“Ya nabi salam alaika, ya rasul salam alaika, ya habib salam alaika, shalawatullah alaika…”
Lantunan selawat bergema di antara ratusan orang yang hadir malam kemarin (Ahad, 9/12/2018), ketika langit telah pekat dan udara dingin menyergap.
Gelap merayap, angin berembus kencang, seolah membawa seribu duri tajam menembus pori-pori kulit. Pada kondisi begini, susah menemukan orang berjaket tipis di hampir seluruh kawasan Inggris, Britania Raya. Dingin merasuk.
Malam belum sepenuhnya pekat. Masih sore sebenarnya, tapi karena saat ini sedang menuju musim dingin, kondisi berubah gelap. Pada jam 4 sore, langit terasa gelap. Pada siang, matahari jarang menyapa, hanya sekejap saja. Itu pun kalau beruntung mendapatkan hangat matahari. Biasanya, sepanjang hari hujan rintik, angin menderu, dingin menggebu.
Selawat masih menggema. Saya pelan-pelan masuk ke masjid itu, masjid Madinah di kawasan Saint Mary, Southampton. Di kawasan Saint Mary ini, terdapat beberapa masjid yang dimiliki komunitas-komunitas Muslim, dari seluruh penjuru dunia. Mayoritas dari India, Pakistan, Bangladesh, Iran, dan Afghanistan.
Namun, di antara beberapa masjid, yang sering ramai hanya masjid Madinah dan Abu Bakr. Kalau jamaah masjid Madinah bernuansa orang-orang Pakistan yang sebagian mengikuti tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandi. Pengurus dan Muslim yang membentuk komunitas di masjid Abu Bakr dari pelbagai aliran tarekat.
Saya beruntung mengikuti perayaan maulid di masjid Madinah, Southampton kali ini. Selama beberapa bulan bermukim di kota ini, jarang sekali mendengar selawat, yang dilantunkan bersama.
Suara adzan pun jarang sekali terdengar, hanya sesekali khususnya ketika menunaikan Salat Jumah di masjid. Tidak seperti di Indonesia, yang adzan berkumandang setiap waktu terdengar dari pengeras suara. Rasanya, mendengar adzan dan selawat bergema, hati ini terasa segar, pikiran menjadi bugar.
Selawat terus bergema, puji-pujian kepada Baginda Nabi Muhammad Saw dilantunkan bersama. Hanya sesekali dalam bahasa Arab, selebihnya, pujian kepada Nabi Muhammad dalam bahasa Urdu. Saya hanya mengangguk-angguk, sambil terus membaca selawat, meresapi nikmat.
Pakdhe Didiek Wiyono, sesepuh NU Inggris dan Mas Ahsani Taqwim, master dari Universitas Southampton, saya lihat sangat menikmati suasana. Serasa mereka berdua sedang bernostalgia dengan bacaan selawat di kampung-kampung di Indonesia.
Sudah hampir satu jam lamanya, pujian-pujian dilantunkan. Beberapa kawan Muslim dari Pakistan, terlihat terisak ritmis, menahan tangis. Gema selawat memang menyentuh kalbu, menembus ruang rindu. Ya, rindu kita kepada Baginda Muhammad SAW.
Hampir satu jam lamanya, kami bergelimang selawat. Terdengar ajakan dan doa untuk mengunjungi makam Nabi di Madinah. Seorang Imam mendoakan kami, agar mampu dan mendapat kesempatan untuk ziarah makam Nabi. Doa yang menyentuh, mengusap-usap relung hati kami.
Setelah menuntaskan puji-pujian dalam bahasa Urdu dan selawat, majelis Maulid dilanjutkan dengan ceramah singkat dari Syaikh Maulana Syakib Daan. Ia merupakan pembelajar Islam, keturunan Pakistan yang lama bermukim di Inggris.
Dalam ceramahnya, Syaikh Syakib mengungkapkan betapa pentingnya kita mencintai Nabi Muhammad. Juga, betapa muslim di Inggris jangan sampai terpecah belah.
“Ada saudara kita yang memiliki pemikiran masing-masing. Ada yang hanya mau hadis dari Bukhari, dan semacamnya,” ungkapnya.
Ia kemudian mengulas betapa sumber Islam yang paling jernih ya dari Nabi Muhammad. Sebagai Muslim di Inggris, sudah beruntung mendapatkan Cahaya Islam, maka harus bersatu, saling membantu, ukhuwaah Islamiyyah.
Ceramah Syaikh Syakib diungkapkan dalam dua bahasa: Inggris dan Urdu. Dalam satu penjelasan dalam bahasa Inggris, ungkapan lain disampaikan dalam bahasa Urdu. Sebagian besar jamaah Maulid ini memang dari Muslim Pakistan, India, dan Bangladesh.
Petuah-petuah Syaikh Syakib dipungkasi dengan mahallul qiyam, dengan lantunan selawat bersama-sama. Saya merasa sedang di kampung di pesisir Pati, pada ingatan masa kecil di masjid, di pesantren.
“Ya nabi salam alaika, ya Rasul salam alaika, ya Habib salam alaika, shalawatullah alaika.. Asyaraqal badru alaina…….”
Tidak terasa tangis tipis mengiris, air mata pelan membasah. Trenyuh. Betapa senyum Kanjeng Nabi Muhammad terasa menyapa kami di negeri jauh dari Makkah-Madinah, jauh dari Nusantara. (*)