Sedang Membaca
Siapa Bilang Waktu Itu Uang?
Avatar
Penulis Kolom

Pengamat sastra mutakhir Indonesia, dosen perguruan tinggi La Lansa, Rangkasbitung, Banten Selatan.

Siapa Bilang Waktu Itu Uang?

Transaksi

Seorang pakar bahasa dan antropolog, Daniel L. Everett, dalam bukunya yang terkenal, “Don’t Sleep, There Are Snakes” (2009), menyampaikan kesaksiannya saat ia tinggal bersama suku pedalaman Piraha (Brasil) selama beberapa tahun. Ia pernah bertanya kepada para penduduk Piraha, mengapa mereka tak memiliki konsep tentang harga dan angka-angka, juga tak pernah menimbun bahan pangan untuk keperluan sehari-hari. Mereka pun menjawab, “Untuk apa kami menyimpan makanan, bukankah kami sudah menyimpan daging di perut saudara-saudara kami?”

Mereka begitu yakin bahwa alam adalah sumber kehidupan mereka. Dan mereka menganggap bahwa saudara-kerabat maupun tetangga-tetangga mereka adalah bagian dari alam juga. Adakalanya mereka kelaparan dan kekurangan pangan, tetapi seringkali mereka justru berkumpul bersama dan makan besar-besaran.

Everett menyampaikan kesaksian secara mendetil dalam bukunya tersebut. Tampaknya mereka tak begitu cemas dan khawatir, besok mau makan apa. Justru tingkah-laku mereka seperti anak-anak kecil yang cuek bebek saja. Tak peduli orang tuanya punya duit atau enggak, mereka terus saja bermain dan berlarian sepanjang hari bersama teman-temannya.

Coba bandingkan dengan kehidupan ala modern yang kita jalani selama ini, yang serba sibuk merencanakan pencapaian dan kesuksesan di masa depan. Berapa banyak kesempatan dan kenikmatan hidup yang kita lewatkan karena pikiran kita sedang mengembara dan berkhayal ke mana-mana? Terkadang, khayalan yang melambung-tinggi telah menghilangkan akal sehat, hingga terus-menerus hidup dalam kerangkeng kecemasan, depresi hingga frustasi.

Baca juga:  Solusi Islami Memberdayakan Ekonomi di Masa Pandemi

Penduduk Piraha, sebagaimana penduduk pedalaman Lebak di Baduy Dalem (Banten), seakan tak mencemaskan hari esok, mereka merasa serba tercukupi, dan segalanya seakan baik-baik saja. Tinggal kembali saja kepada alam, dan menjadi bagian darinya. Mereka hanya menerima yang disuguhkan oleh kehidupan, tidak menyesali apa pun, dan tidak sibuk pontang-panting mencemaskan masa depan.

Krisis pribadi

Persoalan masyarakat modern dengan segala kagalauan dan kepanikan yang menyelimutinya, tak lain disebabkan mereka tak sanggup mengidentifikasi diri. Krisis kepribadian mereka karena kekhilafan dan kealpaan untuk meluangkan waktu hingga tak sanggup memaknai diri. Akibatnya, mereka terus saja berpikir bahwa segepok uang akan sanggup menyelesaikan berbagai persoalan sosial, kriminalitas hingga kerusakan ekosistem yang terus-menerus dihadapi hingga detik ini.

Konsep uang seakan merangsek dan menyusup masuk hingga menguasai segala informasi perihal kebudayaan manusia. Segalanya tak lepas dari urusan harga dan angka-angka, baik soal makanan, pendidikan, permainan, kesehatan, informasi, media, hingga ke urusan ngobrol dan bercakap-cakap.

