Untuk pendidikan sastra Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim, selain karya-karya Ronggowarsito dan Diponegoro (pribumi), perlu juga kita berkaca pada karya sastra asing seperti Najib Mahfudz (Mesir), sang peraih nobel di bidang kesusastraan (1988).
Dalam sebuah roman trilogi berjudul “Antara Dua Istana”, Mahfudz melukiskan perseteruan antara kepercayaan pada adat yang dianggap keramat dengan tuntutan kemanusiaan yang harus menjadi pijakan keluarga-keluarga Mesir. Persoalan-persoalan yang dikemukakan sebenarnya hanya realisme ringan, tetapi selalu mengandung permasalahan eksistensial yang gawat. Pelukisan karakter yang mengundang simpati, betapa di ranah Nusantara seringkali kita menghadapi tradisi-tradisi yang dikeramatkan hingga menjadi aturan baku yang seolah-olah “hukum agama”.
Tradisi yang dikeramatkan itu diungkap dengan gaya bahasa yang luar biasa merakyat, seperti juga pada karya lainnya, “Lorong Midaq” yang menggambarkan dunia pelacuran di lorong-lorong perkotaan Mesir pada pertengahan abad ke-20. Dengan mengungkap pemberontakan dan pergolakan kaum wanita yang menuntut persamaan hak. Namun, ketika tuntutan itu tidak ditemukan penyelesaiannya dalam kehidupan rumah-tangga, serta pemerintanh tak punya kesanggupan meningkatkan taraf hidup rakyat, akhirnya wanita-wanita Lorong Midaq, suatu daerah yang dikenal religius sekalipun, tetap memiliki potensi besar untuk menyeleweng dari rel-rel keagamaan.
Gugatan kepada iklim kapitalisme, tanpa harus menyatakan “ulah kaum kapitalis” dikemukakan secara genuine dalam gaya sastra kontemporer. Secara implisit, Mahfudz menyatakan, betapa suatu masyarakat yang berekonomi lemah, yang terlindas oleh kebutuhan-kebutuhan konsumsi bagi kaum metropolis, serta harus mengikuti mode maupun tren zaman, sangatlah rawan bagi mereka untuk berpaling dari jalan yang benar. Hal ini sudah diwanti-wanti oleh peringatan Nabi Muhammad bahwa, “Kemiskinan dan kemelaratan adalah jalan mudah untuk berbelok kepada kekufuran.”
Karya-karya sastra yang menampilkan realitas kehidupan manusia pada zamannya, seakan-akan menciptakan benteng pengamannya sendiri. Ia tidak bicara soal pengultusan, atau penghakiman yang bersifat hitam-putih belaka. Ia tak bisa ditembus oleh segala macam hoaks dan kebohongan yang diperuntukkan untuk kepentingan politis sesaat belaka. Dengan demikian, betapa nisbi dan semu segala keangkuhan intelektual manusia di hadapan universalitas sastra. Betapa dangkal orang yang mudah menebar fitnah dan mendiskreditkan pihak lain (wong liyan) serta merasa dirinya paling bersih dan suci.
Seringkali, sebagian masyarakat terlampau mengusik kadar keimanan dan keyakinan pihak lain. Sementara, wilayah sastra bicara dalam konteks membaca diri, bahwa keimanan yang sebenarnya adalah apa yang tersirat dalam kalbu, dan dibenarkan oleh tingkah laku. Karya sastra lebih fokus pada upaya muhasabah dan introspeksi diri, bahwa di mata Tuhan boleh jadi apa-apa yang mereka perjuangkan sebagai “ibadah” tahu-tahu tidak masuk dalam kategori “takwa” yang dikehendaki oleh-Nya. Atau boleh jadi, seorang pelaku maksiat yang menolong anjing bulukan yang sekarat, kemudian dibersihkan, diberi makan dan dirawat, justru Tuhan tidak lagi memandang segala kemaksiatan karena sudah tertutupi oleh amal baik yang nampaknya sepele di mata manusia, namun dalam pandangan Tuhan, hal itu bermakna sangat besar.
Inilah yang membedakan nilai-nilai religiositas dengan formalisme hukum agama. Sebagaimana karya-karya Pramoedya yang banyak menggugat ketidakadilan sistem, pada prinsipnya yang ia perjuangkan adalah nilai-nilai humanitas dan kemanusiaan. Karena itu, bersifat lintas religi, melampaui formalisme hukum agama (lokalitas), serta membawa nilai-nilai peradaban Indonesia ke kancah universalitas sastra dunia.
