Kendaraan kami hidupkan dan mulai menyusuri jalan yang berliku. Sebagaimana topografi pulau Sumbawa pada umumnya, Dompu dikelilingi oleh pengunungan yang berjejer, hampir tak ada celah. Akibatnya, kami harus melintasi punggung gunung untuk sampai di sana. Kendaraanpun tak jarang harus menghadapi tanjakan terjal dan meliuk di ujungnya mengikuti lekuk pegunungan. Di saat musim hujan datang, lereng pegunungan tampak menghijau sejauh mata memandang. Bila pagi dan sore tiba semburat rona jingga di ufuk sana kian menambah keindahan dan memanjakan mata yang memandang.
Kendaraan terus kami pacu. Beberapa kali harus melewati bekas kubangan lumpur yang mengering. Di balik keindahan bentang alam, bila musimnya tiba, hujan yang jatuh melewati lekuk pengunungan tumpah di jalanan bercampur sampah dan lumpur, menjadi banjir dan memaksa siapa saja yang melintas mengurangi laju kendaraan bahkan harus berhenti. Ini adalah fenomena alam yang tidak terputus dari ulah manusia.
Hutan yang berfungsi sebagai resapan air sejak lama telah menjadi objek ekploitasi, tepatnya kala Orde Baru mulai berkuasa aktifitas penebangan kayu telah dilakukan bahkan hingga saat ini. Ditambah lagi dengan pembukaan hutan secara besar-besaran demi penanaman jagung. Semuanya kian memperburuk situasi yang ada. Baru beberapa waktu lalu media bahkan ramai dipenuhi dengan informasi banjir bandang yang melanda wilayah ini.
Bila fenomena alam semacam itu terjadi, dia tidak pandang bulu. Siapapun bisa menjadi korban, bukan hanya mereka yang jahil karena merusak alam tapi mereka yang bahkan menjaganya sekalipun. Begitulah alam bekerja, mereka yang mengeruk dan mengeksploitasinya, orang lain pun ikut celaka. Beruntung saat melakukan perjalanan ini, musim tengah mengalami transisi sehingga hujanpun mulai jarang turun. Tapi, sisa kubangan lumpur yang mengering masih terdapat di sana-sini.
Memasuki kabupaten Dompu, kami mulai mengurangi laju kendaraan hawatir jika tempat yang kami tuju, pusara Syekh Mansyur, terlewati. Karena kebingungan, kami menghentikan kendaraan di pinggir jalan, menemui beberapa warga yang sedang berkerumun untuk memeroleh informasi. Tidak sesuai harapan, mereka ternyata tak mengetahui sama sekali tokoh yang kami maksud. Bahkan hingga berulang kali kami berhenti bertanya, tak satupun memberi jawaban pasti. Mungkinkah senggang waktu yang cukup lama antara masa hidup tokoh tersebut dengan masa sekarang mengakibatkan banyak orang tak tau tentang mereka? Ya, itu bisa saja terjadi. Tapi, apakah senggang waktu itu lantas kita jadikan alasan tak mau tau tentang mereka?
Walaupun tak kunjung menemukan informasi yang pasti, kami terus menelusuri di mana Syekh Mansyur meninggalkan jejak terakhirnya. Bahkan kami sempat menaiki bukit karena mengira di sanalah makam beliau berada. Tak diduga-duga di atas bukit tersebut, kami justru menemukan makam tokoh Dompu yang lain, yakni Syekh Abdurrahman. Semoga di lain kesempatan, saya dapat menuliskan sedikit tentang siapa Syekh Abdurrahman yang kondisi makamnya memperihatinkan karena ditutupi semak belukar sampai-sampai hampir tak kelihatan.
Perjalanan berlanjut, kami meninggalkan makam tersebut dan berusaha kembali menemukan makam Syekh Mansyur. Akhirnya, setalah lama memacu kendaraan, kami menemukan orang yang tepat. Sesaat setelah kami menyapanya dan bertanya sambil tersenyum dia mengatakan, “Syekh Abdul Ghani”. “Ya betul Syekh Abdul Ghani. Dia adalah anak dari Syekh Abdul Ghani”, saya membalas. Dia lalu mengarahkan telunjuknya ke sebelah barat dan kamipun bergegas ke arah sana. Tak jauh dari sana terdapat masjid yang tidak terlalu besar, namanya Masjid Abdul Ghani. Sesuai petunjuk orang yang kami jumpai, sepertinya kami telah menemukannya. Kami merasakan rasa puas yang hebat saat melihat bagian belakang masjid. Ternyata, di sanalah pusara Syekh Masyur berada di kelilingi oleh makam-makam lain.
Syekh Masyur yang saya kunjungi kali ini merupakan anak dari Syeh Abdul Ghani Bima yang tinggal di Dompu dan melanjutkan dakwah ayahnya di sana hingga kemudian meninggal di sana. Dalam sejarahnya, Syekh Mansyur pernah dijadikan sebagai qadi (hakim) pada masa kesultanan Dompu. Dari Syekh Mansur inilah kemudian lahir Syekh Muhammad dan Syekh Mahdali atau dikenal dengan julukan Sehe Boe yang sempat saya kunjungi pusaranya beberapa waktu lalu dan berjumpa dengan salah satu putrinya. Pusara Syekh Mansyur terletak di kelurahan Potu, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat tepat di belakang sebuah masjid yang diberi nama Masjid Abdul Ghani.
Mengunjungi pusara tokoh-toko apalagi ulama semacam itu bagi saya bukan hanya mengharap barkah sebagaimana sering disampaikan. Barakah memang menurut saya tak perlu diharap-harapkan. Ibarat orang memberi tak perlulah mengharapkan imbalan.
Hal penting lainnya ialah, pusara semacam itu adalah fakta sejarah. Iya menjadi bukti bahwa dahulu pernah ada orang yang berjuang membangun sebuah wilayah terutama dalam konteks membangun jiwanya. Sebab, para ulama memang bukan hanya memoles fisik. Ia terutama membangun jiwa masyarakatnya. Pusara orang arif sebagaimana keturunan Syeh Abdul Ghani, Syekh Mansyur dan Syekh Mahdali, membawa saya melihat kembali ke masa lalu. Sebuah ingatan yang membuat saya melihat sisi lain dari daerah ini. Di tengah sikap pragmatis dan geliat pembangunan fisik yang terus digalakkan, dahulu ada orang yang pernah berjuangan dengan tulus membangun jiwa masyarakat daerah ini.
Itu sebabnya, saya terkadang merasa sangat nyaman saat mengunjungi makam orang-orang yang berpengaruh, seperti ada kepuasan spiritual tersendiri yang sulit diungkapkan. Tidak jarang, mereka yang telah terbujur kaku di dalam tanah selama puluhan bahkan ratusan tahun leblih banyak memberi pelajaran dibandingkan dengan banyak manusia dewasa ini. Ini bukan berarti saya sama sekali tak menaruh kepercayaan pada manusia moderen saat ini. Semoga perjumpaan saya dengan keturunan ulama ternama dari daerah ini menuntun saya berjumpa dengan tokoh-tokoh lainnya.