“Kalau hari ini penyakit sampar memandang anda, berarti saat merenung sudah tiba. Mereka yang baik tidak perlu terlalu takut kepadanya. Tetapi mereka yang jahat, benarlah jika mereka gemetar!”
— Paneloux dalam novel Sampar (Albert Camus, 2013)
Kotbah Pastor Paneloux pada sebuah misa Minggu pagi itu menggema di gedung Katedral. Jemaat hari itu membludak. Misa itu menutup acara pekan doa yang diinisiasi oleh dewan gereja untuk menghadapi penyakit sampar yang mulai mewabah di Kota Oran, Aljazair. Kebanyakan mereka mendengar ceramah sang pastor sebagai suatu “kejutan” yang membuat gugup.
Paneloux dengan lantang menyatakan bahwa wabah adalah hukuman Tuhan. Sampar adalah ganjaran yang pantas bagi para pendosa, orang-orang yang mengabaikan ajaran Tuhan. Bagi yang beriman, bencana wabah adalah cobaan agar semakin merapat pada Tuhan.
Hari-hari setelah kotbah sang pastor, wabah sampar membabi buta. Kota Oran yang sudah dikarantina hanya berisi kecemasan. Malam-malam gelap justru meriah oleh rintihan dan racauan orang-orang yang berjuang melawan sekarat. Kematian seperti pameran kesedihan yang tak sempat mendapatkan upacara terhormat. Mayat-mayat dikubur massal tanpa iringan doa keluarga dan kerabat.
Lantas, apakah orang-orang saleh selamat dari wabah sampar?
Sampar melumat siapa saja tanpa pandang dosa. Bakteri menular itu bekerja dengan algoritmanya sendiri, bukan berdasar dokumen malaikat pencatat amal. Siapa saja bisa kena, dan sebaliknya siapa saja bisa selamat.
Kata-kata sang pastor menguap. Orang-orang melupakannya, bisa jadi mengingkarinya. Sebab, mereka semua adalah korban. Wabah tak bisa ditolak dengan rangkaian doa, tak bisa “disuap” dengan sembahyang.
Tuhan yang Menghukum: Logika Kuno
Hari-hari ini kita menghadapi wabah pandemik Covid-19 atau Virus Corona yang secara drastis mengubah kehidupan masyarakat dunia, tak kecuali Indonesia. Masyarakat Indonesia cemas dan panik menghadapi eskalasi penularan virus ini. Apalagi respon pemerintah dianggap lamban, dan di awal terkesan menyepelekan.
Para pakar kesehatan boleh saja berdebat virus ini berbahaya atau tidak. Namun orang awam tentu waswas melihat statistik yang terus menanjak laiknya huruf J. Data resmi Gugus Tugas Penanggulangan Covid-19 per 31 Maret 2020 menunjukkan adanya 1528 orang terinfeksi Virus Corona, 81 penderita sembuh, dan 136 meninggal.
Selain perdebatan ilmiah dari sisi medis, kehadiran Virus Corona di Indonesia ini juga diwarnai dengan perdebatan agama. Perdebatan dari sisi agama tentu saja menarik karena banyaknya sudut pandang dan tafsir terhadap sumber-sumber ajaran agama.
Pada masa-masa awal permulaan wabah ini merebak di Wuhan, China, banyak komentar kaum agamawan yang memandang Virus Corona adalah makhluk Allah untuk membinasakan orang kafir atau fasik. Ada yang menyebut bahwa Corona adalah prajurit Allah yang dikirim untuk menyelamatkan umat muslim dari musuh-musuh yang kafir.
Sesungguhnya pandangan demikian memiliki dasar dalam perkembangan agama-agama samawi. Al-Qur’an mengisahkan peristiwa bencana atau wabah di masa para nabi. Orang-orang yang tidak beriman dan menentang nabi biasanya diperingatkan dengan azab berupa wabah bencana. Pada masa nabi Musa, Tuhan mengirimkan topan, belalang, kutu, katak, dan sungai darah kepada Fir’aun dan pengikutnya. Pada masa nabi Nuh Tuhan juga mengirimkan banjir bandang yang dahsyat. Umat nabi Hud juga didera bencana badai dan kekeringan.
