Sedang Membaca
Shalat Jumat di Hagia Sophia: Catatan dari Istanbul
Munawir Aziz
Penulis Kolom

Kolumnis dan Peneliti, meriset kajian Tionghoa Nusantara dan Antisemitisme di Asia Tenggara. Kini sedang belajar bahasa Ibrani untuk studi lanjutan. Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom.

Shalat Jumat di Hagia Sophia: Catatan dari Istanbul

Shalat Jumat di Hagia Sophia: Catatan dari Istanbul

Dari perjalanan menjelajahi Turkey beberapa waktu lalu, Istanbul menjadi destinasi terakhir yang kami kunjungi. Saya dan istri sepakat untuk menutup perjalanan dengan berleha-leha dan santai saja di Istanbul.

Dari rencana perjalanan yang kami susun secara cepat: Hagia Sophia, Blue Mosque, Bosphorus, Moseum of Innocent, Galata Tower, Taqsim Square dan beberapa destinasi lain menjadi tujuan penting. Tapi, tidak sebagaimana perjalanan-perjalanan kami sebelumnya yang diatur demikian rinci, perjalanan kami ke Turkey kali ini santai saja.

Santai karena kami tidak berencana untuk mengelaborasi sebanyak mungkin titik lokasi. Juga, karena bawa 3 anak yang masih kecil: Fairuz Zayn (7 y), Fayadhona (3y) dan Faroqlit Michael (1 y). Jadi menikmati perjalanan jadi kompas terpenting kami. Tidak mengejar cepat, tapi yang penting anak-anak dan kami happy.

Kami tiba di bandara Istanbul tengah hari agak sore, setelah 1 jam terbang dari Konya. Bandara Sabiha Gokcen Istanbul termasuk ramai, baik dari jalur domestik maupun internasional.

Setiba di bandara dan mengurus koper, kami melepas penat sejenak dan makan siang di restoran di kawasan bandara. Jalan-jalan sama anak-anak wajib mengatur ritme energi: jangan sampai mereka capek dan lapar. Bisa repot, rewel sepanjang perjalanan. Kalau jalan sama orang dewasa ya bisa ditahan lapar dan dahaga.

Maka, setiap mau berangkat atau ketika berhenti di terminal, bandara dan stasiun, saya selalu tanya ke anak-anak: apa pengen pipis, apa lapar, atau minta minum? Ini pertanyaan dasar dan wajib, dan menjadi semacam SOP, dan tugas saya untuk membereskan hal-hal ini: beli makan-minum, ataupun cari toilet terdekat untuk sekedar pipis atau cuci muka.

Naah, dari Bandara menuju hotel, sebetulnya ada pilihan taksi yang langsung sampai. Harganya kisaran 200-300 Lira untuk sampai ke hotel. Tapi karena kami ingin berpetualang, ya saya coba-coba cari transportasi umum yang bisa dijelajahi.

Baca juga:  Sajian Khusus: Jejak Dakwah Gus Dur di Eropa

Berdasar panduan google, bisa pakai bus dan kemudian lanjut kereta. Naah, ini asyik. Istri dan anak-anak setuju.

Tapi, untuk naik bis harus cari tiket dengan kartu Istanbul Card yang khusus. Kata istriku, dua tahun lalu cari Istanbul Card masih mudah. Dia pernah transit di Istanbul seharian ketika mau balik liburan ke Indonesia. Waktu itu Istanbul Card terbilang murah, tidak sampai 20 lira.

Sekarang ini agak susah. Pemerintah Turkey membatasi Istanbul Card hanya untuk warga yang sudah bermukim minimal 3 bulan, atau yang sudah dapat permit. Untuk turis, bisa beli kartu tapi sekali pakai, dan jauh lebih mahal harganya.

Untuk beli tiketpun tidak mudah. Beruntung saya dipandu supir bus, yang membantu membelikan tiket. Sebelumnya saya muter-muter di lokasi bandara, tanya polisi dan agen-agen bus, ya tidak ada yang bantu. Hehehe.

Tapi saya terus jalan, akhirnya ketemu sopir yang sedang rokokan dan minum teh di samping bus. Saya tanya apa bisa bahasa Inggris? Do you speak english?

Dia hanya geleng kepala. Sedangkan, saya juga belum banyak kuasai bahasa Turkey. Hanya sedikit-sedikit saja untuk modal tanya-tanya dan beli makanan.

Saya tidak kurang akal. Buka hape, cek google translate. Akhirnya sopir tadi paham, dia mau bantu belikan tiket. Uang 30 lira saya keluarkan, dia pejet-pejet mesin tiket, dan dapat dua tiket untuk saya dan istri. Oiya, anak-anak di bawah 8 tahun masih gratis untuk tiket transportasi. Jadi, anak-anak kami masih gratis semua.

