Sedang Membaca
Membaca Humanitas Fikih dalam Pembatasan Waktu Shalat
Muhammad Az-Zamami
Penulis Kolom

Mahasantri Ma'had Aly An-Nur II Malang

Membaca Humanitas Fikih dalam Pembatasan Waktu Shalat

Gus Dur

قيد الطاعات بأعيان الأوقات، كيلا يمنعك عنها وجود التسويف، ووسع عليك الوقت كي تبقى حصة الاختيار

Segala ibadah dibatasi oleh waktunya masing-masing, agar kau tidak dihalangi “penundaan”. Dan di sisi lain, waktu ibadah juga dilapangkan. Agar kesempatan memilihmu masih ada.

Dilihat dari hubungannya dengan waktu, suatu ibadah dibagi menjadi dua; ibadah yang dibatasi waktu, dan yang tidak. Kategori pertama bisa kita lihat pada shalat lima waktu. Jamak kita ketahui, lima shalat yang dilakukan hanya bisa ditunaikan dalam waktu-waktu tertentu. Dalam teori fikih dasar, seseorang yang melakukan shalat fardhu di luar waktu yang telah ditentukan, shalat yang dilakukan tidak sah.

Yang kedua adalah ibadah-ibadah anjuran, mandubat bahasa fikihnya. Untuk ibadah kategori ini, sebagian ada yang dibatasi waktu, dan yang lain tidak. Ambil contoh untuk kategori pertama seperti shalat Dhuha dan Tahajud. Untuk kategori kedua, kita bisa melihat shalat sunah mutlak yang bisa dilakukan kapan pun.

Dari sedikit paparan di atas dapat disimpulkan bahwa, Allah memberikan kita dua hal positif terkait dengan waktu ibadah; pembatasan waktu dan pelonggaran waktu. Apa maksud dari dua hal positif ini?

Alasan mendasar dari adanya pembatasan waktu adalah bahwa, jika seorang hamba “dipanggil” Allah, dia akan memiliki suatu bentuk tanggung jawab kepada Tuhannya. Ambil contoh shalat Zuhur. Shalat Zuhur yang kita tahu hanya terbatas pada pukul dua belas hingga setengah tiga misal. Dengan demikian jika sudah terbatas hingga pukul setengah tiga, mau tidak mau kita harus melakukan sholat Zuhur pada waktu itu.

Baca juga:  Yudian Wahyudi, Pancasila dan Maqashid al-Syari’ah

Sehingga, kita bisa membayangkan dampak yang terjadi jika shalat lima waktu tidak dibatasi. Rasa ingin menunda-nunda akan terus ada. Jika penundaan itu terus terjadi, maka rasa malas akan menyerang. Semakin lama, rasa malas sudah menjangkiti, yang tersisa adalah ketiadaan melakukan ibadah. Maka ibadah-ibadah fardu akan kehilangan esensi sebagai ibadah yang wajib dilakukan.

Begitu pula sebaliknya. Sekalipun ibadah-ibadah tadi dibatasi waktu, namun Allah juga memberikan kelonggaran waktu yang dirasa cukup panjang untuk memilih mana waktu yang tepat untuk beribadah. Terkait perspektif ini, Syaikh Said Ramadhan al-Buthi menyatakan bahwa;

Kelonggaran waktu yang disediakan Allah tak lain tujuannya agar kita bisa memilih waktu yang kiranya tepat dan bisa beribadah dengan tenang.

Kita tidak bisa membayangkan jika suatu ibadah, terlebih yang fardhu tidak memiliki kelonggaran waktu. Orang-orang yang sedang makan harus berhenti mendadak, para karyawan dan pekerja yang sedang sibuk akan terganggu, para orang tua yang sedang mengasuh anak-anaknya akan kebingungan -kalau orang Jawa Timur Kulonan menyebutnya rebyek-, atau mungkin, orang-orang yang sedang di jalan akan ribet mencari tempat berhenti untuk sholat

Sehingga akan timbul persepsi buruk mengenai shalat; shalat sebagai problem. Tidak logis juga kemudian Allah mewajibkan sesuatu sedang kewajiban itu malah menimbulkan masalah lain yang merepotkan.

Baca juga:  Ulama Kita, Pegon dan Bahasa Melayu

Nah, gaya beribadah yang Allah buat melalui pelonggaran waktu adalah sebuah anugerah besar. Anugerah itu lah yang kemudian Nabi aplikasikan dalam hidupnya. Ada satu hadis menarik yang pernah Nabi sampaikan terkait hal ini:

حَدَّثَنَا مُعَلَّى بْنُ أَسَدٍ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ أَبِي قِلَابَةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «‌إِذَا ‌وُضِعَ ‌العَشَاءُ وَأُقِيمَتِ الصَّلَاةُ، فأبدئوا بِالعَشَاءِ»

Mualla bin Asad bercerita bahwa Wuhaib dari Ayub dari Abi Qilabah dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda: “Kalau makan malammu sudah dihidangkan bersamaan shalat akan ditunaikan, makan saja dulu”. (HR. Bukhari)

Maka, ada sedikit kesimpulan bahwa seorang hamba yang baik adalah hamba yang bisa menempatkan sesuatu pada porsinya masing-masing. Jika kita berada di kondisi yang sudah seharusnya untuk menunaikan shalat, kita harus segera menunaikan. Karena itu adalah bentuk tanggung jawab. Namun, jika kita berada pada kondisi waktu yang masih longgar, kita harus cakap memilih waktu yang kiranya bisa digunakan untuk beribadah dengan khusyuk dan tenang.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top