Secara sederhana, tingkatan kitab (banyak ditemukan pada bidang fikih) dapat dibagi menjadi tiga, pertama berupa matan, entah berbentuk narasi atau pun nazam. Biasanya padat dan ringkas. Kedua, berupa syarah atau penjelas dari kitab matan, sehingga penjelasan dalam kitab syarah lebih panjang dan terperinci. Terakhir, berupa hasyiyah atau komentar. Kitab ini tentu lebih panjang dan komprehensif karena merupakan penjelasan lanjutan dari kitab syarah.
Salah satu rujukan dasar dalam berfikih Mazhab Syafi’i, khususnya di pesantren adalah Kitab Fath Al-Qarib Al-Mujib. Kitab Fath Al-Qarib Al-Mujib dikarang oleh Syaikh Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim Al-Ghazi. Kitab ini merupakan syarah atau penjelas dari Kitab Matan At-Taqrib karya Syaikh Abu Thayyib atau yang terkenal dengan nama Abu Suja’ Ahmad bin Husain bin Ahmad Al-Asfihani.
Nama lengkap beliau adalah As-Syaikh Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Qosim Al-Ghazi. Lahir pada tahun 859 Hijriyah di Kota Ghuzah, satu wilayah di Syam. Beliau mengembara ilmu di Kairo, Mesir lebih tepatnya di Universitas Al-Azhar, kemudian mengembangkan, mengajar, bermukim, melahirkan karya-karya hingga wafat pada tahun 918 Hijriyah juga disana. (Facebook : Bajuri muin, 2013)
Selain nama “Fath Al-Qarib Al-Mujib”, nama lain kitab ini adalah “Al-Qoul Al-Mukhtasar”. Mengapa memiliki dua nama? Ini pengarang sesuaikan dengan kitab matan yang disyarahinya yang juga memilki dua nama, “At-Taqrib” dan “Ghayah Al-Ikhtishar”.
Pada dasarnya metodologi penyusunan kitab ini tidak jauh berbeda dengan kitab-kitab sejenis lainnya yang diawali dengan muqaddimah (pembuka/kata pengantar), kemudian kitab–kitab (bab) yang di dalamnya terdapat fasal-fasal (sub bab), dan diakhiri dengan khatimah (penutup). Selain Fath Al-Qarib masih terdapat beberapa kitab yang mensyarahi Kitab Taqrib. Di antaranya Kitab Kifayah Al-Akhyar karya Imam Taqiyuddin Al-Hishni dan Kitab Iqna’ karya Imam Khotib As-Syirbini.
Sebagaimana lazimnya kitab fikih, pada bagian pertama Kitab Fath Al-Qarib ini, Al- Ghazi membahas tentang beberapa tata cara pelaksanaan ibadah yang terdiri dari lima pembahasan, yaitu bersuci, shalat, zakat, puasa dan haji.
Selanjutnya, pada bagian kedua, Al-Ghazi membahas tentang masalah muamalah. Pembahasan tentang interaksi sosial dan ekonomi ini dibagi menjadi dua pokok pembahasan. Pertama, tentang hukum jual beli dan muamalah lainnya. Kedua, tentang hukum warisan dan wasiat.
Kemudian, pada bagian ketiga, Al-Ghazi membahas tentang pernikahan dan yang berhubungan dengannya. Dan pada bagian terakhir kitab ini, Al-Ghazi membahas tentang hukum hewan buruan, sembelihan, kurban dan makanan, perlombaan hewan dan lomba memanah, sumpah dan nazar, keputusan dan persaksian, dan tentang memerdekakan budak.
Kelebihan Kitab Taqrib di antaranya kelengkapan isi. Meskipun terbilang kecil tapi kitab ini memuat hampir semua kandungan fikih, mulai dari ibadah, muamalah, nikah, sampai jinayat dan bab-bab lainnya. Sementara Kitab Fath Al-Qarib melengkapinya dengan memberikan ta’rif (definisi) pada hampir semua bab dari thoharoh (sesuci) sampai ‘itq baik dari sisi bahasa atau pun istilah. Kelebihan kedua adalah metodologi. Kitab ini -seperti judulnya (ghoyah al–ikhtoshar)- sangat simpel dan singkat, bahasanya sederhana, dan mudah dipahami bahkan dihafalkan.
Dan terakhir, tidak terikat pada pendapat mayoritas. Salah satu contoh yang paling menyolok adalah adalah tentang niyyatul khuruj atau niat keluar dari sholat pada saat salam dikategorikan rukun. Mabit mina dan muzdalifah bukan wajib haji akan tetapi sunah. Yang demikian bisa kita maklumi karena Abi Syuja’ hidup sebelum Imam Nawawi, beliau mengambil pendapat dari mutaqoddimin dan ashabil wujuh yang mana temuanya dalam hal ini sama dengan Imam Rofi’i. Sekali lagi Ibn Qosim punya andil penting dimana kemudian memberikan penjelasan pendapat yang kuat dalam madzhab. (Facebook : Bajuri muin, 2013).
Kepopuleran Kitab Fath Al-Qarib dapat dilihat dari banyaknya buku-buku yang bermodal dari kitab ini. Mulai dari buku bermodel terjemah saku, seperti Fiqh Idola Terjemah Fathul Qarib, dua jilid (Abu Hazim Mubarak; Mukjizat, 2019) dan Terjemah Fathul Qorib, dua jilid (Muhammad Hamim HR; Lirboyo Press, 2015), buku terjemah tebal dilengkapi tanya jawab, seperti Menyingkap Sejuta Permasalahan dalam Fath Al-Qarib (Tim Pembukuan Anfa; Anfa Press, 2015), hingga berupa pemberian makna pegon, seperti Terjemah Fath Al-Qorib Al-Mujib (Ustad Ahmad Sunarto, Rembang; Maktabah Al-Hidayah, Surabaya, tanpa tahun).
Meskipun ‘kalah’ jika dibandingkan kitab-kitab sesama bidang fikih lainnya -apalagi yang merupakan hasyiyah, namun apresiasi banyak diterima kitab ini. Sebuah literatur mengatakan, konon Kitab Fath Al-Qarib menjadi pedoman para hakim di Kerajaan Demak Bintoro, Pajang, dan Mataram dalam memutuskan berbagai kasus.
Satu cerita juga datang dari KH. Dimyati Rois yang beliau dapat dari KH. Saifuddin Zuhri bahwa rujukan KH. Wahab Hasbullah (ketika itu menjadi Rois ‘Am NU) dalam memutuskan permasalahan terkait Irian Barat yang tarik ulur antara Belanda dan Indonesia saat Ir. Soekarno sowan kepada beliau adalah Kitab Fath Al-Qarib. (Alif.Id : Abdul Latif Malik, 2019).
Pengakuan akan Kitab Fath Al-Qarib sekali lagi datang dari KH. Dimyati Rois. Beliau mengatakan Kitab Fath Al-Qarib mampu menyelesaikan sepertiga permasalahan dunia, Kitab Fath Al-Mu’in separuhnya, dan Kitab Fath Al-Wahab keseluruhannya. (Alif.Id : M. Zahid Murtadlo, 2020)