Walhasil, nalar yang memandang bahwa wabah atau bencana adalah hukuman Tuhan kepada golongan tertentu bukanlah hal baru, bukan mengada-ada. Tapi nalar itu kuno, tidak relevan untuk membaca zaman sekarang.
Pada zaman purba, narasi tentang Tuhan adalah narasi kekuatan, juga kekejaman. Orang mudah saja pindah iman ketika melihat kekuatan yang lebih besar. Orang-orang yang memiliki kekuatan luar biasa dianggap sebagai dewa. Kekuatan sihir pun mendapatkan panggung dalam melestarikan agama status quo di suatu kaum. Itulah kenapa nabi-nabi dikaruniai mukjizat berupa kekuatan supranatural luar biasa yang pada sebagian kaumnya menganggap sebagai kekuatan sihir.
Dahulu, pengorbanan orang-orang bertuhan itu sangat berat. Agama-agama kuno melakukan persembahan pada dewa-dewa dengan mengorbankan diri. Pertaubatan atas dosa dilakukan dengan membunuh atau mencederai sebagian tubuh. Sekurang-kurangnya, tetesan darah adalah kesaksian dalam pertaubatan. Bani Israil kuno bertaubat dengan cara membunuh dirinya, atau saling membunuh dengan orang lain.
Namun, cara-cara tersebut berubah seiring zaman. Injil dan Isa lebih menampakkan agama sebagai cinta kasih. Al-Qur’an dan Muhammad lebih mengemukakan agama sebagai rahmatan lil’alamin. Tuhan lebih dominan dengan sifat rahman dan rahim ketimbang Yangmaha Penghukum. Wahyu-wahyu kenabian mutakhir, utamanya pada masa Muhammad, mesti dicerna dengan akal. Tidak ada lagi tuntutan agama untuk menyakiti diri sendiri, apalagi tuntunan menyakiti liyan. Muhammad sebagai nabi akhir zaman berhasil menutup semua “periode keputusasaan” nabi terdahulu yang memintakan azab kepada kaumnya. Muhammad selalu mendoakan umatnya selamat dunia akhirat.
Kalau hari ini masih ada kelompok yang memandang wabah Virus Corona tentara Tuhan yang menyerang orang-orang kafir, tentu saja mereka berpikir dengan nalar usang. Kesempitan akal mereka tak bisa melihat transformasi agama-agama yang berwajah kuat nan kejam menjadi agama yang lembut dan penuh rahmat. Justru pandangan bahwa Virus Corona adalah tentara pembela orang beriman hanya berakhir sebagai olok-olok dan cemooh belaka bagi agama.
Sebab, sebagaimana kesaksian sang pastur Paneloux dalam kisah Sampar itu, orang tak berdosa pun musnah dimakan wabah. Pikiran sang pastor buntu ketika melihat anak-anak tak berdosa meregang nyawa dibunuh sampar. Wabah tak bekerja dengan teori dosa. Iman dan kesalehan bukan azimat penangkal wabah.
Pada akhir cerita, Pastor Paneloux pun diserang sampar. Ia lebih menampakkan diri yang pasrah ketika direnggut wabah. Ia menolak dipanggilkan dokter. Ia memilih berbaring di dipan, dan seolah-olah “menantang” Tuhan apakah hendak datang menyelamatkan. Bisa jadi, tindakan sang pastor hendak menunjukkan bahwa kepasrahan semacam itu adalah sikap konyol.
Insan beriman bisa memetik bunga hikmah dari kisah sang pastor. Bahwa kepasrahan bukanlah sikap menerima pukulan upper cut begitu saja. Kita punya pilihan menghindar dan memukul balik. Lebih dari itu, agama dan akal kita harus saling menyelamatkan. Keselarasan agama dan akal itu adalah “otak” untuk bertindak melawan ketidakwajaran bernama wabah Corona.