Kami bisa naik bus dan berpindah kereta dan sampai ke hotel, langit sudah mulai gelap. Malam di Istanbul dimulai.

Baca juga:  Kota Barus: Fragmen yang Hilang dari Sejarah Kita

*
Di Istanbul, kami melintasi hari Jumat. Kesempatan ini tidak saya sia-siakan untuk shalat di Hagia Shopia. Saya ingin merasakan desir-desir perasaan shalat di masjid agung yang sebelumnya merupakan gereja besar peradaban Konstantinopel.

Hari Jumat itu, kawasan Hagia Shopia lebih ramai dari biasanya. Penjagaan polisi satu pintu. Ribuan orang yang masuk harus melewati pos polisi. Kami berbaris antri untuk sampai ke pintu masuk.

Saya lihat dari kejauhan ada beberapa orang yang digeledah tasnya dan ditanya-tanya. Itu mungkin prosedur keamanan untuk kawasan Hagia Sophia dan Blue Mosque.

Alhamdulillah, saya bersama anak pertama Fairuz Zayn Abbadi aman. Mungkin karena bersama anak-anak, jadi bisa langsung melenggang.

Kami masuk perlahan ke Hagia Sophia. Ribuan orang berbaris untuk masuk ke kawasan ini. Adzan shalat Jumat belum juga berkumandang, tapi masjid ini sudah hampir penuh.

Sama seperti kebanyakan turis lain yang ingin shalat Jumat di Hagia Sophia, saya ingin merasakan denyar-denyar dan sensasi shalat di waktu Jumat di masjid ini.

Setelah menyelesaikan wudhu di sisi kiri pintu masuk, kami melanju ke dalam masjid Hagia Sophia. Arus orang masuk dan keluar dibuat berbeda, untuk memudahkan.

Di pintu masuk, saya langsung terpesona dengan lukisan-lukisan lama warisan gereja yang masih terlihat di langit-langit Hagia Sophia. Antara merinding dan berdecak kagum: bahwa warisan gereja masih dipelihara, bersanding harmonis dengan lukisan kaligrafi.

Masuk ke sisi dalam masjid Hagia Sophia, saya mendapati lampu-lampu kecil yang menebar cahaya di langit-langit masjid. Sepanjang penglihatan, di atap bagunan, ada lukisan-lukisan gereja yang ditutup kain putih memanjang. Di sampingnya, kaligrafi Allah, Muhammad, dan nama-nama shahabat mengelilingi Haghia Sophia.

Hagia Sophia merupakan warisan peradaban. Dibangun oleh geometers Yunani: Isidore of Miletus dan Anthemius of Tralles pada 537 sebagai katedral Kristen Bizantium. Jadi, sudah hampir 15 abad bangunan ini berdiri, dan masih kokoh hingga kini.

Baca juga:  Fetehpur Sikri: Kota Megah Simbol Toleransi Umat Beragama

Pada 1453, setelah kejatuhan Konstantinopel, Sultan Mehmed menjadikan katedral ini sebagai masjid. Masih banyak warisan Kristen Bizantium yang masih ada: sejumlah lukisan dan ornamen yang terus dirawat, bersanding dengan kaligrafi Islam yang disiapkan oleh Kesultanan Ottoman.

Kemudian, pada 1616, dibangun pula Sultan Ahmed Mosque atau yang biasa disebut Blue Mosque, masjid biru. Kubah masjidi ini memang biru, dari kejauhan kalau dipandang indah sekali.

Alhamdulillah, saya bisa shalat Jumat di Hagia Sophia. Ada rasa bergetar ketika mendengar adzan berkumandang di masjid ini. Masjid Hagia Sophia yang sebelumnya merupakan Katedral Kristen Bizantium warisan peradaban Konstantinopel. Saya merasa beruntung bisa bersujud di masjid ini, bersama ribuan muslim lain dari segala penjuru dunia pada Jumat itu.

Ini pengalaman yang berbeda dibandingkan dengan shalat Jumat di Makkah dan Madinah ketika kami mendapat panggilan haji pada 2019 lalu. Shalat Jumat di depan Ka’bah, dan shalat Jumat di masjid Nabawi di samping pusara Kanjeng Nabi Muhammad memang luar biasa dahsyat. Tapi, shalat Jumat di Hagia Sophia menawarkan sensasi yang juga luar biasa.

Saya juga senang mengajak anak saya untuk shalat berjamaah: shalat Jumat di masjid yang sebelumnya merupakan katedral. Saya lihat ia sangat terpesona, merasakan getaran shalat berjamaah di tempat istimewa.

Tidak terasa air mata saya menetes, ketika adzan berkumandang di Hagia Sophia. Dalam hati, saya berdoa: semoga mendapat kesempatan untuk shalat Jumat juga di Masjidil Aqsha di Jerussalem suatu hari nanti.

Bismillah, alfaatihah (*).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top