“Kita sudah belajar dari sejarah,
bahwa kita tidak banyak belajar dari sejarah.” (Hegel)
Karya sastra sejarah memang bukan rujukan sumber sejarah yang bisa dianggap valid. Berbagai hal saling bercampur-baur, baik yang bersifat ekstrinsik dari unsur psikologis pengarangnya, juga masalah mitos, legenda dan dongeng-dongeng yang tertuang di dalamnya. Sering kali kita tidak menamukan angka-angka tahun, maupun validitas nama-nama tokoh maupun lokasi yang menjadi sumber rujukan penting dalam penulisan sejarah.
Dalam karya-karya Pramoedya Ananta Toer (sebagai wong Jawa), terselip berbagai motif dan sasaran untuk mengungkap kembali kebesaran orang Nusantara maupun Jawa, perihal perlawanan dan pemberontakan atas dominasi kekuasaan raja yang dipersonifikasi sebagai tuan tanah, majikan, makelar, maupun penguasa Hindia Belanda. Dapat dipahami ketika Pram seringkali menampilkan seting lokasi di sekitar keraton, perihal dinasti yang berkuasa, dan segala ihwal yang menyangkut dunianya orang Jawa.
Beda dengan sastra Minangkabau (Hamka), yang cenderung mempersoalkan adat-istiadat, kecintaan terhadap tanah leluhur, yang sekaligus mencerminkan kecintaan pada tanah kelahiran yang harus dijunjung-tinggi. Sementara, Jawa lebih menitikberatkan pada peranan raja sebagai titisan dewa, berikut soal benda-benda pusaka yang menjadi simbol dari kesaktian raja-raja Jawa.
Peninggalan berupa reruntuhan menjadi bahan perbincangan menarik untuk mengungkap rahasia dalam penulisan sastra sejarah. Apalagi, jika dilengkapi dengan kesaksian tertulis, dari tangan pertama tokoh yang bersangkutan dalam masa hidupnya. Melalui dokumen tertulis, misalnya perihal naskah-naskah kuno, pembaca dapat mempelajari lebih seksama, khususnya tentang cara perpikir bangsa yang menyusunnya. Naskah lama yang merupakan bingkai dari sastra sejarah, akan menjadi rujukan sekaligus warisan rohani bangsa. Ia dapat diakatakan sebagai perbendaharaan pikiran dan cita-cita yang dahulu menjadi pedoman hidup para leluhur dan nenek moyang kita.
Sastra sejarah juga mencakup kepercayaan, agama, filsafat hingga ke persoalan kesehatan dan pengobatan. Kita pun bisa menemukan hal-hal teknis yang sederhana, seperti bentuk bangunan rumah, cara berpakaian, menggarap lahan sawah dan ladang, hingga ke soal keahlian dan keterampilan penduduk setempat. Hasil analisis dan penelitian untuk penulisan sastra sejarah, dapat memberikan sumbangan kepada berbagai bidang ilmu pengetahuan, hingga pembaca dapat memetik pelajaran (moral massage) untuk mengambil dan meneladani hal-hal positif bagi kemajuan budaya dan peradaban dalam konteks kekinian dan kemasadepanan.
Gagal paham
Dalam novel Pikiran Orang Indonesia (2014), kita dapat melihat bagaimana pengarang berusaha menerjemahkan realitas yang menjadi obyek dalam bahasa imajiner, dengan maksud pembaca memahami peristiwa-peristiwa sejarah yang berlangsung di masa itu. Fenomena sejarah politik Indonesia, khususnya di era pasca 1965 hingga era kejatuhan Presiden Soeharto (1998) menjadi rujukan penting bagi pengarang untuk menyampaikan pikiran, perasaan, bahkan pada soal solusi terbaik yang bisa diambil hikmah agar pembaca (terlebih penguasa) meniru apa yang sebaiknya dilakukan, serta apa-apa yang sebaiknya dijauhi dan ditinggalkan. Karena itu, Al-Kitab kadang memperingatkan kita, “Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran dari sejarah masa lalu?”
Sastra sejarah hendaknya mampu menghubungkan imajinasi pengarang dengan kesadaran atau memori kolektif suatu bangsa yang menjadi sasaran edukasinya. Jika gagal paham, mereka akan terperangkap dalam dosa sosial dan kembali mengulangi kesalahan yang sama, dan kerugiannya akan ditanggung oleh pihak penguasa berikut rakyat yang dipimpinnya. Pelibatan narasi sejarah adalah materi yang lumrah dan hampir menjadi arus utama dalam setiap penulisan sastra sejarah.
Dalam karya Felix K. Nesi (Orang-orang Oetimu), kita bisa melihat ketika latar belakang penulis dibawa-bawa ke meja pertimbangan baik atau buruknya karakteristik para tokoh. Namun, dengan jenaka Felix sanggup menampilkannya sehingga pembaca dapat terperangah sekaligus tertawa geli, khususnya ketika menyaksikan tokoh-tokoh agama yang berperilaku tak senonoh. Narasi yang jenaka seperti itu hanya mungkin ditulis oleh latar belakang pengarang yang beragama Katolik. Tak beda jauh dengan kekonyolan tokoh politik dan agama yanag berlatar belakang Islam dalam novel Perasaan Orang Banten.
