Gus Dur termasuk orang yang sangat sering mengunjungi pusara tokoh-tokok berpengaruh di banyak daerah. Setiap mendatangi sebuah wilayah, dia berusaha menemukan siapa tokoh yang berjasa dalam membangun wilayah itu sejak awal. Gus Dur tidak hanya menziarahi mereka yang dikenal luas, namun juga yang senyap dari hiruk pikuk massa. Begitulah cara dia menghormati para pejuang di masa lalu.
Dompu sebagai salah satu kabupaten di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) juga memiliki ceritanya sendiri. Di tengah masyarakat yang semakin pragmatis dan oportunis, tempat ini menyimpan banyak kisah orang arif yang pernah hidup dan mengabdikan diri membangun masyarakat setempat. Tidak seperti daerah lain di Indonesia, Dompu barangkali tidak setenar kota-kota besar. Orang bisa jadi lebih mengenal daerah Bima yang bersebelahan dengan wilayah tersebut, karena Bima memiliki salah satu ulama tersohor di Nusantara. Itu sebabnya dalam berbagai karya yang telah ditulis, Bima selalu menempati posisi yang sangat penting dalam jaringan ulama Nusantara.
Menyebut Bima akan membawa ingatan orang langsung tertuju pada Syekh Abdul Ghani Al-Bimawi (1780 – 1853). Dia adalah ulama yang sangat tersohor dan menjadi simpul jejaring ulama Nusantara. Syekh Abdul Ghani lahir di Bima dari Syekh Subuh yang merupakan keturunan Timur Tengah. Setelah tumbuh berkembang, ia kemudian beranjak ke Makkah untuk berguru pada ulama terkenal Makkah, hingga akhirnya berinteraksi dan disebut sebagai guru dari ulama sekaliber Syekh Nawawi Banten dan Syekh Kholil Bangkalan Madura. Syekh Abdul Ghani menghabiskan masa hidupnya di Makkah dan meninggal di sana.
Walaupun Syekh Abdul Ghani semasa hidupnya banyak mengabdi di Makkah dan bahkan meninggal juga di Makkah, namun di Dompu beliau masih punya keturunan yang melanjutkan perjuangannya, yaitu Syekh Mansur. Syekh Mansur merupakan anak dari Syekh Abdul Ghani yang tinggal di Dompu. Dari Syekh Mansur inilah selanjutnya lahir Syekh Mahdali yang kemudian melanjutkan perjuangan ayah dan kakeknya.
Syekh Mansur sendiri, menurut keterangan Ibu Fatimah selaku putri dari Syekh Mahdali menyebutkan jika Syekh Mansur meninggal di Dompu dan dimakamkan juga di sana. Sayangnya, saya masih belum sempat mengunjungi pusara beliau. Menurut Ibu Fatimah, Syekh Mansur memiliki dua makam. Saya belum menanyakan lebih jauh tentang Syekh Mansur, sebab saat itu waktu kian sore dan waktu berbuka akan segera tiba. Jadi, saya segera pamit dari kediamannya. Semoga di lain waktu saya bisa menuliskan kisah hidupnya dalam tulisan yang lain. Di tulisan ini saya hanya ingin membuat catatan singkat tentang Syekh Mahdali.
Sebagaimana keterangan Ibu Fatimah, Syekh Mahdali diperkirakan lahir sekitar tahun 1893 di Dompu dan meninggal pada tahun 2000 pada usia yang mencapai seratus tahun lebih. Saat ini, rumah Syekh Mahdali ditempati oleh Ibu Fatimah selaku putri beliau sendiri. Lokasinya berada di jalan lintas Hu’u, Desa Kareke, Kabupaten Dompu. Tepatnya berada di tengah sawah yang merupakan komplek makam Syekh Mahdali. Sewaktu hidupnya, Syekh Mahdali aktif membina masyarakat Dompu baik melalui dakwah Agama Islam maupun pemberdayaan petani.
Ibu Fatimah mengisahkan ayahnya dalam berdakwah itu agak unik. Pertama, sebagaimana para pendahulu beliau, Syekh Mahdali berdakwah melalui jalan berdagang. Jika masyarakat sekarang berdagang dengan memberikan barang lalu mendapatkan uang sebagai bayaran dari harga barang yang dijual, Syekh Mahdali sedikit berbeda. Sewaktu bertemu dengan calon pembeli dia terlebih dahulu menanyakan kepada mereka apakah mereka bisa mengucapkan syahadat atau tidak. Jika si pembeli bisa melakukannya, maka barang dagangan kemudian diserahkan.
Begitulah cara Syekh Mahdali mengajarkan Islam kepada warga, mendatangi mereka untuk berdagang sekaligus mengajarkan nilai-nilai keislaman. Tampaknya, berdagang merupakan jalan interaksi yang memangkas jarak dengan masyarakat sekitar tempat dia berdakwah sehingga hubungannya sangat dekat karena berhadapan langsung dengan warga. Cara ini membuat interaksi lebih akrab dan penyampaian ajaran bisa lebih leluasa dan efektif. Dalam perkembangannya, estafet perjuangan yang telah diteruskan dari waktu ke waktu oleh para ulama membuat Islam akhirnya dapat diterima oleh masyarakat Dompu.
Kedua, beliau sangat dikenal hati-hati dalam berdakwah. Ibu Fatimah mengatakan, Syekh Mahdali tidak akan mengatakan kepada orang lain apa yang tidak dilakukan oleh dirinya sendiri. Ya memang begitulah seharusnya, kesatuan antara laku hidup dan apa yang dikatakan. Kalo menggunakan bahasa Pramoedya, orang bahkan harus jujur sejak dalam pikiran. Dan kita selalu menemukan laku hidup yang arif dari para ulama (bukan orang yang mengaku ulama). Para ulama memiliki kedalaman ilmu dan pencapaian spiritual yang tinggi hingga membuatnya menjadi oase di tengah publik. Ajarannya pun segar dan menyegarkan, bukan sumur air asin. Kemampuannya dalam menghilangkan dahaga itu pula yang membuatnya menjadi magnet dan meraih banyak pengikut.
Ketiga selain aktif berdakwah melalui jalan berdagang, Syekh Mahdali juga memberdayakan para petani di daerah Dompu. Salah satu kegiatan pemberdayaan yang banyak diceritakan ialah keberhasilan dia untuk menginisiasi penanaman kacang hijau bersama para petani setempat. Bahkan karena keberhasilan beliau ini, Syekh Mahdali dikenal luas di daerah Dompu dengan sebutan Sehe Boe. Sehe dalam bahasa Embojo sama dengan syekh dan boe berarti kacang hijau. Bahkan hingga saat ini, orang-orang Dompu tetap melekatkan sebutan Sehe Boe pada dirinya.
Berkat jasanya itu, Syekh Mahdali atau Sehe Boe sempat diusulkan memperoleh penghargaan Kalpataru oleh pemerintah Dompu namun beliau menolak karena tidak ingin terjebak pada pujian manusia. Di sinilah pentingnya keikhlasan yang ditunjukkan oleh Syekh Mahdali dalam berjuang. Berjuang membangun masyarakat, bangsa, dan negara lahir dari sikap tanpa pamrih bukan mengharapkan pujian manusia, jabatan, maupun kekayaan. Wallahua’lam.