Dua pekan lalu, istri kedua penyanyi lagu religi Opick meninggal dunia. Usai sang istri dimakamkan di Jakarta Utara, Opick di hadapan media mengenang kebaikan dan bercerita kronologi kematian istri sekaligus berkata yang bagi saya rancu. Demikian kata Opick:
“Karena yang hari ini istri saya yang meninggal, ini nasihat khusus buat perempuan dan laki-laki juga. Beruntung perempuan yang masih punya suami kemudian ketika dia meninggal suaminya ridho. Karena dalam hadis sahih menyebutkan bahwa kalau suami rida maka dijamin dia surga,” Kabar dapat kita simak di detik.com, 19 Maret 2018.
Pengakuan ini mengesankan surga istri ditentukan oleh rida dirinya dan Tuhan tidak mempertimbangkan sama sekali kebajikan yang pernah diperbuat si istri selama hidupnya. Opick pun menjadikan hadis untuk mendukung argumentasinya meski kesahihan hadis masih
diperdebatkan bahkan banyak yang menjelaskan status hadis daif.
Kita lupakan hadis dan mengurusi kesombongan Opick menafsir teks keagamaan di depan kuburan sang istri sekaligus klaim kesalehan dirinya sebagai suami. Dari Opick, kita mengerti, kuasa surga telah menjadi miliknya yang menentukan si istri boleh masuk atau tidak.
Dengan kata “nasihat” dan frasa “beruntung perempuan…” yang diajukan Opick, kita sengaja dibuat lupa pada kronologi kematian istri yang meninggal bersama bayinya. Dengan akal waras, tanpa perlu mengutip hadis dengan tafsir patriarkat, kita tidak lupa dan beriman surga telah disediakan Tuhan untuk para ibu meninggal usai bertarung melahirkan bayinya.
Saya kira saat Opick menceritakan kebajikan istri selama hidup telah cukup menjadi bekal istri mencapai surga-Nya. Kita justru bertanya: bagaimana kapling surga istri kedua ditentukan rida suami? Bagaimana Tuhan mempertimbangkan rida suami, saat publik Indonesia mengingat ada perempuan berduka, merasa dirugikan karena dirinya?
“Nasihat” Opick mengingatkan kita pada narasi duka Hans Bague Jassin saat ditinggal istrinya, kita simak:
“Terjadilah kehendak Allah subhanahu wata’ala, bahwa isteri saya dipanggil kembali ke hadirat Ilahi pada tanggal 12 Maret 1962 kini telah 13 tahun yang lalu. Kejadian ini sangat menggugah kesadaran saya akan arti hidup manusia dalam hidupnya yang singkat di dunia ini. Berbuatlah baik terhadap sesama manusia, bersabarlah, beramallah, balaslah kejahatan dengan kebajikan, niscaya kejahatan akan berobah menjadi kebajikan.”
Pengakuan H.B. Jassin ini kita dapati dalam majalah Budaja Djaja edisi November 1975. Dalam majalah, Jassin mengajak pembaca untuk turut mengerti awal mula perjalanan dirinya menerjemahkan Alquran.
Jassin ingin menyampaikan pada pembaca bahwa Bacaan Mulia tidak bisa diceraikan dari kasih istri yang menemani hidupnya. Resah di jiwa ditinggal istri mengantar pada ketekunan untuk membaca dan menyerap makna kalimat-kalimat Tuhan.
Jassin pun terus mengenang saat tujuh malam sejak istrinya meninggal, rumah ramai dengan tetangga, kerabat dan teman membaca Alquran sampai khatam 30 juz, dan tibalah hari kedelapan, Jassin disergap getir-sepi.
Kedukaan memuncak itu menggugat pikiran dan jiwa Jassin untuk terus membaca Alquran. Jassin pun mengakui selama sepuluh tahun bahkan lebih sejak istrinya meninggal tak pernah hari-harinya lepas dari Alquran. Dari Indonesia sampai perjalanan ke berbagai negara, Alquran dan kerja menerjemahkan tak pernah libur.