Hal serupa kita melihat pada sosok Max Havelaar (Eduard Douwes Dekker), yang menggambarkan pejabat kolonial sebagai laki-laki yang doyan mabuk dan suka main perempuan. Namun demikian, karya Dekker sebagaimana karya-karya Pramoedya tidak mau mengajak pembaca tertawa, atau bahkan tersenyum. Mereka begitu tekun menelusuri fakta-fakta empiris untuk dituangkan ke dalam karya sastra sejarah. Membaca karya-karya mereka berikut realitas empiris yang terjadi di lapangan, membuat kita lantas berasumsi bahwa ada korelasi yang begitu lekat antara sastra dan narasi sejarah, yang bisa dianggap kredibel sebagai sumber data dan fakta.
Asumsi tersebut selaiknya membuat kita bertanya-tanya: bisakah kita mencapai pada kredibilitas sejarah yang dipetik dari narasi kesusastraan? Seberapa jauh suatu karya fiksi, yang merupakan konstruksi imajinasi pengarang, dapat diposisikan sejajar dengan sumber primer konvensional dalam penulisan sejarah? Lalu, bagaimana para akademisi sastra maupun sejarawan, memberikan pandangan mereka atas genre suatu fiksi sejarah?
Sejarah sebagai sains
Thomas Hobbes, seorang filosof Inggris pernah menjelaskan dalam karyanya “Leviathan” (1651), bahwa pengetahuan berdasarkan fakta, berbeda dengan pengetahuan yang dihasilkan dari afirmasi pada sebuah obyek. Berdasarkan teori itu, Hobbes kemudian memasukkan sejarah sebagai ilmu pengetahuan yang didasarkan oleh fakta-fakta. Jadi, sejak semula tampaknya sejarah belum dimasukkan ke dalam tabel deretan sains. Sebab, ketika sains berkaitan dengan penjelasan dan serangkaian afirmasi, sementara sejarah berhubungan dengan perasaan dan pikiran (memori) yang membutuhkan saksi-saksi sejarah sebagai penuturnya.
Itulah yang membuat pengarang Pikiran Orang Indonesia perlu melakukan riset dan penelitian selama beberapa tahun, juga bekerjasama dalam program historical memories bersama Asvi Warman Adam, Goenawan Mohamad, dan Hersri Setiawan (baca: Memahami Skizofrenia dari Karya Sastra, www.kompas.id).
Pelibatan orang-orang yang menjadi penyintas dari sistem pemerintahan Orde Baru, dirasa sangat penting sebagai saksi sejarah. Untuk itu, penuturan melalui oral history adalah jalan terbaik, hingga memerlukan pendekatan yang intensif dan saling memercayai antara pihak pewawancara (peneliti) dengan pihak narasumber. Melalui metode historical memories, penulisan sejarah dapat disusun berdasarkan peristiwa yang sejalan dengan konstelasi politik dan kekuasaan yang didominasi oleh pihak yang berkuasa atau jenderal-jenderal Orde Baru (great man). Hal ini mengindikasikan bahwa penulisan sejarah dalam perspektif masa kini, tidak terbatas pada kisah-kisah orang besar yang berpengaruh. Sementara, fokus perhatian metode tradisional cenderung eksklusif, seakan tidak menghiraukan keberadaan orang-orang kecil atau penyintas politik, yang dianggap tidak memiliki peran penting dalam percaturan sejarah Indonesia.
Dengan metode historical memories, kita bisa melihat bagian terpenting sejarah yang bukan sebagai rangkaian peristiwa dan kejadian, melainkan mentalitas yang menunjukkan korelasi antara penulisan sejarah dengan ilmu psikologi dan antropologi. Dengan sendirinya, kita bisa melacak pandangan dan perspektif dunia (world-view) atau sikap yang hadir di masa silam, yang menghilang (atau dihilangkan), kemudian mengejawantah kembali dalam konteks kekinian.
Untuk itu, kita bisa memahamai ketika Hafis Azhari menegaskan dalam orasinya saat peluncuran buku Pikiran Orang Indonesia di pesantren Al-Bayan (Rangkasbitung): “Tidak mudah kita memahami sastra sejarah. Seseorang harus mengasah kepekaan dan kepeduliannya terlebih dahulu, sehingga akan sanggup menangkap dan memahami pesan yang terkandung, mungkin dalam konteks lima atau sepuluh tahun ke depan.”
Meskipun menuai banyak kritik dari sastrawan dan kritikus sastra, akhir-akhir ini banyak yang mulai melek politik, sejarah dan kebudayaan Indonesia, hingga terbukalah wawasan dan hati nurani, untuk memahami sumber-sumber yang menjadi perhatian pada novel tersebut. Bukan hanya soal-soal konvensional yang menyangkut situs, arsip-arsip maupun surat laporan, tetapi juga produk-produk kebudayaan yang dituangkan secara paralel sebagai oral history. Dalam hal ini, kita juga bisa menyaksikan film dokumenter tentang politik Indonesia (1965) “The Act of Killing” karya Joshua Oppenheimer, yang pernah masuk dalam jajaran nominasi Oscar (2014).
Di kalangan akademisi sastra, kita juga mengenal kerangka teori “new cultural history” yang berkaitan erat dengan teori “new historicism” (Stephen Grenblatt). Melalui kerangka teori tersebut, pembacaan teks sastra tak mungkin dipisahkan dengan teks-teks nonsastra. Dengan demikian, sastra sejarah tak lain merupakan sarana pengarang untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya, berikut tanggapan-tanggapannya atas peristiwa sejarah. Selain itu, sastra sejarah dapat menjadi alternatif untuk mengisi ketiadaan, atau menjadi suplemen bagi sumber-sumber primer dalam penulisan sejarah dengan baik.