Dalam pengungkapan literasi kesusastraan, memang kenyataan riil dari pergolakan jiwa-jiwa manusia layak diangkat ke permukaan, hingga dapat mengambil hikmah dari persoalan religiositas yang menjadi moral massage dari karya sastra. Nilai kemaslahatannya sangat penting bagi pembaca, bukan semata-mata mengasah kecerdasan intelektual, tapi juga pendalaman makna yang menyangkut nurani dan kalbu manusia.
Dengan kesanggupan menelusuri kedalaman psikologi manusia, kita pun dapat menyimpulkan betapa debat-debat keagamaan mengenai hal-hal dogmatis (khilafiyah) sebenarnya tidak menyentuh hal-hal substantif tentang perjuangan moral dan hatinurani umat, serta tidak menentukan proses kedewasaan iman yang diajarkan dalam ayat-ayat kontekstual.
Tanpa bicara secara eksplisit mengenai pesan agama yang bertaburan dalil-dalil, karya-karya Pramoedya maupun Solzhenitsyn sama-sama mengungkap tokoh utama di suatu negeri, bahwa mesti akan hadir orang-orang beriman yang menjadi saksi sejarah atas penderitaan suatu bangsa yang diakibatkan ulah ketidakadilan penguasa.
Karya-karya tersebut mengisyaratkan sikap manusia religius yang sadar bahwa dirinya diserang oleh bertubi-tubi penderitaan tetapi bertekad untuk goes on fighting. Bahwa sang tokoh masih punya harapan yang berpangkal dari kepercayaan, memang ada suatu kebenaran dan keadilan yang dijanjikan Tuhan, sehingga perjuangan manusia beriman akan diganjar dengan harga biaya korbannya.
Dalam salah satu cerpen Kuntowijoyo (Sepotong Kayu Untuk Tuhan), ia mampu menuturkan dengan fasih dengan memanfaatkan imajinasi surrealisme yang mengatasi gaya realisme sosialis. Cerpen itu juga bicara tentang religiositas, agama dan mitologi Jawa. Diceritakan tentang seorang kakek tua yang bertobat dan ingin menyumbang sebongkah kayu nangka paling besar dari kebunnya untuk pembangunan sebuah masjid di kampungnya. “Ya Allah, hanya aku dan Kau Yang Maha Tahu, sebongkah kayu ini kusumbangkan untuk orang-orang yang beribadah kepada-Mu.”
Ia pun bersusah payah menebang pohon itu seorang diri, hingga di tengah malam batang pohon keramat itu dihanyutkan ke sungai, tanpa seorang pun melihatnya, karena yang ingin dia tuju hanyalah Tuhan semata. Sebongkah kayu itu pun sampailah di dekat pembangunan masjid. Namun, ketika di waktu subuh ia bermaksud menaruh batang pohon itu di depan pintu gerbang pembangunan masjid tiba-tiba hujan deras pun datang. Sampai pada akhirnya, banjir besar datang, dan seketika itu menghanyutkan batang kayu keramat yang akan ia sumbangkan untuk sarana peribadatan itu.
“Sesuatu telah hilang dari tanganku.”
“Tidak, tidak ada sesuatu pun yang hilang!” (suara dalam nuraninya sendiri).
“Tapi ke manakah batang kayu itu? Apakah ia sampai kepada-Mu Tuhan?”
Pelajaran apa yang bisa kita petik dari karya sastra yang selalu berpikir multidimensional itu? Bagi kaum inteletual religius, yang sukanya ribut-ribut urusan syariah melulu, mungkin akan tergopoh-gopoh memahami karya sastra yang berdimensi mendalam itu. Berbeda dengan para sastrawan atau kaum sufi yang sanggup berpikir out of the box. Biasanya mereka rela berjuang dan mengabdikan diri kepada umat di luar institusi kasatmata, yang merupakan lambang agama formal. Bagi mereka, batang kayu yang hanyut itu adalah suatu kegagalan dalam berderma dan bersedekah.
Tetapi, siapa yang menjamin bahwa rencana manusia akan selalu identik dengan rencana Tuhan? Batang kayu yang disumbangkan itu, pada akhirnya toh harus dipasrahkan kepada kehendak Tuhan. Sambil mengakui segala keterbatasan manusia, meskipun manusia itu berniat baik. Di dalam teks agama ditegaskan bahwa, “Manusia sedikit tahu tetapi Allah-lah Yang Maha Tahu segalanya.” (al-Baqarah: 216).
Dengan demikian, tugas utama manusia adalah berdoa dan berusaha semaksimal mungkin. Perkara amal kebaikan itu sampai ke tujuan atau tidak, itu bukan urusan manusia. Yang penting, manusia sudah meluruskan niat dan memaksimalkan ikhtiar dan doa dengan sebaik-baiknya. (*)