Manusia modern terus didorong untuk membicarakan urusan harga dan merk-merk terbaru, seakan memutuskan hubungan dengan segala hal yang dianggap tak bermakna dan tak bernilai. Lihatlah fenomena yang kita hadapi sehari-hari, dan tampak jelas tergambar dalam buku Perasaan Orang Banten (yang ditulis oleh warga kelahiran Banten sendiri), betapa urusan uang telah memicu pertengkaran, percekcokan, kenakalan remaja, perampokan, kriminalitas, kekerasan dalam rumah-tangga, hingga kasus-kasus perceraian dan pembunuhan. Betapa seringnya uang yang menjadi alat ukur, serta menjadi faktor pemicu dalam segala pertikaian dan pertempuran itu.

Baca juga:  Kulit dan Isi: Menimbang Ekspresi Keberagamaan

Uang seakan dijadikan alat fundamental agar kita sanggup mengendalikan nafsu-nafsu hewani yang ada dalam diri kita. Uang seakan menjadi pengganjal dan penghubung untuk menangani keterputusan hubungan dengan apa yang kita cintai. Seolah hanya dengan uang, kita dapat memperkokoh dan mempertahankan ilusi keterpisahan itu. Ya, uang telah membutakan mata-hati kita, manusia modern, yang membuat mereka bergantung sampai-sampai membuat banyak orang kehilangan akal sehatnya.

Mengorbankan akal sehat

Dengan kata lain, kebanyakan manusia modern telah mengorbankan kesehatannya demi uang. Ironisnya, uang itulah yang membuatnya bergantung untuk memulihkan kembali kesehatan yang hilang. Kemudian, mereka merasa gelisah akan masa depan sehingga tidak mampu menikmati masa kini. Bukankah dengen begitu, kita sudah bisa memprediksi bahwa manusia modern takkan mampu menikmati hidup di masa kini maupun masa yang akan datang? Mereka bahkan terobsesi untuk hidup selamanya demi menjaga uang, dan pada akhirnya toh mereka akan mati juga, tanpa dapat menghayati arti kehidupan yang sebenarnya.

Uang seakan menjelma sebagai sesuatu yang paling vital, serta menancapkan sendi-sendi cita rasa yang tak kasatmata. Ia telah menyempitkan pandangan dan persepsi manusia akan alam dan lingkungannya. Ia terus masuk dan merangsek hingga ke pedalaman, dusun dan perkampungan, agar memiliki keseragaman dalam memaknai jumlah dan angka-angka, mendesak seluruh masyarakat agar memasuki peradaban global yang dipaksakan.

Uang seakan menempati kedudukan dan posisi yang lebih tinggi, sehingga membutakan pandangan manusia akan segala sesuatu yang lebih urgen darinya. Keadaan ini paling kentara jelas dalam soal manajemen waktu, yang seakan sanggup dipaksakan oleh kepentingan uang terhadap hajat hidup umat manusia.

Baca juga:  Laut dalam Literatur Islam Nusantara

Karena itu, berhati-hatilah, kalau Anda sudah masuk dalam jebakan uang dan utang (debt trap) ia akan membetot kesadaran dan kesehatan mental Anda, hingga Anda mau tak mau menjadi abdi-abdi dari pihak yang berpiutang, bahkan terkerangkeng menjadi budak dari keberadaan uang itu sendiri.

Jika Anda banyak menimbun utang, mau tak mau sebagian dari jiwa Anda telah tergadaikan, atau terperangkap dalam jebakan masa lalu. Tetapi sebaliknya, jika Anda sibuk menumpuk-numpuk uang (baik di rekening maupun di bawah bantal), maka Anda akan terjebak dalam kesibukan memikirkan hari ini dan masa depan. Dan berapa banyak orang yang sibuk menumpuk uang, tapi tak merasa nyaman untuk tidur, bagaikan dikerumuni ular atau kalajengking yang menggeremet di sekitar tempat tidur mereka.

Menjalani bulan Ramadhan yang penuh keberkahan ini, mulailah berpikir untuk mendermakan sebagian kekayaan yang kita miliki, lalu keluarkan segala hal atau benda-benda apa saja yang tak terpakai, untuk segera disedekahkan kepada mereka yang paling membutuhkan pertolongan. (*)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top