehidupan Masyarakat Suku Lamalohot Nusa Tenggara Timur

233px Collectie Tropenmuseum Jonge Mannen Van Solor In Krijgskostuum Oost Flores Tmnr 10006079

Apa yang terbersit pertama kali dalam benak Anda ketika mendengar Nusa Tenggara Timur? Komodo? Atau Padang Savana?

Binatang prasejarah satu ini memang iconic sehingga tida heran bila banyak dari wisatawan lokal maupun mancanegara tertarik untuk berlibur ke provinsi satu ini. Namun, tahukah Anda bahwa Nusa Tenagga Timur menyimpan berbagai hal menarik lainnya, salah satunya tradisi tekan wua malu yang sarat makna dan filosofi. Masyarakat NTT memiliki falsafah hidup yakni; air sebagai sumber hidup (wae bate teku), air sebagai rumah (mbaru bate kaeng), air sebagai halaman (natas bate labar), air sebagai persembahan (compang bate), dan air sebagai kebun (uma bate duat). Falsafah hidup tersebut kemudian mendasari bagaimana masyarakat suku Lamaholot menjaga keseimbangan alam dengan terus merawat-ikat persaudaraan, dan salah satunya tercermin dalam kebiasaan makan sirih pinang.

Bila masyarakat Sasak (suku yang mendiami pula Lombok, Nusa Tenggara Barat) menyebut sirih-pinang dengan istilah mamaq lekoq buaq atau mamaq saja. Suku Lamaholot pun  memiliki penyebutan tersendiri yakni, tekan wua malu atau rekan wua malu.  Tekan atau rekan berarti makan atau ngunyah, wua berarti pinang, malu berarti sirih. Ada juga gambeng (gambir) dan apu (kapur) sebagai pelengkap pinang dan sirih. Tidak hanya itu, disediakan pula kuak atau tembakau kering yang biasanya digunakan untuk menggosok gigi dan membersihkan area sekitar mulut sehabis mengunyah pinang sirih. Secara pasti belum diketahui asal muasal kebiasaan ini bermula, meskipun konon tradisi ini sudah ada  sejak zaman neolitikum atau sekitar 3.000 tahun silam.

Baca juga:  Sabyan Gambus (1): Musik Islami Populer dan Politik Identitas

Sejak zaman nenek moyak sirih-pinang melekat dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat suku Lamaholot. Ini didasari pada keyakinan bahwa pinang, sirih, kapur, gambir dan koli bako merupakan satu komponen utuh yang menggambarkan penghomatan, pemulihan, persatuan, sopan santun, sebagai wujud rasa persaudraan tertinggi. Sehingga tidak heran bilamana pinang dan sirih selalu menjadi hal wajib dalam setiap ritus dan upacara tertentu seperti, ritual persembahan, pengobatan, pernikahan, kematian, sambut baru (kelahiran anak), masuk minta (meminang), hingga pagelaran budaya yang diselenggarakan pemerintah daerah.

Uniknya suku Lamaholot akan merasa sangat dihormati bila saat bertamu, mereka disuguhkan wua wayak malu dopin, terlebih bila ditambah seperangkat koli bako (koli=pucuk daun lontar kering, bako=irisan daun tembakau kering). Hal ini dikarenakan menempatkan wua malu simbol penghormatan tertinggi bagi sukunya; Lamaholot.

Mula-mula tradisi ini hanya digunakan untuk kesenangan saja. Seiring berjalannya waktu masyarakat suku Lamaholot meyakini bahwa makan sirih pinang memiliki manfaat seperti, dapat membuat gigi kuat, menghilangkan bau mulut, menghilangkan keputihan, menyehatkan rahim, mengobati gatal-gatal karena sakit pantangan (dekipnaok), dan memperindah bibir. Biasanya cara mengobati penyakit dekipnaok adalah dengan membawa anak yang sakit tersebut ke orang pintar lalu kemudian  diusapkan dulat (kunyahan pinang-sirih) pada bagian dada, dahi, siku, bahu dan telapak kaki.

Baca juga:  Tiga Tradisi Unik Ramadan di Maroko

Dalam ritual mistis dulat digunakan untuk mendeteksi santet atau ketika ada orang yang berniat buruk. Caranya adalah dengan mengubur pana wua malu (kunyahan pinang sirih yang dibungkus daun jagung) di persimpangan atau tengah jalan. Pana wua malu yang sudah dibacakan mantra kemudian dikubur saat waktu magrib atau subuh. Ketika pana wua malu diijak oleh yang berniat jahat tersebut maka ia akan langsung mendapatkan karma dari perbuatan jahat yang dilakukannya.

Perbedaan pendapat, adat istiadat, tradisi, agama atau kepercayaan kadang kala menimbulkan perselisihan. Alih-alih menyelesaikan dengan kekerasan, suku Lamaholot menggunakan cara kekeluaragaan dengan melibatkan kepala suku, ketua adat, tokoh agama. Pertama, dilakukan musyawarah untuk menemukan titik temu atau benang merah masalah. dicarikan solusi yang tidak merugikan bagi kedua belah pihak.

Puncak dari penyelesaian masalah ini ditandai dengan pertukaran  wayak (tempat pinang sirih) dan gelas tempurung yang sudah diisi dengan tuak di dalamnya. Kedua pihak yang bertikai akan makan pinang sirih dan minum tuak secara bersamaan. Prosesi ini disebut rekan wua gelu wayak, renu tuak pekap neak. Dari sinilah dimulainya penyatuan kembali ikatan persaudaraan yang sempat terputus.

Makan sirih-pinang tidak sembarang dilakukan semua orang karena rekan wua malu hanya boleh dilakukan bagi orang yang sudah berumah tangga. Pada ritual perkawinan, mulanya calon pengantin wanita diwajibkan melakukan ritual meratakan gigi dan calon pengantin pria diwajibkan menghitamkan gigi menggunakan minyak atau sari dari arang tempurung kelapa atau lazim disebut nutang.

Berikutnya, prosesi pemberian wua malu dan tuak putih kepada kedua belah keluarga, kerabat dan semua tamu yang hadir secara bergilir. Terakhir dilanjutkan dengan makan pinang-sirih bersama. Prosesi ini merupakan simbolisasi penyatuan dua keluarga besar. Setelah rangkaian prosesi adat berakhir, barulah pengantin dibolehkan makan pinang-sirih baik dalam ritual adat atau kesehariannya, sebagai tanda bahwa si perempuan sudah bersuami dan tidak boleh lagi diganggu oleh pemuda lain.

Baca juga:  Milad Gus Mus: Membuntuti Takdirnya sebagai Pelukis

 

 

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top