Keharuan menerjemahkan Alquran terus menyambung dengan ingatan perempuan-perempuan yang pernah menemani hidup dan turut membentuk keilmuannya, nenek yang pandai melagukan Alquran semasa kecil dan istri yang setia. Kita simak:
“Saya terharu, teringat nenek saya yang setiap hari dahulu di kampung membaca al-Qur’an, terharu, karena saya sekarang bisa juga membaca al-Qur’an dengan alunan suara berkat setiap hari mendengarkan nenek melagukannya. Terharu karena ingat mendiang isteri saya yang pernah menyatakan keinginannya hendak belajar sembahyang dan dengan susah payah belajar menghafal firman- firman Tuhan dan do’a sembahyang. Saya penjatkan do’a ke hadirat Ilahi, semoga isteri saya mendapat tempat juga di sisi-Nya. Saya panjatkan do’a semoga Dia memberi rezeki kepada kami yang masih hidup dan semoga ia melapangkan arwah para keluarga dan orang-orang lain
yang telah dahulu.”
Jassin pun memasrahkan istrinya pada Tuhan. Jassin memilih kata “di sisi-Nya” daripada masuk surga. “Sisi Tuhan” menjadi doa paling puncak yang biasa dilakoni dan ingin dicapai para sufi daripada surga.
Selain Jassin, kita juga menemukan tafsir Alquran M. Dawam Rahardjo yang dipersembahkan kepada mendiang istri. Dalam kata pengantar Ensiklopedi Alqur’an (2002), Dawam menulis:
“Akhirnya perkenankanlah saya menyebut beberapa orang yang tidak ada kaitan langsung dengan karya saya ini. Mereka itu adalah orang-orang yang saya cintai. Pertama sudah tentu ibu saya, Mutmainnah, seorang ibu yang sederhana yang sangat mencintaiku. Orang kedua yang ingin saya sebut adalah Zainun Hawairiah, almarhumah, istri saya.”
“Ia adalah seorang istri yang sederhana, seorang yang rajin beribadah. Ia selalu menungguiku ketika menulis di waktu malam, walaupun sering tertidur di depan TV atau di samping radio. Hari ini ketika saya merampungkan “kata pengantar” ini, kebetulan adalah hari ulang tahun pertama pernikahan dengan Sumarni, pada 17 Maret 1995. Ia ternyata adalah teman hidup baruku yang baik, penuh pengertian. Saya ucapkan terima kasih kepadanya, atas dukungan terhadap perjalananku ini. Dengan buku ini saya ingin memperkenalkan diri saya lebih lanjut kepadanya.”
H.B. Jassin dan Dawam Rahardjo dalam wacana keislaman di Indonesia memang tidak begitu tampak, setidaknya tidak bersinar seperti Gus Dur, Cak Nur, M. Quraish Shihab, dll. H.B. Jassin lebih terkenal sebagai pujangga dan kritikus sastra daripada ahli agama tapi sekali lagi, kerja terjemahannya Bacaan Mulia tidak hadir dari waktu yang singkat. Butuh waktu belasan tahun untuk menerbitkan hasil kerjanya itu dengan konsultasi sana-sini.
Pun dengan Dawam Rahardjo, intelektual yang lebih dikenal dengan pengamat ekonomi. Tapi, sehimpun tulisannya tentang sosial-keagamaan telah menyebar dan berpengaruh di Indonesia pada masa 1980-an.
Dawam menjawab keakraban dirinya dengan Alquran sedari bocah dan ilmu-ilmu menafsirkan yang pernah dipelajarinya menjadi bekal untuk menafsirkan Alquran. M. Quraish Shihab menyebut karya Dawam sebagai “pemahaman terhadap al-Qur’an dari seorang sarjana ilmu-ilmu sosial”.
Dari biografi H.B. Jassin dan Dawam Rahardjo, kita mengerti terjemah dan tafsir Alquran menjadi persembahan agung untuk istri yang lebih dulu meninggalkan mereka.
Sepanjang pengakuan tentang mendiang istri, kita tidak menemukan kalimat-kalimat bias bahwa rida suami yang menjadi penentu kehidupan mereka di hadapan Tuhan. Bahkan dari keduanya kita menemukan pernghormatan luhur kepada istri.
Mendiang istri bagi Jassin dan Dawam justru menjadi penyeru untuk terus bergiat di jalan-jalan spiritualitas dan keilmuan.