Kami berjumpa secara tidak sengaja di Victoria Market Melbourne, pada suatu pagi yang sejuk di bulan April 2015. Saat itu aku tengah menjadi visiting fellow di University of Melbourne dan pagi itu berjalan kaki berkeliling kota lalu membeli buah dan barang belanjaan lain di Pasar Victoria.
Di sana secara tidak sengaja aku bertemu dengan Sri Wiyanti Eddyono, kandidat doktor di Monash University, dan menjelang pulang kami bertemu dengan Pak Arief Budiman dan Bu Leila Chairani. Tentu kami sangat senang dan bangga bisa bertemu dengan sosok legendaris dalam ilmu sosial di Indonesia itu. Kami sempat berbincang sebentar dan berfoto bersama–entah siapa yang memotret aku lupa.
Mendapat gelar doktorandus di Psikologi UI dan menyabet doktor sosiologi dari Universitas Harvard, Arief merupakan sosok aktivis-intelektual par excellence. Disertasinya di Harvard diterbikan sebagai buku yang inspiratif oleh Penerbit Sinar Harapan pada 1987 berjudul: Jalan Demokratis ke Sosialisme: Pengalaman Chilli di bawah Allende.
Sama seperti adik kandungnya Soe Hok Gie, Arief yang bernama asli Soe Hok Djin ini merupakan aktivis sepanjang zaman. Namanya tercatat panjang dalam sejarah perjalanan melawan kekuasaan otoriter Orde Baru.
Golput alias Golongan Putih, misalnya. Gerakan pro-aktif dan provokatif dengan ‘tidak mencoblos’ sebagai bentuk perlawanan terhadap praktek pemilu curang dan manipulatif di masa Soeharto, merupakan salah satu bentuk gerakan protes yang diiniasinya pada 1971. Bisa disebut Arief adalah sumber inspirasi dan mentor banyak intelektual dan aktivis gerakan kritis di masa kediktatoran Orde Baru.
Ia juga tokoh penting dalam gerakan perlawanan terhadap pembangunan waduk Kedung Ombo di Boyolali pada penghujung 1980an. Pembangunan waduk demi kepentingan irigasi persawahan dan pembangkit listrik tenaga air itu mendapat dana pinjaman lebih dari 150 juta USD dari Bank Dunia. Demi mensukseskan agenda pembangunan Jenderal Soeharto itu lebih dari 5 ribu keluarga yang berasal dari 37 desa di 7 kecamatan di Sragen, Boyolali dan Grobogan terpaksa terusir dari rumahnya.
Masih banyak lagi aksi protes didukung dan melubatkan aktivis yang berasal dari keluarga Tionghoa itu.
Saya sendiri hanya bertemu dengan Arief di sejumlah forum diskusi di Yogya dan di kampus UGM. Salah satu yang masih saya ingat adalah ketika mahasiswa Fisipol UGM ingin mempertemukan dua ‘bintang kejora intelektual’ kampus waktu itu: Arief Budiman dan Amien Rais. Waktu itu kami ingin mendiskusikan buku Grand Failure: The Birth and Death of Communism in the Twentieth Century karangan Zbigniew Brzezinski yang terbit pada 1990. Sayangnya waktu itu Amien Rais tidak hadir. Sehingga perdebatan seru yang ditunggu-tunggu batal terjadi.
Ringkas cerita: menyusul pemecatannya sebagai dosen karena terlibat dalam gerakan protes dari Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, pada 1996 ia hijrah ke Australia dan menjadi profesor di Universitas Melbourne. Pada saat kami bertemu pagi itu pada 2015, kondisi kesehatan mantan guru besar sosiologi dan studi Indonesia di Universitas Melbourne itu sudah jauh menurun. Ingatannya mulai menurun dan tangannya acap gemetar didera penyakit Parkinson. Ia harus sering meminum bermacam obat untuk menjaga kondisi tubuh ringkihnya.
Aku mendengar cerita-cerita itu dari seorang teman Indonesia yang lama tinggal dan bekerja di Melbourne serta bersahabat baik dengan Pak Arief dan Bu Leila. Kami sempat mencoba mengontak untuk bertamu lewat Bu Leila tapi tidak ada kabar hingga aku pergi meninggalkan Melbourne setelah tinggal selama tiga minggu.
Hari ini sekitar jam 11.30 WIB kudengar kabar ia berpulang. Daniel Dhakidae, salah seorang teman baiknya, berkabar di sebuah grup WA. Sebelumnya aku sesekali mendengar kesehatannya yang makin menurun dari Dodi Ambardi, menantunya yang juga dosen di Fisipol UGM.
Selamat jalan Pak Arief, Guru Besar Sejati yang benar-benar besar dalam catatan sejarah dan kiprah hidupmu di republik ini. Engkau pergi namun inspirasi yang kau tebarkan sepanjang hidupmu tak akan pernah mati.
Dukacita terdalam untuk keluarga yang ditinggalkan, wa bil khusus Ibu Leila, Adrian Budiman dan Santi K. Budiman, juga para menantu dan cucu.
Alfatihah.
Lojajar Indah, 23 April 2020.